Gua matu, Gua Mistis
By Hasim on Saturday, April 3, 2010
Pengantar
Gua Matu adalah sebuah gua yang terletak di desa Way Sindi, kecamatan Karya Penggawa, Krui, Lampung Barat. Salah satu mulut gua ini terletak di tepi pantai. Bagi masyarakat Krui, gua Matu dikenal lebih dari sekedar gua biasa. Dia adalah sebuah simbol dari sebuah tatanan masyarakat lain, selain manusia, yang tidak kasat mata. Berbagai cerita mistis sering dihubungkan dengan gua ini. Hampir semua masyarakat Krui mengenal gua ini, bukan karena mereka pernah mengunjunginya, tapi karena cerita-cerita mistis itu, juga karena ritual mistis yang sering dilakukan orang di gua ini. Di sisi lain, zona gua Matu merupakan salah satu DTW kabupaten Lampung Barat yang menarik untuk dikunjungi.
I.
Jarak dari Krui ke gua Matu lebih kurang 11 km. Tetapi jarak yang bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor hanya lebih kurang 10 km, selebihnya hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Pukul sembilan pagi kami berempat, saya, Sapta, Mus dan Dir, siap-siap berangkat. Perjalanan dengan sepedamotor dari hotel Sempana Lima menuju sebuah desa kecil yang bernama Campang, di mana kami bisa menitipkan kendaraan, kami tempuh lebih kurang 15 menit. Campang sebenarnya bukanlah sebuah desa seperti desa pada umumnya. Di situ hanya ada beberapa rumah kayu yang bercecer di pinggir jalan dengan jarak yang cukup berjauhan.
Di Campang, kami menitipkan dua unit sepedamotor yang kami gunakan pada sebuah warung kecil yang menjual makanan kecil dan air mineral. Tepat di samping warung ini ada akses berupa jalan setapak menuju gua Matu.
Jarak dari Campang menuju gua Matu lebih kurang 1 km. Karena desa Campang terletak di atas bukit, sedangkan gua Matu terletak di pinggir laut, maka kami harus berjalan kaki menuruni bukit kurang lebih setinggi 30 m, menuju pantai. Dari pinggir jalan raya, jalan setapak menuruni bukit ini tidak terlihat karena tertutup oleh tumbuh-tumbuhan.
Setelah menitipkan sepedamotor di warung, kami berangkat. Laki-laki yang duduk di depan warung mewanti-wanti agar kami membakar kemenyan terlebih dahulu sebelum memasuki gua Matu.
Perjalanan menuruni jalan setapak menuruni bukit ini cukup nikmat karena jalan ini tertutup oleh rindangnya pepohonan, sementara, kira-kira separuh dari ketinggian bukit ini dialiri oleh sebuah sungai kecil yang airnya jernih berlarian menuruni batang sungai dengan batu-batu besar, dengan suara gemercik yang menimbulkan sensasi kesejukan. Kalau penat menuruni bukit, kita bisa istirahat duduk di batu-batu yang tersebar di sana-sini, sambil menikmati sejuknya air bukit yang jernih memanjakan kaki. Perjalanan menuruni lereng bukit ini adalah sensasi tersendiri sebelum tiba di gua Matu.
Setibanya di ujung sungai, kami disambut oleh hamparan pasir kelabu yang luas di sepanjang pantai, terpisah sepanjang garis lurus dengan pasir berwarna kecoklatan yang mengkilap karena jilatan ombak. Pantai dengan hamparan pasir yang luas sepanjang kurang lebih 200 meter ini dipagari oleh bukit cadas di kiri kanannya, membentuk zona seperti huruf U. Di sebelah kiri, terdapat karang terjal dan tajam yang biasa digunakan penduduk setempat untuk memancing. Sedangkan di sebelah kanan, terdapat tembok batu berlapis setinggi kurang lebih 25 meter, sebagiannya tertutup oleh pepohonan. Di sanalah gua matu berada.
