Jadi,
bagaimana cara Anda menghitung? Banyak budaya menggunakan beberapa variasi dari
apa yang oleh para psikolog disebut “metode kepalan tangan tertutup”, di mana
seseorang mulai dengan kepalan tangan tertutup, dan mulai menghitung dengan membuka
jari-jemari tangannya satu demi satu. Tapi kesamaannya berakhir di sini.
“Derajat
diversitas kultural dalam hal cara menghitung dengan jari… telah dipandang
remeh,” tulis psikolog Andrea Bender dan Sieghard Beller dalam Cognition terbitan terbaru (the
latest issue of Cognition).
Orang Eropa, sebagai contoh, cenderung memulai menghitung
dengan jari jempol kiri. Orang Timur Tengah, sering kali memulai dengan jari
kelingking kanan mereka. Jika Anda berasal dari China, atau Amerika Utara Anda
lebih besar kemungkinan memulai dengan jari telunjuk Anda. Orang Jepang adalah
yang paling aneh; mereka cenderung memulai dengan posisi tangan terbuka, dan
menghitung dengan menutupkan jari-jari
mereka hingga menjadi genggaman tangan, dimulai dengan jari kelingking.
“Bagus,”
begitu mungkin pikir Anda. “Jadi orang menghitung dengan cara berbeda-beda… lalu
apa pentingnya itu?”
Hal
pentingnya adalah, Corrine Burns dari The
Guardian menjelaskan (explains
The Guardian's Corrine Burns), bahwa menghitung dengan jari boleh
jadi terasa sama alaminya dengan bernafas, namun hasil penelitian
mengisyaratkan bahwa hal ini bukanlah bersifat bawaan (innate) dan tidak juga universal. “Ini hanyalah teknik yang berbeda-beda, dan teknik-teknik
tersebut ditransmisikan secara kultural.” Realisasi ini menambah lagi bukti-bukti
yang sudah ada yang mengisyaratkan bahwa kebiasaan menghitung dengan jari
mempunyai efek yang signifikan tentang cara otak kita memproses angka-angka.
Burns menjelaskan:
Ada kaitan mental antara tangan dengan angka, namun
kaitan itu tidak berasal dari pembelajaran manusia untuk menggunakan tangan
mereka sebagai alat bantu menghitung. Hal itu lebih berkaitan dengan evolusi
manusia. Marcie Penner-Wilger dan Michael L. Anderson
mengemukakan bahwa bagian dari otak kita yang mulanya berevolusi untuk
merepresentasikan jari-jemari tangan kita telah direkrut untuk
merepresentasikan konsep kita tentang angka,
dan bahwa sekarang otak kita melakukan kedua fungsi tersebut bersama-sama.
Hasil scan fMRI menunjukkan bahwa wilayah-wilayah otak
yang berhubungan dengan indera jari (finger
sense) menjadi aktif ketika kita melakukan tugas-tugas yang berhubungan
dengan angka, bahkan ketika kita tidak menggunakan jari-jemari tangan kita
untuk membantu kita menyelesaikan tugas-tugas seperti itu. Dan berbagai penelitian
menunjukkan (studies show) bahwa
anak-anak yang mempunyai kesadaran jari (finger
awareness) yang tinggi lebih baik dalam hal melakukan tugas-tugas
menghitung dibandingkan dengan mereka yang indera jarinya kurang.
Bahkan sebagai orang dewasa, cara kita membayangkan
angka di dalam ruang (space)—efek SNARC (SNARC effect)—berhubungan dengan jari
yang kita gunakan untuk mulai menghitung.
Semua
temuan ini berkaitan dengan sebuah ladang penelitian yang sedang bertumbuh yang
dikenal sebagai kognisi berwujud (embodied
cognition), yang menunjukkan bahwa banyak cara kita berhubungan dengan,
menginterpretasikan dan mengalami dunia ini dibentuk oleh pengalaman-pengalaman
fisik kita—bahkan dengan cara-cara yang tampak tidak masuk akal atau tidak
logis. Proponen dari kognisi berwujud ini, sebagai contoh, adalah bahwa hal itu bisa menjelaskan
mengapa kita mengasosiasikan berat sesuatu dengan pentingnya sesuatu itu (we
associate weight with importance) dan mengapa pengucilan sosial (social exclusion) terasa, secara cukup
harfiah, dingin (why
social exclusion feels, quite literally, cold). Diri (self) kita secara fisik dan psikologis,
menurut temuan ini, boleh jadi berhubungan lebih dekat daripada yang kita
sadari. [Cognition via The
Guardian] (Robert T.
Gonzalez)
Top image via Shutterstock
0 comments:
Post a Comment