Mike Pence (Photo: Gage Skidmore/Flickr) |
Sebuah
penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Neuropsychologia menunjukkan bahwa fundamentalisme religius
adalah, sebagian, merupakan akibat dari adanya gangguan di wilayah otak yang
dikenal sebagai prefrontal cortex. Temuan tersebut mengisyaratkan bahwa
kerusakan pada bagian tertentu dari prefrontal cortex secara tidak
langsung bisa mengakibatkan fundamentalisme religius dengan cara melemahkan
fleksibilitas kognitif dan keterbukaan—sebuah istilah psikologi yang
menggambarkan sebuah sifat kepribadian yang melibatkan dimensi seperti rasa
ingin tahu (curiosity), kreativitas, dan keterbukaan pikiran.
Kepercayaan religius
bisa dianggap sebagai representasi mental yang ditransmisikan secara sosial
yang mencakup peristiwa-peristiwa supernatural dan entitas-entitas yang
dianggap merupakan kenyataan. Kepercayaan religius berbeda dari kepercayaan
empiris, yang berdasarkan bagaimana keadaan dunia yang sebenarnya dan di-update
ketika ada bukti-bukti baru ditemukan atau ketika ada bermunculan teori-teori
baru dengan kekuatan prediktif yang lebih baik. Di sisi lain, kepercayaan
religius tidak biasanya di-update
meski ada bukti-bukti baru atau ada penjelasan-penjelasan ilmiah baru, dan
dengan demikian sangat erat dihubung-hubungkan dengan konservatisme. Kepercayaan
religius bersifat tetap dan kaku (fixed
and rigid), yang dengan demikian bisa semakin memperkuat prediktabilitas
dan koherensi terhadap aturan masyarakat di antara masing-masing individu di
dalam kelompok tersebut.
Fundamentalisme
religius merujuk pada sebuah ideologi yang menekankan pada teks-teks religius
tradisional dan ritual-ritual dan mengabaikan pikiran progresif tentang agama
dan isu-isu sosial. Kelompok-kelompok fundamentalis biasanya menentang segala
sesuatu yang mempertanyakan dan menentang kepercayaan mereka atau cara hidup
mereka. Oleh karena itu, mereka sering kali agresif terhadap orang lain yang tidak
memiliki kepercayaan-kepercayaan supernatural yang sama, dan terhadap sains,
karena hal-hal serupa itu dianggap merupakan ancaman berbahaya terhadap
pandangan mereka secara keseluruhan.
Karena kepercayaan
religius memainkan peran besar dalam mengarahkan dan memengaruhi tingkah laku
manusia di seluruh dunia, maka adalah penting untuk memahami fenomena
fundamentalisme religius ini dari persfektif psikologis dan neurologis.
Untuk meneliti
sistem kognitif dan sistem neural (sistem saraf) yang memengaruhi
fundamentalisme religius, satu tim peneliti—yang dipimpin oleh Jordan Grafman
dari Northwestern University—melakukan
sebuah penelitian yang mengggunakan data dari para Veteran Perang Vietnam yang
telah dikumpulkan sebelumnya. Para veteran tersebut dipilih secara khusus
karena sejumlah besar dari mereka mengalami kerusakan di wilayah otak yang
dianggap memainkan peran penting dalam fungsi-fungsi yang berhubungan dengan
fundamentalisme religius. Hasil-hasil CT-scan
dianalisis dengan membandingkan 119 orang veteran yang mengalami trauma otak
dengan 30 orang veteran sehat yang tidak mengalami kerusakan apa-apa. Mereka juga
melakukan sebuah survei untuk menilai fundamentalisme religius. Meski mayoritas
partisipan memeluk agama Kristen tertentu, namun 32,5% dari mereka tidak
menyatakan memeluk agama apapun.