Pantai kecil berpasir kelabu ini sangat sedap dipandang mata. Tapi jangan coba-coba mandi di laut, ombaknya besar-besar dan mengerikan. Penduduk setempat hanya berani memancing dari pinggir, dari atas batu karang.
II.
Karena kami tidak yakin di mana lubang pintu masuk gua Matu, kami bertanya pada penduduk setempat yang kami lihat dari kejauhan sedang memancing di atas batu cadas terjal dan tajam, disebelah kiri. Dari pengamatan kami dari kejauhan kira-kira 10 meter, kami tidak melihat ada lubang pintu masuk gua ini.
Untuk menemui pak Mirzan, kami harus memanjat tebing cadas terjal yang bagian bawahnya dihempas ombak-ombak besar. Sekilas, perjalanan itu seperti mustahil kami lakukan, tapi karena niat sudah bulat, dan tekad sangat kuat, kami beranikan diri untuk memanjat. Dir memutuskan untuk menunggu di bawah.
Dari Tanya jawab dengan pak Mirzan, kami belum juga mendapat gambaran yang jelas.
Akhirnya, pak Mirzan bersedia mengantar kami, meninggalkan kegiatan memancingnya.
Ternyata pintu masuk gua Matu memang tidak kelihatan dari tempat kami berdiri tadi, tertutup oleh pohon dan beberapa lapis batu-batu besar. “Kalian beruntung. Kalian datang pada waktu air laut sedang surut. Kalau laut sedang pasang, jalan menuju pintu gua tertutup oleh air laut. Kalau mau masuk, kalian harus memanjat di dinding bukit itu”, kata pak Mirzan menunjuk ke dinding batu vertikal yang kokoh, dirambati oleh akar-akar pohon. Membayangkan diri merambat di dinding batu yang radikal seperti itu, dengan resiko terjatuh di telan oleh air laut pasang, aku jadi ngeri. “Kalau air laut sedang pasang, biasanya tidak ada yang berani memasuki gua”, lanjut pak Mirzan.
Pintu masuk gua Matu ternyata berbeda dengan bayangan saya. Saya membayangkan sebuah lubang lebar menganga berbentuk bulat, leluasa dimasuki oleh manusia. Tapi yang kami temui adalah sebuah lubang nyaris berbentuk segitiga memanjang ke atas, dengan lebar pada bagian alasnya sekitar 60 cm. Lubang pintu masuk ini terkesan seperti celah yang timbul ketika dua potong batu raksasa di rekatkan.
“Sekarang sih enak keluar masuk gua ini”, kata pak Mirzan. “Dulu, pintu masuk ini dijaga oleh ular besar yang melingkar di dalam lubang itu”, pak Mirzan menunjuk sebuah lubang besar bertingkat di atas pintu masuk. Melihat dari bentuknya, lubang itu memang seperti dirancang untuk tempat ular bersarang. “Dulu, diperlukan nyali lebih besar lagi untuk masuk gua ini”, kata pak Mirzan.” Karena, kadang-kadang, badan ular itu tersentuh oleh kepala kita.”
Di depan pintu masuk kami menemui abu bekas pembakaran kemenyan, sepertinya sisa tadi malam. Di dekatnya, ada beberapa batang rokok seperti dijemur karena basah, di atas anyaman bambu kecil persegi empat. “Itu bekas orang tadi malam”, kata pak Mirzan. “Orang sering berkunjung ke sini ya, Pak?”, tanyaku. “Ya, cukup sering.” “Orang dari mana saja?”, tanyaku lagi. “Dari mana-mana. Ada yang dari Jawa. Ada juga orang sekitar sini.” “Apa saja tujuan mereka, Pak?’, kejarku. “Macam-macam pula”. Jawab pak Mirzan.
III.
