Charles Benavidez / Getty Images |
Pengusaha
Kristen, Yahudi, dan Islam telah meluncurkan toko alat-alat seks online
dalam usaha untuk memperbaiki kehidupan seks pasangan yang taat menjalankan
ibadah—dan memperkuat hubungan perkawinan mereka. Allison Yarrow membahas: apa
yang membuat sebuah vibrator menjadi suci?
Kehidupan seks Joy bisa dibagi menjadi dua
bagian: sebelum dan setelah dia menemukan
Akselerator Turbo 8. Sang penganut Kristen evangelical dari lembah tengah California tersebut tidak pernah mengalami
orgasme baik secara sendiri-sedniri maupun dengan suaminya selama 25 tahun.
“Saya tidak menyadari jika saya tidak mengalami hal itu,” kata ibu berusia 59
tahun ini pada The Daily Beast.
Setelah ngobrol-ngobrol dengan beberapa gadis gereja, dia baru menyadari apa
yang selama ini dia tidak alami. “Semua itu Anda alami?” tanyanya. “Mereka
melihat ke saya seolah-olah saya orang tidak waras.” Joyce, yang meminta kami
agar menggunakan nama depannya saja, dan suaminya yang setia mungkin tidak
pernah akan menemukan vibrator berbentuk peluru atau serangkaian “alat bantu
suami istri” lainnya yang kini telah
mereka dapatkan, jika mereka tidak menemukan website alat-alat seks Kristen, Book 22—yang diperkenalkan
oleh seorang teman setelah mereka bercakap-cakap. “Saya adalah seorang penganut
Kristen, tapi alat ini menakjubkan,” kata Joyce. “Rasanya seperti pengantin
baru lagi.” Seks dan agama telah lama dipandang sebagai tabu, di mana
kesenangan hubungan badan lebih sering dipandang sebagai sebuah dosa daripada sesuatu yang suci. Namun di
jaman sekarang, sejumlah penganut Kristen, yahudi, dan Islam yang berwawasan
luas percaya bahwa keduanya bisa saling mengisi dalam sebuah cara yang bersesuaian
dengan ajaran agama mereka—dan bahkan dengan tetap menjunjung tinggi
nilai-nilai tradisional dengan cara memperkokoh ikatan perkawinan.
Masuklah ke industri alat seks yang religius,
yang secara hati-hati memasarkan dan menjual serangkaian produk-produk untuk membangkitkan
kesenangan bagi mereka yang taat beragama. Dengan dukungan dari seorang
direktur summer camp, Joy Wilson
mendirikan Book 22 satu dekade lalu, ketika dia mengalami kesulitan “membuat
tubuhnya merespon” rangsangan suaminya setelah lahirnya anak mereka yang kedua,
dan pencariannya secara online akan
obat-obatan malah menemukan gambar-gambar yang memalukan yang lebih bersifat
mengganggu daripada membantu. Situs perintis tersebut, yang diberi nama dari
kitab injil, juga dikenal sebagai Lagu Sulaiman (Song of Solomon), sekarang
mendapat pesaing dari situs serupa lainnya seperti Hooking
Up Holy, Intimacy
of Eden, dan Covenant Spice.
Dan industri tersebut tumbuh secara
eksponensial pada musim gugur ini dengan diluncurkannya sebuah toko untuk kaum
Yahudi Ortodoks, Kosher Sex Toys, dan tahun lalu dengan
diluncurkannya gerai untuk umat Muslim El Asira. Situs-situs
tersebut bahkan mendapat dukungan dari pelbagai pimpinan komunitas. “Orang
beragama juga melakukan seks sama dengan orang lain,” kata David Ribner,
seorang rabbi dan therapis seks di Israel, yang bekerja sebagai seorang
konsultan untuk Kosher Sex Toys. “Mengapa mereka tidak diberi akses ke alat-alat
yang bisa membuat hidup mereka lebih bahagia?”
Untuk
lebih jelasnya, “umat religius” yang menjadi target mereka adalah pasangan yang
menikah dan heteroseksual; gerai alat-alat Bantu seks religius ini memasarkan
produk mereka secara eksklusif pada pasangan-pasangan seperti ini. Tidak
beruntung dalam percintaan dan mencari kesenangan di tempat lain setelah shalat
subuh? Carilah di tempat lain.
