Ketika masih mahasiswa di New York,
saya heran ketika kota tersebut membiarkan saya makan telur rebus dengan keju
halloumi dan pita berbumbu Moroko untuk sarapan, salad daging cincang yang manis
dari Thailand Utara untuk makan siang, dan nasi lemak dari Singapura untuk
makan malam. Syarat saya cukup sederhana: lezat, murah dan dihidangkan dalam
jumlah besar. Tapi jika saya makan makanan China, saya menambah satu lagi
syarat lagi: tidak mengandung MSG.
Seperti banyak orang lainnya, saya
pikir MSG—monosodium glutamate,
sebuah senyawa kimia yang digunakan untuk menambah kelezatan dalam
makanan—adalah tak baik bagi kesehatan saya, dan saya yakin saya merasa tak
enak badan setiap kali saya makan MSG. Selain itu, saya merasa lesu dan sakit
kepala dan pegal-pegal setelah makan di Chinatown. Sekarang saya tahu bahwa
sakit kepala saya kambuh hanya sedikit saja disebabkan oleh makanan. Tapi pada
saat itu, menghindari tiga huruf ini membuat saya nyaman dan membuat saya
berpikir bahwa saya akan makan sejenis makanan murni yang sejatinya terbuat
dari bahan makanan, bukan zat kimia. Oh, betapa muda dan bodohnya saya ketika
itu.
Bahwa MSG bukanlah racun seperti
yang biasa kita kira sudah pula banyak yang tahu. Banyak berita-berita yang
ditulis secara reguler tentang kurangnya bukti-bukti yang menunjukkan bahwa MSG
bisa berakibat buruk bagi kesehatan. (Baca di sini dan di sini, sebagai contoh.
Atau di sini, di sini, di sini, di sini, dan di sini.) Namun, ulasan dalam
Yelp.com tentang restoran-restoran China banyak menceritakan tentang kasus-kasus jantung berdegub, kesulitantidur, dan kesemutan akibat makan makanan “yang sarat MSG.” Tapi meski sains
telah membuktikan, namun sulit untuk menghapuskan stigma, khususnya ketika
stigma tersebut tidak hanya sekedar tentang makanan.
Semenjak ditemukan pada awal
1900-an, MSG telah identik dengan kelezatan. Jika ditambahkan pada makanan, MSG
bisa meningkatkan rasa umami, yang
dianggap sebagai rasa kelima semenjak awal tahun 2000-an (bersama-sama dengan
manis, asam, asin, dan pahit) yang sering kali diterjemahkan dari bahasa Jepang
sebagai “lezat,” “nikmat,” “sedap” atau “gurih.” Umami adalah rasa gurih sepenuh-penuhnya (full-bodied, savory taste) yang ditemukan di dalam berbagai jenis
makanan, seperti parmesan dan jamur, dan juga di dalam kebanyakan daging. MSG
adalah umami yang mengkristal.
Kikunae Ikeda, seorang ahli kimia
Jepang, menemukan senyawa MSG pada tahun 1907 ketika dia sedang meneliti kualitas
umum yang terdapat di dalam makanan seperti asparagus, tomat dan sup kaldu yang
dibuat istrinya dari rumput laut. Dia memastikan bahwa glumatat, bentuk ionik dariasam glutamat, bertanggungjawab menimbulkan rasa umami. Dia kemudian
mereka-reka bagaimana cara menyintesa molekul-nya dengan cara mengekstraksi
glutamat dari rumput laut dan mencampurnya dengan air dan garam meja untuk
menstabilkan senyawa tersebut. Ikeda kemudian mem-patent-kan produk akhir yang
dia dapat, dan kemudian menjadi salah satu keberhasilan komersial terbesar
dalam produk ilmu makanan Jepang. Sekarang, bumbu masak berbentuk kristal ini, yang
sering kali dibuat dari bit dan jagung, dikenal sebagai MSG di AS, tapi sering
disebut dengan nama ketika pertamakali Ikeda menemukannya—“Aji no Moto,” atau
Inti Rasa—di bagian dunia lain.
Tepung putih yang halus ini pertama
kali dijual di dalam botol-botol tipis dengan maksud untuk menarik perhatian
para ibu-ibu rumah tangga borjuis yang suka melibatkan sains di dapur mereka
karena terkesan higienis dan modern, menurut penelitian yang dilakukan Jordan
Sand, seorang profesor sejarah Jepang di Universitas Georgetown. Di China, MSG ditujukan
untuk para penganut Budha, yang secara berkala berpantang makan daging, sebagai
sebuah cara vegetarian utnuk meningkatkan cita rasa makanan.