Memasuki gua Matu seperti memasuki alam lain. Begitu kaki melangkah ke dalam, rasanya seperti terputus dari dunia luar. Ruangan di dalam gua Matu ternyata lega dan lapang sehingga kami leluasa bergerak. Aroma mistis mulai terasa sejak langkah pertama, melewati lubang pintu masuk itu. Suasana seperti mencekam. Kami seperti terkepung dalam suasana mistis. Kami berempat berjalan dengan pikiran masing-masing. Tidak ada yang banyak bicara. Cuma pak Mirzan yang menjadi guide kami yang bicara, membeberkan sepenuh pengetahuannya tentang gua ini. Cerita-cerita mistis soal gua Matu yang kami dengar selama ini seperti mendapat penguatannya ketika kami berada di dalam gua ini. “Jangan sekali-kali berkata-kata atau berbuat kotor di dalam gua ini”, kata pak Mirzan. “Dan jangan pula berkata-kata yang sifatnya melecehkan atau tidak percaya”, katanya lagi. “Pernah ada orang sekitar sini yang berkata melecehkan, ’Masuk gua seperti ini nggak ada permisi-permisian’, katanya. Beberapa menit kemudian, dia pingsan. Terpaksa kami harus menggendongnya keluar”, cerita pak Mirzan. “Pernah pula ada yang membunuh seekor ular di dalam gua ini. Tak lama kemudian, dia jatuh sakit selama satu bulan.” Mendengar cerita pak Mirzan, kami jadi ciut. “Jangan pula kencing di dalam gua ini”, katanya menambahkan.
Kalau mau dihimpun semua, banyak sekali cerita-cerita pak Mirzan soal gua Matu. Pesan yang tersirat dari cerita-cerita itu, agar kita jangan sekali-sekali meremehkan soal mistifikasi gua Matu. “Orang paling berani sekali pun, yang berani makan daging manusia mentah-mentah, menjerit memasuki gua ini”, katanya.
Beberapa langkah dari pintu masuk, aroma kotoran kelelawar mulai menyergap. Selanjutnya, bau kotoran kelelawar ini setia menemani kami di setiap sudut bagian dalam gua. Bau kotoran kelelawar adalah ciri khas yang tak terpisahkan dari gua Matu ini.
Bagian dalam gua Matu terdiri dari dua bagian, bagian entrance dan lobi, sebutlah begitu. Bagian entrance adalah sebuah lorong selebar kurang lebih 3 meter, menghubungkan pintu masuk dengan lobi, dengan ketinggian atap sekitar 4 meter. Sedangkan lobi adalah sebuah ruangan bulat lebar seperti kubah mesjid dilihat dari dalam, dengan ketinggian atap sekitar 8 meter, dengan luas lebih kurang 200 meter persegi. Memasuki lobi, kami disambut oleh ribuan, jutaan menurut pak Mirzan, kelelawar yang bermanuver di sekitar langit-langit gua. Ribuan kelelawar yang terbang membabi buta itu kadang-kadang menabrak manusia yang lewat di dekatnya. Jumlah kelelawar di dalam lobi sebenarnya tidak terlalu banyak, tapi jika kita masuk lorong lebih ke dalam lagi, jumlahnya semakin banyak. Menurut pak Mirzan, saking banyaknya kelelawar berterbangan di lorong gua ini, timbul angin kencang seperti badai. “Kalau kita membawa obor, apinya meliuk-liuk seperti kena angin badai”, katanya.
“Ada sarang burung walet nggak di dalam gua ini?”, tanya Sapta. “Jangan pernah berpikir Anda akan mendapatkan sarang burung walet di dalam gua ini”, jawab pak Mirzan. “Gua Matu bukan tempat untuk mencari benda-benda seperti itu.” Menilik dari kepribadian pak Mirzan yang bersahaja, kami percaya dengan kejujurannya. Dia yang sehari-harinya keluar masuk gua ini, baik siang maupun malam hari, tidak pernah mendapatkan apa-apa dari dalamnya. Kalau di dalam gua ini ada harta karun, atau sarang burung walet, tentu dia sudah jadi orang kaya sejak dulu.