Akan tetapi, apa yang terjadi di atas ranjang
perkawinan yang heteroseksual, bukanlah sesuatu yang sifatnya transendental,
kata para pemilik situs tersebut, yang dengan senang hati melaporkan bahwa
kitab suci mereka tidak hanya mensahkan hubungan seksual antarpasangan, tetapi
juga mewajibkannya. “Jika seorang pria tidak mampu memuaskan seorang wanita di
atas ranjang, maka si wanita tersebut bisa minta cerai,” kata Abdelazis
Aouragh, seorang bisnisman Muslim bangsa Belanda yang mendirikan El Asira—dengan
menekankan ajaran Islam bahwa “Laki-laki dan wanita harus mencapai puncaknya”
selama persetubuhan, dan hanya dengan demikian “persetubuhan tersebut dianggap
sempurna.”
Pangsa pasar yang sedang bertumbuh ini, yang
merupakan bagian dari sebuah industri senilai $15 miliar, melaporkan bahwa
bisnis ini bertumbuh dengan mantap, di mana kebanyakan situs mampu mengirim beberapa ratus
pesanan per bulan. Para klien alat-alat ini
biasanya menemukan alamat mereka melalui Google, kata para pemilik situs tersebut,
atau dari para pemimpin agama yang cerdas atau dari therapis seks yang pandai.
Gerai-gerai tersebut menggunakan banyak produk yang sama dengan produk toko
sekuler, yang kebanyakan buatan China .
Gavriel, seorang salesman furniture berusia 25 yang memiliki Kosher Sex Toy
(dan meminta agar kami menggunakan nama tengahnya saja) mengatakan dalam sebuah
wawancara, “Tidak ada yang salah dengan menggunakan alat-alat bantu seks.”
Bagi seorang outsider, mengunjungi situs-situs religus tersebut rasanya seperti
mendengarkan sebuah versi meracau (bleeped-out)
dari sebuah lagu hip-hop yang eksplisit: substansinya sama, hanya saja detil-detil X-rated-nya dihilangkan. Tidak ada
satupun dari situs-situs tersebut menampilkan gambar-gambar telanjang, sebagai
gantinya mereka menggunakan boneka mannekin untuk memajang lingerie. Mereka juga tidak menggunakan bahasa seks. Kosher Sex
Toys, sebagai contoh, mengubah deskripsi-deskripsi yang bisa mengejutkan para
pelanggan mereka menjadi kata-kata yang lebih sopan. (“Stimulator Klitoris Kupu-kupu” diubah menjadi, sebutlah, “Stimulator
Getar.”) Dan meski mereka tidak memamerkan kesucian mereka, namun mereka
sekali-kali menggunakan ayat-ayat untuk menjual produk mereka, atau mungkin
membuat para pelanggan potensial mereka menjadi lega. Book 22, sebagai contoh, menjanjikan
untuk “memperkuathubungan intim pada semua makhluk Tuhan.”
“Ketaqwaan” dari produk-produk itu sendiri
juga tercermin dalam kemasan dan bentuknya. Wilson
dari Book 22, yang berusia 22 dan tinggal di Oregon tengah, mengemas produknya dalam
kotak polos dengan menyertakan petunjuk perawatan. Gavriel dari Kosher sex Toys
juga membuang segala sesuatu yang dipandang tidak pantas sebelum mengemas
produk yang akan mereka kirim. Sementara itu, Aouragh dari El Ashira hanya
menerima produk-produk dari pemasok yang dikemas secara nyeni dan sopan.
Dengan tetap konsisten sebagai situs yang
religius, gerai-gerai tersebut melakukan hal yang berbeda-beda berdasarkan
ajaran agama mereka, pelanggan mereka, dan kesukaan masing-masing pelanggan
mereka tersebut. Wilson
menolak menjual alat seks anal dan kondom, bukan karena dia tidak mau, tapi
karena para pelanggannya tidak menghendakinya. “Kaum Katolik protes kondom, dan
kaum Kristen evangelical sensitif
tentang anal seks dan play,” katanya.
“Tapi saya akan tetap mengirim benda-benda tersebut jika diminta.”
Aouragh, yang menolak istilah “sex shop,”
lebih suka mengatakan bahwa apa yang dia lakukan tersebut adalah berbisnis
tentang “kesopanan seksual,” yang hanya menjual produk-produk berdasarkan
Syariah. Artinya: tidak menjual vibrator, tidak menjual dildo, atau obat-obatan
yang dianggap bisa memperbesar ukuran
dan menambah ketahanan, karena produk-produk seperti ini salah dalam
menginterpretasikan kejantanan. Homepage
El Asira, yang berarti “Masyarakat” dalam bahasa Arab, dipisah-pisah
menurut jenis kelamin, yang masing-masing dihiasi dengan gambar pintu
masjid—dan meski tetap menawarkan pakaian dalam wanita dan serangkaian produk pijat, namun minyak dan
pelumas adalah yang paling laris.