Pada tahun 1950-an, MSG ditemukan di
dalam makanan dalam kemasan di seantero AS, mulai dari snack hingga makanan
bayi. (Sand mengatakan dalam papernya tahun 2005 bahwa papernya yang berjudul
“Joy of Cooking” pada tahun 1953 mengacu pada monosodium glutamate sebagai “tepung putih yang misterius dari
Timur… ‘m.s.g.,’ sebagaimana disebut oleh penggemar setianya.”) Namun, tak lama
kemudian, sifat kimiawi yang terkandung dalam MSG berbalik melawan kepopuleran
MSG itu sendiri. Setelah terbitnya tulisan Rachel Carson yang berjudul “Silent
Spring” dan larangan pemerintah federal bagi pemanis yang oleh BPOM AS dianggap
merupakan karsinogenik, para konsumen mulai khawatir akan zat-zat kimia
tambahan di dalam makanan mereka. Pada tahun 1968, New England Journal of Medicine menerbitkan sepucuk surat dari
seorang dokter yang isinya mengeluh tentang rasa nyeri di kedua lengannya, badan
lemas dan jantung berdegub setelah makan di restoran China. Dia menduga bahwa anggur
masakan (cooking wine), MSG atau
garam berlebih boleh jadi merupakan penyebabnya. Respon dari para pembaca
membanjir dengan keluhan-keluhan serupa, dan para ilmuwan mulai meneliti
fenomena tersebut. Dan lahirlah apa yang disebut “Sindrom Restoran China.”
Mulanya, para peneliti melaporkan
adanya hubungan antara konsumsi MSG dan gejala-gejala penyakit seperti yang
disebutkan dalam New England Journal of
Medicine di atas. Lalu menyusul
headlines berita dan buku-buku dengan judul: “Makanan China membuat Anda
sakit? MSG Adalah Biang Kerok No1,” tulis Chicago
Tribune, sedangkan buku-buku dengan judul “Excitotoxins: Rasa yang Bisa
Membunuh Anda” dan In Bad Taste: The MSG Symptom Complex telah mendorong
BPOM AS melakukan penelitian dan investigasi “60 Menit”, sebagaimana yang Alan
Levinovitz, seorang professor filosofi China pada James Madison University, tulis dalam bukunya tentang mitos-mitos
pada makanan pada tahun 2015.
Tapi penelitian-penelitian terdahulu
tersebut mempunyai kelemahan esensial, termasuk bahwa para partisipan di dalam
penelitian tersebut mengetahui bahwa mereka mengonsumsi MSG. Penelitian berikutnya
menemukan bahwa sebagian besar orang, bahkan mereka yang mengklaim sensitif
terhadap MSG, tidak mempunyai reaksi apa-apa jika mereka tidak mengetahui bahwa
mereka telah makan MSG.
Bahwa MSG menyebabkan masalah
kesehatan boleh jadi timbul akibat adanya bias-bias rasial yang disusupkan
sejak awal. Ian Mosby, seorang sejarawan makanan, menulis pada tahun 2009 dalam
sebuah paper yang berjudul “”Sakit Kepala Akibat Makan Sup Won-ton: Sindrom
Restoran China, MSG dan Pembuatan makanan Amerika, 1969-1980” bahwa rasa takut
akan MSG pada makanan China adalah bagian dari kecurigaan panjang AS terhadap
makanan “eksotik” dari Asia sebagai berbahaya dan kotor. Sebagaimana yang
dikatakan Sand:Adalah kesialan para tukang masak China ketika mereka tertangkap
sedang memasak menggunakan MSG di dapur mereka ketika bumbu yang pernah menjadi
pelezat makanan terpuji tersebut menjadi zat kimia tambahan dalam makanan (chemical additive).”
Kekhawatiran ini tak hanya terjadi
di tengah-tengah masyarakat. Dari akhir tahun 1960-an hingga awal tahun
1980-an, ‘Sindrom Makanan China” dianggap merupakan penyakit yang resmi oleh
banyak pusat medis, menurut penelitian Mosby. Namun masalahnya lain lagi
sekarang ini. Meski hampir semua penelitian di AS yang pernah mengatakan bahwa
MSG aman ternyata didanai oleh perusahaan-perusahaan yang mempunyai andil dalam
keberhasilan MSG, namun para peneliti berpikir bahwa sains yang mendasari pendapat
mereka adalah masuk akal.
Tentu saja, sebagian kecil orang
mempunyai reaksi negatif yang berhubungan langsung dengan glutamat, namun sains
hingga saat ini membuktikan bahwa hal itu merupakan fenomena yang langka. MSG
masih, dan selalu, masuk daftar makanan “yang secara umumnya diakui sebagai aman”
oleh BPOM AS. Beberapa orang yang alergi MSG yang pernah mendatangi para ahli
untuk berkonsultasi yang coba saya hubungi menolak berkomentar, dengan
mengatakan bahwa mereka tidak lagi mengikuti perkembangan riset tentang itu.
