Perempuan Penunggang Harimau

http://pustakapelabuhan.blogspot.com
Judul: Perempuan Penunggang Harimau
Penulis: M. Harya Ramdhoni
Penerbit: BE Press, 2011
Tebal: 501 halaman

Saya terkejut dan sekaligus bangga mendengar Lampung Post hendak menerbitkan sebuah novel. Terkejut karena sudah sekian lama tidak pernah ada novel lahir dari para penulis Lampung. Demikian banyak sastrawan kenamaan dari Lampung saat ini, namun tidak ada yang pernah menulis cerita panjang berupa novel. Bangga karena novel ini diterbitkan di Lampung, oleh penerbit Lampung, dan mungkin novel pertama yang terbit di Lampung. Juga karena novel ini bukanlah novel sembarang novel. Ini adalah novel bermutu yang tidak ditulis sembarangan, yang tidak lahir begitu saja dari khayal fantasi pengarangnya.

Novel ini adalah novel sejarah. Dan siapapun tahu tidaklah mudah menulis novel sejarah. Menulis novel sejarah memerlukan riset perpustakaan dan juga riset lapangan yang memerlukan tenaga dan biaya yang tidak sedikit, dan waktu yang tidak sebentar, di samping tentu saja, otak yang encer. Rasa salut dan ucapan terima kasih setingi-tingginya saya sampaikan kepada M. Harya Ramdhoni, penulis novel ini, atas kerja kerasnya menghimpun mozaik yang berserakan; membaca pustaka yang sudah tersimpan selama ratusan tahun, melakukan penelitian lapangan, dan wawancara dengan para tokoh Lampung sehingga lahirlah novel yang mempesona ini, yang berisikan bukan saja fakta-fakta tentang sejarah orang Lampung, catatan-catatan kaki yang sangat informatif, namun juga cerita yang menarik. Sungguh banyak orang Lampung yang tidak atau belum pernah mendengar dan mengetahui sejarah nenek moyang mereka sendiri. Semoga dengan membaca novel ini mereka akan mendapat wawasan baru tentang asal muasal mereka.

Namun seperti yang diakui oleh Harya sendiri dalam prakata dalam novel ini, novel Perempuan Penunggang Harimau ini hanya sebuah alternatif yang belum tentu benar 100%. Sesuatu yang pasti banyak memiliki rompang-rompang yang akan menerbitkan keraguan-keraguan dari para pembaca. Tapi sebagaimana galibnya membaca sejarah, apalagi sejarah hampir seribu tahun yang lalu, tentu ada keragu-raguan. Jangankan seribu tahun yang lalu, sejarah tentang abad ke-duapuluh pun ada yang diragukan orang kebenarannya. Apalagi ini adalah sebuah novel yang nyata-nyata memang tidak punya pretensi 100% sebagai rujukan sejarah. Siapapun yang membaca novel ini saya kira tidak percaya 100% dengan setiap uraian peristiwa yang dia baca mengingat ada jarak  sekitar 900 tahun antara peristiwa-peristiwa tersebut dengan penulisnya. Namun kiranya fakta-fakta yang disajikan, nama-nama tokoh, nama-nama tempat, dan nama-nama peristiwa yang memang pernah ada yang diceritakan dalam novel ini cukup meyakinkan sebagai sebuah kebenaran sejarah.

***
Alkisah, di akhir masa kejayaannya, kerajaan Skala Beghak, (dalam novel ini Harya mengejanya “Sekala Bgha” berbeda dengan ejaan umumnya yang sering dipakai di media massa, yaitu “Sekala Beghak”, “Skala Brak”, “Sekala Brak”, atau “Skala Beghak”) sebuah kerajaan suku bangsa Tumi, yang merupakan cikal-bakal orang Lampung saat ini, dipimpin oleh seorang ratu berdarah panas yang bernama Sekeghumong.  

Sekehumong adalah perempuan yang kelahirannya tidak diharapkan, karena ayahnya mengharapkan seorang bayi laki-laki. Dan karena Sekeghumong tidak mempunyai saudara laki-laki, maka dia diangkat sebagai ratu. Sekeghumong adalah nama pemberian kakeknya Pun Beliau Pangeran Sangkan--yang ketika dia lahir sedang bertapa di Gunung Pesagi--ayah dari bapaknya Muncak Bawok, raja ketika itu yang tahtanya dia gantikan. Sekegumong berarti “Yang Diteguhkan”dengan harapan kelak dia akan menjadi seorang ratu yang teguh.

Namun nama Sekeghumong terdengar aneh dan berbau mistis, di antara nama-nama lain yang terdengar indah dan puitis seperti Intan Galuh, Umpu Sindi, atau Sughai Cambai, keluarganya.

Dan aura mistis itu sudah terasa sejak dia masih bayi ketika suatu malam dia, sang bayi Sekeghumong, mengeluarkan tangisan panjang yang terdengar aneh dan mengerikan dan menyayat hati yang mengundang tanda tanya di hati siapa saja yang mendengarnya. Tidak ada yang tahu apa arti tangisan itu. Namun sang kakek yang pada hari itu turun dari Gunung Pesagi untuk menyaksikan kelahiran cucunya tersebut  menangkap sebuah isyarat. Konon, tangisan itu adalah pertanda kehancuran kerajaan Skala Beghak kelak di kemudian hari. Isyarat itu dia baca dari tanggal kelahiran sang bayi Sekeghumong, yaitu tanggal 9 bulan Kartika tahun 999, sesuai dengan nujum para leluhur mereka.

