“Kebakaran hebat melanda … tadi malam. Dalam peristiwa tersebut, sepuluh rumah musnah dilalap si jago merah ….” Kalau Anda sering menyaksikan berita di TV, atau membaca berita di surat khabar, tentu Anda sering mendengar gaya bahasa seperti itu. Ya, frasa “dilalap si jago merah” memang sering kali kita dengar dan kita baca. Gaya bahasa seperti ini memang diperlukan dalam reportase sebagai bunga bahasa, sebagai pemanis. Bandingkan dengan, “Dalam peristiwa tersebut, sepuluh rumah musnah dibakar api,” misalnya, yang terasa kurang menggigit, dan lugu.
Tapi tepatkah istilah “dilalap si jago merah” ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Online (KBBIO), lalap adalah kata benda. Lalap berarti daun-daun muda, mentimun, petai mentah, dsb yang dimakan bersama-sama dengan sambal dan nasi; ulam.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa melalap berarti memakan daun-daun muda, mentimun, petai mentah, dsb bersama-sama dengan sambal dan nasi. Dari sini jelas melalap bukan berarti memakan hidangan utama, melainkan memakan hidangan sampingan, atau tambahan. Hidangan utamanya adalah nasi dan sambal. Sedangkan dilalap berarti pasif; daun-daun muda, mentimun, petai mentah tersebut dimakan bersama-sama dengan sambal dan nasi.
Jadi kalimat seperti, “sepuluh rumah musnah dilalap api,” berarti api memakan rumah-rumah tersebut sebagai lalap, bukan sebagai hidangan utama. Dengan kata lain, selain rumah-rumah tersebut ada yang lain dimakan api, yang justru lebih penting, lebih utama; sebagai nasi dan sambalnya. Anehnya, dari apa yang kita lihat, kita dengar dan kita baca, tidak ada yang lain lagi yang dimakan api; tidak ada nasi dan sambalnya. Api hanya memakan rumah-rumah tersebut saja.
Mungkin lebih tepat kalau istilah dilalap tersebut diganti menjadi dilahap. Lahap menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti (1) suka makan banyak dng tidak memilih-milih makanan; rakus; (2) bernafsu sekali ketika makan.
Dari uraian di atas, kiranya istilah lahap lebih tepat untuk menggambarkan sifat api dalam peristiwa kebakaran, khususnya. Kebakaran, dalam hal ini kebakaran rumah, gedung-gedung, atau hutan, adalah peristiwa di mana massa api sangat masif dan sukar dikendalikan. Api yang besar tersebut membakar, memusnahkan, apa saja dengan tidak memilih-milih, bahkan besi sekalipun bisa musnah dibakar api. Apai membakar dengan rakus, dan bernafsu sekali.
Istilah melahap tidak perlu harus disertai hidangan tambahan. Orang bisa makan dengan lahap dengan atau tanpa hidangan tambahan; dengan lalap atau tidak dengan lalap. Makan dengan lalap atau tanpa lalap adalah tergantung pada siapa yang makan. Ada orang yang suka makan dengan lalap, ada yang hanya suka makan hidangan utama saja. Keberadaan lalap tidak terlalu penting dibandingkan dengan hidangan utama.
Jadi istilah ‘makan’, baik dalam arti harfiah maupun figuratif adalah merujuk pada hidangan utama. Sedangkan istilah ‘melalap’, baik dalam pengertian harfiah maupun figuratif merujuk pada hidangan tambahan berupa daun-daun muda, mentimun, petai, dsb yang dimakan mentah, sebagai pendamping hidangan utama.
Bisa saja daun-daun muda, mentimun, petai mentah tersebut dimakan sebagai hidangan utama (tanpa nasi dan sambal). Tapi kalau kalau demikian, maka dia menjadi hidangan utama, kita tidak bisa menyebutnya sebagai lalap lagi. Lalap adalah makanan tambahan, pendamping, di samping makanan utama.
Jadi lalap ada karena ada hidangan utama. Tanpa hidangan utama, tidak ada lalap. Membicarakan lalap harus disertai hidangan utamanya terlebih dahulu. Mengatakan, “sepuluh rumah musnah dilalap api” tidaklah tepat tanpa membicarakan apa yang dimakan api tersebut sebagai hidangan utamanya terlebih dahulu.***
0 comments:
Post a Comment