Sementara itu, Gavriel dari Kosher Sex Toys tidak
menyediakan alat bantu masturbasi bagi pria karena, katanya, Tuhan tidak
menyukai membuang secara sia-sia, menurut kitab Taurat. Akan tetapi, karena Yudaisme
(Yahudi) tidak menghalangi wanita melakukan melakukan rangsangan untuk dirinya
sendiri, dia menyediakan banyak alat-alat untuk itu. Dia juga dengan bangga
menjual alat-alat perangsang (whips)
dan lilin tetes (drip candles); pil
dan alat semprot untuk menambah keperkasaan; sepatu tanpa tumit dan sepatu hak
tinggi setinggi paha; dan berjenis-jenis borgol, rantai (restraints), dan alat-alat untuk membukanya.
Dan sekurangnya ada seorang pelanggan yang sangat
berterima kasih atas temuan ini. Yaakov, seorang salesman penganut Yahudi
ultra-Ortodoks dari New Jersey
yang lebih suka tidak menggunakan nama belakangnya, memandang situs tersebut
sebagai berkah dari Tuhan. Tidak lama setelah perkawinannya dia menemukan bahwa
dirinya mengalami masalah ejakulasi dini, dan therapisnya, yang telah menangani
banyak pasangan ultra-Ortodoks, menyarankan dia menggunakan “alat bantu
perkawinan,” dan mengarahkan dia pada Kosher Sex Toys. Tanpa Tanya ini itu
lagi, Yaakov mengatakan pada The daly
Beast, “Alat-alat ini harus dipandang sebagai sebuah mitzvah.” Tentu saja, banyak pemimpin agama dan penganutnya yang
tidak setuju. Rabbi Avi Shafran, yang berkerja dalam bidang komunikasi pada
sebuah organisasi masyarakat Ortodoks di New
York , mengatakan dalam sebuah email bahwa Kosher Sex
Toys adalah sesuatu yang “cabul—menurut tradisi agama Yahudi—secabul-cabulnya.”
Dia menggambarkan pandangan Yudaisme terhadap hubungan seksual adalah “sublim”
dan “suci,” tapi meenggunakan sex toys menodai kesucian ini.
Sebenarnyalah, menavigasi kepercayaan religius
yang sudah berurat berakar, dan miskonsepsi, tentang seks dan kesenangan
menimbulkan tantangan tersendiri bagi pemilik situs, yang telah mencoba sendiri
alat-alat tersebut atau meminta nasehat dari para ahli untuk meyakinkan
pelanggan mereka. Wilson
mengikuti kuliah tingkat master dalam bidang konseling untuk meningkatkan
kemampuannya dalam melayani pelanggan. Dan Kosher Sex Toys menyewa therapis seks
yang juga merupakan seorang rabbi, Ribner, sebagai orang yang berkelayakan baik dalam bidang seks maupun dalam bidang
kitab suci. Karena kurangnya pendidikan tentang seks, kata Ribner, pasangan
religius sering kali mendapat bimbingan yang salah. “Salah satu pasangan
diberitahu bahwa jika seorang wanita tidak menyukai seks, maka dia harus
menggunakan dua Tylenol dan menyelesaikannya secepat mungkin,” katanya. Dalam
pekerjaannya bersama Kosher Sex Toys, dia telah memberi nasehat tentang
pelbagai topik mulai dari ilmu tentang disfungsi ereksi hingga moralitas dalam memberlakukan
pasangan secara kasar.
Pada dasarnya, bagi semua agama, para pemilik
situs tersebut mempunyai tujuan mulia yang sama: untuk membantu teman-teman (yang
menikah) yang taat menjalankan ibadah menemukan kebahagiaan dan kedamaian di
balik pintu tertutup. “Anda tidak bisa membeli cinta dan respek antara seorang
pria dan seorang wanita,’ kata Aouragh. “Tapi kami mencoba menjadi kreatif dan
cerdas dalam menjualnya.”
Like The Daily Beast on Facebook and follow us on Twitter for
updates all day long.
Allison Yarrow is assignment editor and a staff writer at Newsweek and The Daily Beast. Her essays and
journalism have appeared in Huffington Post, Slate, CNN.com, Poets
& Writers magazine
and The Forward. She created and hosted the Yid Lit
podcast, which interviews authors of literary fiction and nonfiction.
Previously, as an associate producer at NBC News Productions, Allison produced
health segments for a nationally syndicated program hosted by Hoda Kotb, and
long-form documentary hours for MSNBC.
For inquiries, please
contact The Daily Beast ateditorial@thedailybeast.com.
0 comments:
Post a Comment