'The heartless world'...Madrid selama perang saudara Spanyol. Photograph: Hulton Archive |
John Cornford merupakan salah satu relawan Inggris dalam perang saudara Spanyol, 1936-1939. Lahir pada tahun 1915, dia adalah anak seorang pengikut seni aliran klasik, Francais Cornford, dan penyair, Frances Cornford. Kedua orang tuanya memberinya nama baptis Rupert John untuk mengenang teman mereka yang hebat, si penyair Rupert Brooke, tapi nama pertamanya itu kemudian dihilangkan, kata ayahnya, karena terdengar terlalu romantik. John Cornford menjadi anggota Barisan Komunis Muda pada usia 18, dan menjadi anggota penuh Partai Komunis pada usia 20. Ketika baru lulus dari Cambridge, dengan peringkat pertama dan masa depan yang cerah, dia pergi ke Spanyol untuk berperang mendukung partai Republik di negara itu dalam menghadapi pemberontakan golongan nasionalis pada bulan Agustus 1936, dan bergabung dalam gerakan anti-Stalin POUM (Partai Pekerja bagi Unifikasi Marxist). Dia ikut berperang untuk mempertahankan Madrid dan Boadilla, dan tewas di front Cordoba pada bulan Desember, pada hari atau sesaat setelah ulang tahunnya yang ke-21.
“Puisi,” pilihan di bawah ini, ditujukan untuk kekasih si penyair ini dan temannya aktivis politik, Margot Heinemann. Sama sekali tidak ditujukan pada Rupert Brooke, tidak juga, secara mengejutkan, pada WH Auden. Cornford memulainya dengan dramatis, seolah-olah ingin membangkitkan kekuatan abstrak yang besar. Sentuhannya yang inovatif, pengulangan kata “heart” sebanyak tiga kali, berhasil dengan indah. Gelora emosi tercipta dari masing-masing repetisi, dan, setiap kali, kata tersebut diulang, dia mendapatkan tempatnya tersendiri dengan makna yang sedikit berbeda, mulai dari yang impersonal hingga yang terkesan mesra. “Heart of the world” tentu merupakan sebuah ungkapan yang romantis, dengan echo yang bergayaYeatsian, tapi penggambaran dunia sebagai “heartless” lebih dekat pada realisme daripada keinginan untuk terdengar romantis, dengan makna yang langung tetuju pada sebuah perang, dan latar belakang yang lebih luas dari kebangkitan fasisme. Cornford kemudian mengalihkan perhatian dari yang general ke personal hingga ke yang khusus. Ungkapan “Dear heart” memperjelas kepada siapa puisi ini ditujukan. Ini bukanlah puisi tentang perang dan politik seperti puisinya yang lain “Full Moon at Tiez,” tapi sebuah puisi cinta.
Ungkapan kemesraan gaya baru ini, juga, mengisyatkan sebuah surat cinta. Kemudian puisi ini akan membahas tentang pengungkapan sebuah pengalaman langsung, khususnya pengalaman batin. Suaranya lembut, jujur, dan terus terang, berani namun tidak sesumbar. Keberanian yang tidak sepenuhnya berhubungan dengan perang: tapi keberanian dalam melawan emosi. “The pain at my side” mengingatkan kita bahwa cedera akibat perang tidak hanya fisik, bukan hanya cedera di tubuh semata. Dan ketidakhadiran seseorang yang dikasihi dirasakan begitu akut, seperti sebuah bayangan yang selalu menyertai kemanapun dia pergi.
Ide ketiiadaan orang yang dikasihi ini diulang pada bait yang ketiga, di mana si pembicara menggunakan cara kekanak-kanakan untuk mengungkapkan ketidakhadiran orang yang dikasihi. Dia menggunakan kata yang berima sama, “side”, dan bunyi yang tinggi dan sedih dari bait pertama diulang, tetapi sekarang ada “pride,” dan harapan akan sebuah kenyamaman yang intens dan visoner. Ide bahwa cinta bisa dikomunikasikan secara telepati, dan bahwa kehadiran orang yang dikasihi “kiranya cukup” hanya dengan membayangkan secara “kindly”, ditulis sangat sederhana dan menyentuh sehingga tidak tampak seperti ungkapan yang gombal atau berbunga-bunga. Sekali lagi, Cornford membawa si orang yang dimaksud dalam puisi ini dengan penuh kasih—dengan kata yang sederhana, informal, dan akrab “dear.”