Hanya karena tidak ada hubungan
ilmiah antara makanan tertentu dengan efek negatif terhadap kesehatan tidaklah
berarti bahwa rasa sakit atau rasa tidak nyaman yang dialami oleh mereka yang
makan MSG hanyalah khayalan semata. Mereka yang menderita setelah makan MSG
boleh jadi mengalami efek nocebo,
saudara sepupu yang kurang dikenal dari efek placebo. Efek nocebo adalah ketika kita mengkhawatirkan bahwa
sesuatu bisa menimbulkan reaksi negatif, maka reaksi negatif itu benar-benar
timbul. Ketika sebuah restoran China memasang tanda “tak pakai MSG” pada menu
mereka untuk meyakinkan para pelanggan, hal itu malah memperpanjang stigma tentang
MSG, yang mungkin akan memperpanjang efek
nocebo tersebut. Seperti halnya dengan efek placebo, efek nocebo bisa
menimbulkan reaksi yang amat nyata.
Dengan banyaknya juru masak yang
berbicara di depan publik tentang manfaat MSG, selain pusat-pusat kesehatan,
waktunya kini mungkin sudah matang bagi publik utntuk mengikutinya. Namun
mengubah pikiran tidaklah mudah.
Sebagaimana yang Brendan Neyhan,
seorang profesor dari Dartmouth yang telah melakukan riset tentang cara mengubah
sikap terhadap vaksin, tekankan di dalam sebuah emailnya, adalah sulit bagi
orang untuk mengubah pikiran mereka tentang isu-isu kiesehatan pribadi karena
itu bertentangan dengan pengalaman mereka di masa lalu. “Orang yang merasa
tidak enak badan setelah makan makanan China di masa lalu boleh jadi
menyalahkan MSG … dan dengan demikian mereka menolak informasi yang mereka
dapat kemudian tentang efek MSG yang sebenarnya,” katanya. Hal ini boleh jadi
disebabkan oleh availability heuristic
(sikap mental yang terpaku pada contoh-contoh yang pernah didapat seseorang
dalam menilai sesuatu), di mana orang-orang membuat penilaian berdasarkan informasi
yang paling mudah didapat, bukannya mencari penjelasan alternatif yang lain.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh
kolega saya Christie Aschwanden, begitu kita mendapat sebuah kesimpulan yang
salah, maka otak kita mencegah kita menerima informasi baru yang bisa
memperbaiki asumsi-asumsi yang salah tersebut.
Dalam hal MSG, kesimpulan yang salah
itu cukup merugikan bagi kebanyakan orang dan bisa menyebabkan rasa ketidaknyamanan
yang tidak perlu bagi sebagian orang, baik karena mereka bisa mengalami efek nocebo atau karena mereka menghindarkan
diri dari kelezatan MSG. Kita semua membuat pilihan tentang apa yang akan kita
makan; bagi sebagian orang, pilihan-pilihan tersebut didasarkan pada dukungan
perekonomian setempat, menghindari makan daging karena menyayangi binatang,
atau hanya karena mereka ingin tahu apa yang masuk ke dalam tubuh mereka. Tidak
ada yang benar dan yang salah dalam hal ini, tapi kiranya penting dipahami
asal-muasalnya mengapa mereka melakukan pilihan-pilihan tersebut. Dalam kasus
MSG, tampaknya alasan mereka bukan karena sains tapi lebih karena alasan politik
dan budaya di masa itu.
Catatan
kaki
- Lemak (fat) belakangan ini dianggap sebagai rasa yang keenam. ^
- Ajinomoto adalah nama dari perusahaan yang didirikan pada tahun 1909 untuk memproduksi hak patent Akeda dan masih merupakan salah satu perusahaan penjual MSG terkemuka di dunia. ^
- Larangan atas cyclamate ditinjau kembali beberapa kali. BPOM AS semenjak saat itu mengatakan bahwa bukti-bukti yang ada tidak menunjukkan bahwa cyclamate bersifat karsinogenik. BPOM AS tidak bisa mencabut larangan tersebut, tapi mereka mengatakan bahwa kekhawatiran akan MSG ini tidak ada hubungannya dengan penyakit kanker. ^
Anna Maria Barry-Jester reports on
public health, food and culture for FiveThirtyEight. @annabarryjester
http://fivethirtyeight.com/features/how-msg-got-a-bad-rap-flawed-science-and-xenophobia/
0 comments:
Post a Comment