“Untunglah kita masuk ketika matahari belum lewat. Kalau matahari sudah lewat lubang itu, keadaan di sekitar sini gelap gulita”, pak Mirzan menunjuk lubang yang cukup besar di dinding gua, di belakang kami. Lubang yang dia sebut jendela itu memancarkan cahaya matahari ke dalam gua, sehingga suasana di dalam lobi tidak terlalu gelap. “Sore hari, kita harus membawa lampu senter untuk masuk sini”, katanya. Saya tengok jam di HP, pukul 10.52.
Dari lobi ini, perjalanan bisa dilanjutkan dengan menyusuri lorong-lorong kecil yang semakin jauh semakin semakin rendah atapnya, sampai titik di mana kita tidak bisa lagi berdiri. Membayangkan perjalanan menyusuri lorong gelap yang sempit dengan berjalan duduk, kami jadi ciut. Akhirnya, kami mundur setelah mencoba beberapa langkah. Lorong-lorong cabang dari lobi ini ter bagi ke dalam cabang-cabang lagi, sehingga menyerupai labirin. Salah-salah, kita bisa tersesat tidak menemukan jalan keluar.
“Orang sering menginap di sini ya, Pak?”, tanyaku pada pak Mirzan. “Iya, sering. Mereka tidur di sekitar sini”, katanya menunjuk ke dinding lobi.
Setelah berada di dalam gua kurang lebih satu jam, kami keluar. Untunglah di antara kami berempat tidak ada yang bertingkah macam-macam, sehingga kami bisa keluar dengan selamat. Kami bersyukur apa yang diceritakan pak Mirzan tadi tidak terjadi pada kami.
IV.
Keluar dari mulut gua, pak Mirzan menunjuk ke sebuah bukit karang kecil menyerupai sebuah pulau karena berada di mulut sungai, di muara, di pinggir pantai berpasir kelabu itu. “Konon, itulah mesjid mereka”, katanya. Kami berempat langsung nyambung siapa yang dimaksud dengan ‘mereka’ oleh pak Mirzan. Kami maklum. Tidak ada di antara kami yang bertanya lebih jauh. Cerita-cerita soal gua Matu yang pernah kami dengar sudah cukup merupakan referensi bagi kami untuk memahami apa yang dimaksud pak Mirzan, sebuah ‘dunia lain’ yang tidak kasat mata.
Kami harus kembali ke warung di desa Campang di mana kami menitipkan sepedamotor tadi, dengan berjalan mendaki bukit yang tadi kami turuni. Ternyata perjalanan mendaki lebih melelahkan daripada menurun. Dengan nafas tersengal-sengal, akhirnya kami tiba juga di warung tempat kami menitipkan sepedamotor. Ternyata bapak yang tadi duduk di depan warung masih ada di situ. Dari omong-omong dengannya, kami peroleh keterangan bahwa dia berasal dari Bengkunat. Sudah tiga malam dia menginap di gua Matu, dan dia akan menginap selama empat hari lagi. “Ada niat apa, Pak?”, tanya kami. “Ya, sekedar untuk meminta kelancaran usaha”, jawabnya.***
Surf Reports
The Peak Tuesday
Krui surfs were small this morning. When I arrrived at the beach at about...The Peak and the Leftover Wednesday
It was a lot of fun at The Peak this morning. The surf was big, clean, and...Krui Surfs Tuesday; The Peak and The Leftover
Small and two much wind. That’s probably the right description about Krui...The Peak Sunday
Krui surfs were small this morning. When I checked Krui Right at about...The Peak Friday
Small. That’s the right word to describe Krui Left and Krui Right this...The Peak Wednesday
Krui surfs were working this morning, but they were not fun enough. When I...