Stanza yang kedua memperkuat rasa dingin yang digambarkan oleh “shadow” dalam stanza yang pertama. Dua baris pertama dalam stanza yang kedua, dengan ritme yang melambai dan bunyi “i” kesukaan dalam “rises” dan “reminds” menggambarkan adanya firasat dan mendesahkan kesunyian. Penggunaan kata kerja utama, “reminds,” secara intransitif menguatkan rasa kesepian itu.
Dengan ritmenya yang kuat, yang sering kali trochaic, puisi ini mengajak kita mendengar derap langkah bala tentara yang sedang berbaris. Bahkan cinta itu sendiri tergambar seperti seorang tentara bayangan yang berjalan lunglai di samping si penyair di “last mile.” Kematian yang dia takuti terwujud hampir secara aliteratif dengan nama kota, “Huesca”. Penggunaan ritme yang serba sedikit yang konstan memastikan tidak ada jejak kemonotonan, melainkan adanya pasang surut dari perasaan yang kompleks—rasa takut, dan rasa takut akan rasa takut itu sendiri, keyakinan, keberanian, kerinduan akan kenyamanan—seperti sebuah landscape yang mengalir deras.
Ungkapan tentang ketiadaan seseorang dengan cara yang penuh kasih di permulaan sajak adalah sesuatu yang menyentuh bagi kita pembaca, dan menyeret kita ke dalam, tapi sesuatu yang lain membuat kita terus membaca, sesuatu yang tidak begitu dramatis dan lebih menunjukkan kebenaran, sesuatu yang hampir menyerupai kenyataan. Nada yang yang lebih tenang ini dipertahankan hingga ke bagian akhir, di mana harapan terakhir itu begitu sederhana, yang dinyatakan dengan kepolosan yang sempurna.
Faktanya, setelah berbunga-bunga nan romantis pada bait yang pertama, puisi ini kemudian menunjukkan banyak nilai-nilai klasik: proporsi, disiplin diri, integrasi dari pikiran dan tubuh. Membaca puisi ini Anda akan merasa seolah-olah sedang disuguhi sebuah foto tentang kehidupan batin dari seorang tentara muda. Dia adalah seorang kekasih yang penuh gairah dan seorang tentara yang penuh gairah: kualitas ini tercipta dari keseimbangan psikis yang sempurna. Dan kualitas ini tak lekang oleh waktu. Si pembicara dalam puisi ini bisa jadi merupakan salah satu dari pahlawan dalam cerita karangan Homer. Dia bisa jadi seorang Spartan di Thermopylae.
Adalah mengagumkan bahwa lirik yang sedemikian agung dan berterima ini ternyata ditulis di bawah tekanan situasi yang sedemikian rupa, dan oleh seorang penulis yang baru berusia 20 tahun. Sebagai sebuah “surat terakhir” puisi ini tidaklah mentah dan tidak juga prosaik, dan dengan atau tanpa sepengetahuan si pembaca akan pengorbanan Cornford, puisi ini tak pelak merupakan salah satu puisi cinta yang paling menyentuh dan paling dikenang dalam abad ke-20. (By Carol Rumen)
Huesca
Heart of the heartless world,
Dear heart, the thought of you
Is the pain at my side,
The shadow that chills my view.
The wind rises in the evening,
Reminds that autumn is near.
I am afraid to lose you,
I am afraid of my fear.
On the last mile to Huesca,
The last fence for our pride,
Think so kindly, dear, that I
Sense you at my side.
And if bad luck should lay my strength
Into the shallow grave,
Remember all the good you can;
Don't forget my love.
Huesca
(Terjemahan Chairil Anwar)
Jiwa di dunia yang hilang jiwa
Jiwa sayang, kenangan padamu
Adalah derita di sisiku
Bayangan yang bikin tinjauan beku
Angin bangkit ketika senja
Ngingatkan musim gugur akan tiba
Aku cemas bisa kehilangan kau
Aku cemas pada kecemasanku
Di batu penghabisan ke Huesca
Pagar penghabisan dari kebanggan kita
kenanglah, sayang, dengan mesra
Kau kubayangkan di sisiku ada
Dan jika untung malang menghamparkan
Aku dalam kuburan dangkal
Ingatlah sebisamu segala yang baik
Dan cintaku yang kekal
http://www.theguardian.com/books/booksblog/2010/oct/25/poem-of-the-week-john-cornford
0 comments:
Post a Comment