Berdasarkan penelitian
sebelumnya, para peneliti memperkirakan bahwa prefrontal cortex memainkan peran dalam fundamentalisme religius,
karena agama dikenal berhubungan dengan sesuatu yang disebut ‘fleksibilitas
kognitif’. Istilah ini mengacu pada kemampuan otak untuk dengan mudah berpindah
dari berpikir tentang salah satu konsep ke konsep lainnya, dan untuk berpikir
tentang banyak hal secara bersamaan. Feksibilitas kognitif memungkinkan organisme
meng-update kepercayaan mereka jika
ada bukti-bukti baru, dan sifat ini muncul tampaknya karena adanya keuntungan
survival (survival advantage) yang nyata
dari skill tersebut. Fleksibilitas kognitif merupakan karakteristik mental yang
krusial untuk beradaptasi terhadap lingkungan-lingkungan baru karena dia
memungkinkan para individual untuk membuat prediksi lebih akurat tentang dunia
di dalam kondisi yang baru dan berubah-ubah.
Menurut Dr. Grafman dan timnya, karena fundamentalisme religius melibatkan kesetiaan yang kuat terhadap seperangkat kepercayaan yang kaku, maka fleksibiltas kognitif dan keterbukaan pikiran menjadi tantangan bagi kaum fundamentalis. Dengan demikian, mereka memprediksi bahwa para partisipan yang mengalami kerusakan pada vmPFC ataupun dlPFC akan mendapat nilai rendah dalam ukuran fleksibilitas kognitif dan sifat keterbukaan dan nilai yang tinggi dalam ukuran fundamentalisme religius.
Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa, seperti yang diperkirakan, kerusakan pada vmPFC maupun pada dlPFC ada hubungannya dengan fundamentalisme religius. Uji tahap lanjut mengungkapkan bahwa peningkatan dalam fundamentalisme religius ini disebabkan oleh adanya penurunan dalam fleksibilitas kognitif dan keterbukaan akibat adanya kerusakan prefrontal cortex. Fleksibilitas kognitif dinilai dengan menggunakan standar tes memilah kartu psikologis yang mencakupkan mengategorikan kartu-kartu yang berisikan kata-kata dan gambar-gambar sesuai aturan. Keterbukaan diukur dengan menggunakan sebuah survei kepribadian yang banyak digunakan yang dikenal asebagai NEO Personality Inventory. Data yang didapat mengisyaratkan bahwa kerusakan pada vmPFC secara tidak langsung bisa menimbulkan fundamentalisme religius dengan cara melemahkan fleksibiltas kognitif dan keterbukaan.
Temuan ini penting karena mengisyaratkan bahwa gangguan fungsi prefrontal cortex—apakah karena trauma otak, gangguan psikologis, kecanduan obat atau alkohol, atau karena profil genetik tertentu—bisa membuat seseorang terkena fundamentalisme religius. Dan mungkin dalam kasus-kasus lainnya, indoktrinasi religius yang esktrem akan merusak perkembangan atau fungsi wilayah prefrontal yang semestinya dengan cara menghambat fleksibiltas kognitif dan keterbukaan.
Para penulis dalam penelitian tersebut menekankan bahwa fleksibilitas kognitif dan keterbukaan bukanlah satu-satunya yang membuat otak menjadi rentan terhadap fundamentalisme religius. Nyatanya, analisis mereka menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut hanya seperlima dari variasi di dalam nilai-nilai fundamentalisme. Untuk mengetahui sebab-sebab lainnya, yang bisa jadi meliputi mulai dari predisposisi genetik hingga pengaruh-pengaruh sosial, adalah merupakan proyek riset masa depan yang dipercaya akan menyibukkan para peneliti di masa-masa yang akan datang, mengingat betapa kompleks dan luasnya fundamentalisme religius ini dan akan terus ada hingga beberapa lama.
Dengan meneliti kognitif dan neural yang merupakan penopang fundamentalisme religius, kita bisa memahami dengan lebih baik bagaimana fenomena tersebut timbul di dalam konektivitas otak, yang bisa memungkinkan kita di suatu saat nanti bisa menangkal sistem-sistem kepercayaan yang radikal dan kaku melalui berbagai latihan kognitif dan mental. (By Bobby Azarian).
Bobby Azarian is a freelance writer with a PhD in neuroscience. His research has been published in journals such as Cognition & Emotion and Human Brain Mapping, and he has written for The Atlantic, The New York Times, BBC Future, Scientific American, Psychology Today, and others. Follow him @BobbyAzarian.
https://www.rawstory.com/2018/03/scientists-established-link-brain-damage-religious-fundamentalism/
0 comments:
Post a Comment