Meet People
Sherif Shaaban
You cannot bet someone’s nationality only by his name. I can’t either. ...Masao Kisaka
I have met quite some people who told me that they had read this blog...Gareth Todd
Gareth is one of the guys who stayed in Krui for more than one month....Kwok Cheung Choi
There must have been some Hong Kong tourist coming to krui before, but this...
Krui dan Sekitarnya
Semboyan yang Tidak Produktif
Ada satu yang menjadi unek-unek dan menganjal dalam pikiran saya sehubungan...Pemkab Pesisir Barat Harus Terbitkan Perda tentang Bangunan Pinggir Pantai
Wilayah pinggir pantai Krui dari pantai Labuhan Jukung hingga Walur...Penerbangan ke Krui Sibuk
Penerbangan perintis dari dan ke Krui dengan Susi Air kini tergolong sibuk....Melongok Pusat Penangkaran Penyu di Lampung Barat
PENYU terancam punah. Jumlahnya, dari waktu ke waktu, cenderung menyusut....'Si Bolang' di Labuhan Jukung
Ada yang beda di Pantai Labuhan Jukung pagi tadi. Biasanya pada hari Minggu...Pesisir Krui Nan Menawan
Normal 0 false false false EN-US ...Pejabat Eselon II Dilantik
Gubernur Lampung Sjahroedin Z.P. melantik 21 pejabat di...Pantai Tebakak
Pantai Tebakak atau orang Krui sering menyebutnya Tembakak adalah sebuah...Gua matu, Gua Mistis
Pengantar Gua Matu adalah sebuah gua yang terletak di desa Way Sindi,...Angin Kencang Nelayan Tak Berani Melaut
Hujan disertai angin kencang yang turun sejak pagi dini hari, Rabu, 9...Pembangunan Jangan Merusak Keindahan Alam
Jangan biarkan sawah yang indah ini menjadi tempat...Masyarakat Pesisir Krui Gelar Syukuran DOB KPB
Masyarakat pesisir Krui melakukan acara syukuran atas terbentuknya DOB...Festival Teluk Stabas XV
Pemerintah Kabupaten Lampung Barat melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata...Selamat Datang Kabupaten Pesisir Barat
Peta Kabupaten Pesisir Barat Dengan disahkannya UU DOB pada sidang...Pemda Lampung Barat Bangun 'Cottage'
Pemerintah Kabupaten Lampung Barat melalui Dinas Pariwisata dan...Karnaval
Satu-satunya penanda peringatan HUT RI di Krui, Lampung Barat, yang harus...KPB? Tunggu Sebulan Lagi!
Anggota DPD RI Anang Prihantono, bupati Lampung Barat Mukhlis...Tahun Baru di Krui
Ribuan orang memadati lapangan sepakbola di pantai Labuhan Jukung, Krui,...Duku Krui
Duku adalah buah musiman utama lain dari Krui, Lampung Barat, selain...Cerita dari Pantai
Kalau Anda berdiri di pantai Krui dan memegang kamera, ada banyak objek...Membelah Ombak Di Ujung Karang
Peselancar membelah dan mencabik ombak adalah sebuah pemandangan yang ...
More about Krui
Hello Mister Surf Shop
Coming to Krui without a board? Or you just want to learn how to surf...More about Krui
By Brian Berg KRUI’s town beach is called Labuhan Jukung, where there...Flight to Krui Starts July 13, 2013
The first commercial flight from Bengkulu to Krui and from Krui to...This Boy Turned Docile before Drowning
Prolog: Seven teenage-boys from Liwa, the neighboring town of Krui, drowned...Flight from Bandarlampung to Krui Will Cost Rp.320,000
Cessna C208B Grand Caravan The regent of Lampung Barat District Mukhlis...Krui Is Now A New-Established County
Krui and all the area in its coastlines is now a new-established...Krui Airport To Open In 2013
Directorate General of Air Transportation is going to put Krui Airport in...Surfer Flown to Singapore after A Spinal Injury
Repro: Radar Lambar A Cassa King Oppayer (probably CASA King Air)...
Where to stay and eat
Labuhan Jukung Resort
Located right in front of the iconic Krui Left, this state-owned cottages...Pizza Burger
Fed up with Indo food (nasi goreng, sate, bakso, soto, mie ayam, etc.)?...Bakso Podomoro
Bakso or meatballs, or whatever you call it, is the most popular...Welcome to 'The Jack'
Fed up of food at the restaurant across the road? You can go to 'The Jack' at...
Krui and Around
The Daily Life in Krui
The daily life in the town center of Krui is about people...Sea Conservation Center
If you are interested in Nature Conservation of any kind, you can go to...Krui Surfs
If you like surfing as well as swimming, snorkeling, or enjoying...Beaches in Krui
Krui, South Sumatera, Indonesia, is blessed with many beautiful beaches....The Lady Who Photographs
In front of this lady is the surf. Five or six guys were in the water,...Bukit Barisan National Park
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Southern Bukit Barisan National...Traditional Drag-Netting
Traditional drag-netting (‘pukat’ in Bahasa, ‘pukek’ in local...Krui South Sumatera Indonesia, the People and the Livelihood
Krui town center KRUI is a geographical name refers to a...Gunung Pugung
Gunung Pugung is the only mountain that can be seen from Krui beaches....The Shady Karang Nyimbur
Karang Nyimbur is less known in Indonesia compared to Tanjung Setia....Other than Surfing
There is a lot you can do other than surfing when you are in Krui. Below are...Ramadan in Krui
People gathering at the stand of es buah (chopped fruits with...The Mystic Cave of Matu
THE MATU CAVE or Gua Matu is a cave located in Way Sindi, Krui, Lampung...Firewood Women
Cooking with wood of course is an old habit, maybe just as old as...Rains in Krui
Rains can be heavy in Krui. And when they come, they hamper almost...Marching Contest
Marching contest is a yearly event held in order to commemorate...Here Comes the Carnival
Carnival is an extravagant parade held prior to Independence Day in...Hey, Can You See That? It's an ATM!
One of the flaw of tourism industry in Krui, South Sumatera, Indonesia was...Agreement between Honble Englisch East India Company with Pugung Residents
A friend of mine came to me the other day, asking whether I could translate an...
hemmm jadi inget KKN dulu thn 1994, saya pernah kesana bareng teman dan pemuda way sindi. Setengah perjalanan menyusuri pantai dan sisa nya banyak merayap di tebing dengan berpegangan akar pohon yang merambat seperti tali, kalau akar yang kita pegang putus bakal jatuh langsung ke laut dan pasti terbawa ombak, ombak nya sangat menyeramkan. Yang menegangkan juga ada cekungan yang harus kita sebrangi tp harus menunggu ombak nya pergi....dan hanya punya kesempatan beberapa detik kita harus lari sekencang-kencang nya jika tidak keburu ombak datang lagi bakal terbawa ombak ke laut lepas...hii..Setelah sampai kita disuguhi pemandangan yang luar biasa indah......
Karena cukup menegangkan akhir nya kami pulang lewat jalan lain yang lebih aman.....lewat Campang seperti yang dilalui penulis.
Mudah2an kondisi alam disana tetap terjaga seperti dulu.
kami tentara matu indonesia dengan ini menyatakan siap membantu indonesia dalam menjaga perdamaian baik luar dan dalam serta keutuhan NKRI....
Hormat kami
ttd
kapt.matu
catatan: kami pernah mdi utus ke iran
@matu, berada di mana para pejuang saudara dari matu
Gua matu bukan tempat untuk kebodohan seperti memberi sesajen dll..tp gua matu adalah tempat memanjatkan doa kepada Allah SWT yg mungkin akan lebih cepat di dengar melalui mereka yg meridhoi usaha anda
Saya salah satu yg memiliki keterikatan dengan matu
Post a Comment