Menurut nujum leluhur Skala Beghak, bayi yang dilahirkan pada tanggal itu akan membawa sial, akan membawa kehancuran kelak di kemudian hari. Dan menurut nujum tersebut pula, kelak akan datang para perusuh dari utara yang akan menimbulkan kekacauan di mana-mana dan menghancurkan kerajaan itu. Dan tangisan sang bayi Sekeghumong dan tanggal kelahirannya tersebut adalah sebuah pertanda. Dan dalam  nujum tersebut tertulis, kelak akan datang masa kejayaan kerajaan Skala Beghak, dan raja atau ratu yang memimpinnya akan menjadi raja atau ratu terbesar dan sekaligus merupakan raja/ratu penutup kerajaan tersebut. Dan berdasarkan isyarat yang tertangkap, Sekeghumong adalah ratu penutup yang dimaksud, yang akan menghadapi marabahaya itu.

Dan ketika akhirnya masa itu datang juga, nujum itu terbukti, Sekeghumong bertempur dengan gagah berani, sampai titik darah yang penghabisan, mempertahankan kedaulatannya, tanah airnya, dan keyakinannya dari para perusuh dari utara yang bergabung dengan rakyatnya sendiri yang memberontak. Dalam pertempuran yang gagah berani itu, Sekeghumong dan rakyatnya pada satu pihak, berhadapan dengan para perusuh dari utara yang dibantu oleh kerajaan pesaingnya Buay Kenyangan, sebuah kerajaan suku bangsa Tumi lainnya, yang bertetangga dengan Skala Beghak, yang merupakan musuh bebuyutannya sejak lama, pada pihak lain.

Sekeghumong adalah seorang pemberani. Sekeghumong bukan contoh ratu yang pengecut dan tidak bertanggung jawab, yang lari dari rakyatnya ketika malapetaka melanda. Sekeghumong adalah ratu yang berdiri di depan ketika musuh datang menyerang. Tak gentar. Meski yang dia hadapi laki-laki. Mungkin inilah inti dari novel ini; orang Lampung harus bangga mempunyai nenek moyang seperti Sekeghumong. Keberanian Sekeghumong, dan keteguhan hatinya mempertahankan wilayahnya dan membela keyakinannya menimbulkan respek yang tinggi dari siapa saja, bahkan dari musuhnya, apapun keyakinannya itu, dan siapa pun musuh yang dia hadapi.

Keberanian dan keteguhan hati Sekeghumong adalah sebuah inspirasi, bagi wanita  Lampung (suku bangsa Tumi) kemudian. Dan mungkin juga merupakan cerminan dari emansipasi; bahwa emansipasi wanita sudah ada sejak lama lama di kalangan orang Lampung yang patrilineal. Mungkin kepribadian Sekeghumong sedikit banyak telah membentuk kepribadian wanita Lampung kemudian yang terkenal berani dan teguh pendirian.

Sebagai novel yang menceritakan sejarah orang Lampung, buku ini tidak banyak bercerita tentang kekayaan adat budaya orang Lampung ketika itu. Misalnya tentang huruf Ka Ga Nga yang elegan itu, tata cara upacara perkawinan, upacara kematian, dan upacara adat lainnya.

Deskripsi tentang properti juga sangat sedikit. Tidak ada uraian detil tentang bentuk-bentuk istana sang ratu, bentuk singasananya, dan harta benda apa saja yang ada di dalamnya. Juga bentuk pakaian; pakaian apa saja yang dipakai sang ratu, dan bagaimana pakaian sang ratu dan para petinggi istana berbeda dengan pakaian rakyat jelata.

Sebagai novel sejarah, alangkah baiknya kalau novel ini dilengkapi pula dengan silsilah raja-raja Skala Beghak, dalam bentuk pohon keluarga, mulai dari raja pertama hingga ratu Sekeghumong, yang terakhir.

Peta wilayah kekuasaan Skala Beghak ketika itu kiranya perlu pula dilampirkan. Hal ini penting bagi pembaca luar Lampung.   

Dan sebagai pelengkap, apa salahnya dilampirkan pula huruf Ka Ga Nga, sebagai bukti warisan suku bangsa Tumi yang masih ada dan berlaku hingga kini.

***

Sebagian besar isi novel ini adalah cerita silat yang penuh dengan pertikaian dan intrik politik yang melelahkan, dengan latar belakang perang saudara antarorang Lampung (suku bangsa Tumi) dan penyebaran agama Islam ke Lampung oleh orang-orang dari utara (Peureulak) pada awal abad ke-12. Idiom-idiom dunia persilatan seperti jurus-jurus penakluk, pedang, darah yang menyimbah, pertengkaran sengit sangat kental dalam bagian ini, memperkuat stigma bahwa Islam disebarkan dengan kekuatan pedang.

Di sisi lain, ada hal menarik yang tidak diceritakan Harya. Ketika Sekeghumong wafat dan Skala Beghak jatuh, dia meninggalkan dua anak, laki-laki dan perempuan. Anaknya yang perempuan Putri Dalom Umpu Sindi menikah dengan salah seorang penyebar agama Islam asal Peureulak yang notabene adalah musuhnya Maulana Belunguh, sedangkan anaknya yang lelaki Pangeran Kekuk Suik mengungsi ke wilayah Pesisir (ke Krui?). Kalau benar Pangeran Kekuk Suik mengungsi ke Krui, mungkin inilah asal muasal orang Krui yang juga disebut-sebut sebagai keturunan suku bangsa Tumi.***





comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger