Ratusan guru se-Kabupaten
Way Kanan, Provinsi Lampung, menggelar aksi damai di depan Pengadilan Negeri
Blambangan Umpu, Selasa, 9 April 2013. Mereka menolak kriminalisasi terhadap
profesi guru.
Aksi damai tersebut
dilakukan 700-an guru SD, SMP, dan SMA se-Way Kanan tersebut untuk memberi
dukungan kepada Sari Asih Sosiawati (32), warga desa Tiyuh Balak, Kecamatan
Baradatu, Kabupaten Way Kanan. Asih diseret ke meja hijau karena mencubit salah
seorang siswanya.
Kasus yang memicu
solidaritas guru tersebut bermula pada hari Rabu, 29 Agustus 2012. Hari itu
Asih mengajar mata pelajaran Bahasa Lampung di kelas IV SDN 1 Tiyuh Balak. Asih
melihat salah seorang siswanya tidak mencatat materi yang sedang dia ajarkan. Alasan
siswa tersebut karena pulpennya hilang.
Asih kemudian mencubit
siswa tersebut. Tidak terima, orang tua siswa tersebut melaporkan Asih ke
polisi hingga menyeret Asih ke bangku persidangan hari itu.
Pada bagian lain
diberitakan bahwa Asih telah meminta maaf atas perbuatannya kepada orang tua
siswa tersebut. Namun permintaan maafnya ditolak, dan orang tua siswa tersebut,
Erwansyah (45), lebih memilih melanjutkan perkara ke pengadilan.
Dari persidangan
terungkap bahwa orang tua siswa tersebut bersedia memberi maaf apabila Asih
bisa memberi uang Rp.24.000.000. Tapi Asih tidak memiliki uang sebanyak itu,
maka terpaksa dia harus menyelesaikan perkara itu di pengadilan, demikian diberitakan
surat kabar harian Lampung Post,
Rabu, 10 April 2013.
Dari berita di atas
jelas bahwa guru di tempatkan dalam posisi yang sangat lemah dalam menjalankan
tugasnya sebagai pendidik. Di sisi lain guru dituntut sebagai berperan kunci
dalam meningkatkan mutu pendidikan. Betapa sulitnya posisi guru dalam hal ini. Sebagai
pemegang posisi kunci dalam mutu pendidikan mereka seharusnya diberi wewenang
lebih kuat untuk mengeksekusi program pendidikan agar mencapai hasil seperti
yang ditetapkan dalam kurikulum.
Dari sini juga terungkap
betapa peran guru dalam menjalankan tugasnya selama ini belum mendapat dukungan
penuh dari orang tua murid. Selain kasus di atas, masih banyak kasus-kasus
serupa di mana guru diseret ke pengadilan hanya karena mencubit atau menjewer
siswanya. Alih-alih mendukung, guru malah dilecehkan oleh orang tua murid. Tindakan
orang tua siswa yang meminta uang damai seperti dalam kasus di atas jelas merupakan
pemerasan, pelecehan terhadap guru, yang
sangat-sangat tidak pantas dilakukan oleh orang tua murid pada orang yang
notabene mengajari anaknya di sekolah.
Di sisi lain, tindakan
orang tua murid yang mengadukan guru hanya karena mencubit anaknya jelas-jelas
adalah kriminalisasi terhadap guru. Dalam hal ini guru disamakan dengan para
penjahat yang suka melakukan kekerasan untuk menaklukkan korbannya. Masa iya
sih, guru harus mendekam dalam penjara selama 3,5 tahun hanya karena mencubit
siswanya, seperti yang dikatakan oleh Bintang Aria, ketua PGRI kabupaten Way
Kanan, yang dikutip dalam pemberitaan di atas.
Padahal, jelas-jelas
guru melakukan hal ini dalam koridor pendidikan. Meski mencubit atau menjewer
mungkin bukan cara menghukum yang baik, namun tindakan ini tidak bisa
disalahkan sepenuhnya apabila dia merupakan satu-satunya cara untuk membuat
siswa berubah ke arah yang lebih baik.
Dengan kata lain
mencubit atau menjewer memang bukan cara menghukum yang baik. Tapi cara ini
bisa saja digunakan apabila cara-cara lain sudah ditempuh tapi tidak ada
satupun yang berhasil. Mencubit dan menjewer adalah cara terakhir yang bisa
dilakukan guru dalam mendidik siswanya. Mencubit dan menjewer memang salah apabila
hal itu dilakukan semata-mata untuk menyakiti dan tidak dilakukan dengan tujuan
untuk mendidik, tapi bisa diterima apabila hal itu dilakukan sebagai pilihan
terakhir dan dengan tujuan untuk mendidik.
Dalam kasus Asih di
atas, beberapa saksi mengatakan bahwa anak yang bersangkutan memang bandel,
tidak memperhatikan pelajaran, dan sering mengganggu temannya ketika sedang
belajar. Dari sini kita bisa membaca, tentu sebelumnya Asih, dan guru-guru
lainnya, sudah sering kali memperingati anak tersebut dengan kata-kata, atau menerapkan
metode hukuman lain selain mencubit untuk membuatnya berubah. Hal-hal seperti
ini hendaknya menjadi pertimbangan orang tua dan masyarakat, dan aparat penegak
hukum sebelum menyeret guru ke meja hijau.
Dan yang juga perlu
dipertimbangkan adalah bahwa guru juga manusia biasa, yang tidak diberkati
dengan kesabaran yang berlimpah, yang bisa tabah dalam situasi apa saja. Buru bukanlah
malaikat. Guru juga punya emosi. Guru juga punya keterbatasan.
Di samping itu,
bukankah sejak tanggal 1 Januari 2013 lalu telah diberlakukan kode etik guru
yang baru di mana guru, disamakan dengan wartawan, tidak bisa lagi diadukan ke
polisi karena kesalahan yang berhubungan dengan tugasnya sebagai guru,
melainkan ke Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI).
Setelah kode etik ini
diterbitkan, semestinya seluruh pelanggaran profesi guru, misalnya menjewer
atau menampar siswa, diproses oleh DKGI, bukan oleh polisi. Hal ini sudah
disepakati oleh kapolri, yang tertuang dalam keputusan bersama antara kapolri
dengan PGRI, seperti yang ramai diberitakan media beberapa bulan yang lalu.***
0 comments:
Post a Comment