Teman saya, seorang guru golongan IV.A, mengatakan dia
mendapat tawaran pembuatan sebuah karya
tulis ilmiah untuknya dari sebuah perguruan tinggi ternama dengan harga Rp.8
juta. Karya tulis tersebut nantinya akan dijadikan salah satu syarat untuk naik
golongan dari IV.A ke IV.B.
Tapi teman saya tersebut tidak langsung menerima, bukan
karena dia sok idealis, tapi karena dia meragukan kebenaran tawaran itu. “Saya
mau, tapi saya meragukan keberhasilannya. Tolong tunjukkan orang yang sudah Anda
bantu yang telah berhasil,” jawabnya. Dan karena orang yang menawarkan itu
tidak bisa menunjukkannya, teman saya menampik tawaran tersebut.
Kalau cerita teman saya itu benar, alangkah mirisnya keadaan
ini. Perguruan tinggi tersebut, yang notabene adalah pembina guru—mereka
merupakan pencetak dan pembina guru dan juga pelaksana evaluasi guru melalui
sebuah proyek yang dikenal sebagai proyek sertifikasi guru—justru menawarkan
sebuah proyek yang justru akan menghancurkan pendidikan, dan menjadikan guru
sebagai sapi perahan untuk menguras uang dan memperkaya diri mereka. Bayangkan,
kalau seorang guru dikenai tarif Rp.8 juta, maka dari 1.000 orang guru golongan
IV mereka akan mendapat Rp.8 milyar, dan jika ada 10.000 orang guru golongan IV
yang ingin naik pangkat, mereka akan mendapat Rp.80. milyar, sebuah angka yang
fantastis bagi penghasilan tambahan dosen perguruan tinggi.
Karya tulis ilmiah memang menjadi syarat bagi guru golongan
IV yang hendak naik ke golongan yang lebih tinggi, dan syarat tersebut telah
menjadi momok yang mengerikan sehingga sebagian besar guru golongan IV.A mentok, tidak bisa naik ke golongan
IV.B. kabarnya, dari sekitar 15.000 guru golongan IV.A di provinsi Lampung, hanya
sekitar 200-an orang yang telah berhasil naik ke IV.B.
Menulis ilmiah memang tidak mudah, dan membutuhkan tenaga
dan pikiran yang tidak sedikit. Kalau mau jujur, tidak semua guru bisa membuat
tulisan ilmiah. Tulisan ilmiah yang dihasilkan oleh sebagian besar guru ketika
mereka kuliah di perguruan tinggi yang dikenal sebagai skripsi tidaklah bisa
dipandang sebagai sebuah karya ilmiah murni, yang bisa dijadikan tolak ukur
kemampuan mereka menulis ilmiah. Sebagian besar mereka menulis skripsi karena
terpaksa, karena itu harus dilakukan jika mereka ingin lulus, dan penilaian
skripsi tersebut oleh dosen pun tidak terlepas dari stigma skripsi sebagai
salah satu syarat kelulusan. Maka tidak heran jika banyak skripsi yang lebih
merupakan karya sulap daripada karya tulis ilmiah.
Lain halnya dengan guru golongan IV.A misalnya, tidak ada
yang mengharuskan mereka menulis karya ilmiah. Mereka akan melakukannya hanya jika
mereka mau, jika mereka ingin naik ke golongan IV.B. Tapi jika mereka tidak
tertarik dengan kenaikan golongan ke IV.B, mereka boleh tidak melakukannya. Dan
karena konsekuensi dari kenaikan golongan bagi guru tidak cukup signifikan
dengan kenaikan status dan penghasilan mereka, maka kebanyakan guru memilih
untuk tidak naik ke golongan IV.B karena hasil yang didapat tidak akan sebanding
dengan pengorbanan yang mereka keluarkan dalam membuat karya tulis ilmiah
tersebut. Dengan kata lain guru tidak akan membuat karya tulis ilmiah jika
tidak diwajibkan, dan jika tidak ada sanksi apa-apa jika mereka tidak
melakukannya.
Kebijakan pemerintah yang akan mewajibkan karya tulis ilmiah
sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk kenaikan golongan bagi guru
dalam setiap jenjang (bukan hanya golongan IV) mulai tahun 2013 akan mengalami
banyak dilema. Tidak banyak yang bisa diharapkan dengan diterbitkannya
peraturan tersebut. Kita tidak bisa begitu naïf memandang aturan tersebut
bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan, melalui mutu guru, semata.
Kenaikan golongan bagi guru bukanlah sesuatu yang
menggiurkan seperti halnya kenaikan golongan bagi pejabat struktural dengan
alasan seperti yang saya kemukakan di atas. Guru mengusulkan kenaikan golongan hanya
untuk pelengkap jabatan, sebagai penunjuk status, junior atau senior, di antara
rekan-rekan mereka. Dan karena proses kenaikan golongan selama ini relatif
mudah.
Jika proses kenaikan pangkat/golongan bagi guru dipersulit, misalnya
dengan mewajibkan mereka membuat karya tulis ilmiah, maka tidak akan banyak
guru yang mengusulkan kenaikan pangkat, apalagi jika tidak ada sanksi apa-apa
bila pangkat mereka tidak naik.
Dan jika nanti proses kenaikan pangkat bagi guru
mengharuskan mereka membuat karya tulis ilmiah, dan jika guru yang tidak naik
pangkat dalam jangka waktu tertentu akan diberi sanksi, maka akan timbul jalan
pintas. Akan banyak bermunculan biro-biro jasa penulisan karya ilmiah bagi guru
dengan tarif tertentu. Dan jika ini yang terjadi maka aturan tentang pembuatan
karya tulis ilmiah bagi guru tersebut tidak akan membawa dampak apa-apa bagi
kemajuan pendidikan, melainkan hanya akan memperkaya para penyedia jasa
penulisan karya ilmiah itu saja.
0 comments:
Post a Comment