Ukuran iklan hari itu
jauh lebih besar dan menyita ruang utama dengan luas sekitar sepertiga dari
luas halaman muka surat kabar tersebut secara keseluruhan. Iklan tersebut
diletakkan di bagian paling atas. Praktis sepertiga bagian paling atas halaman
muka surat kabar tersebut hari itu adalah sebuah iklan. Bahkan logo dan nama
surat kabar tersebut harus dengan suka rela digeser ke bawah, sekitar dua
petiga bagian. Seumur-umur hidup saya berlangganan Lampung Post, sejak tahun 1999, baru sekali ini saya melihat iklan
yang sedemikian rupa di halaman muka harian ini.
Well, iklan, tentu saja, adalah napas sebuah surat kabar. Hampir tidak ada
surat kabar yang bisa bertahan hidup tanpa iklan. Iklan adalah pendapatan utama
sebuah surat kabar. Saya bersyukur Lampung
Post tidak pernah menaikkan harga jualnya dalam sekurangnya lima tahun
terkahir. Hal ini tentu karena iklan. Dahulu, surat kabar sebesar Kompas 40 persen isinya adalah iklan,
kini tampaknya lebih banyak lagi. Bahkan ada beberapa media cetak yang sebagian
besar halamannya adalah iklan. Konon, isi surat kabar-surat kabar dan tabloid
utama luar negeri sebagian besarnya adalah iklan. Saya pernah membaca sebuah
majalah hiburan terbitan luar negeri yang 80 persen isinya adalah iklan. Meski
banyak pula surat kabar yang hanya memuat iklan dalam sebagian kecil
halamannya. Surat kabar seperti ini biasanya tergolong sebagai surat kabar yang
tidak laku.
Bagi pembaca iklan
adalah bagian lain dari berita, atau merupakan berita itu sendiri. Membaca
sebuah surat kabar yang tanpa iklan sama sekali tentu membosankan. Ketika
seseorang membeli sebuah surat kabar, yang ia harapkan tentu bukan hanya berita
atau artikel-artikel opini, tetapi juga iklan. Bahkan ada pembaca yang membeli
sebuah surat kabar hanya untuk melihat iklannya, bukan beritanya; iklan
lowongan kerja misalnya. Bahkan ada pula pembaca yang menganggap surat kabar
itu adalah rujukan untuk mencari iklan semata, bukan berita. Pembaca seperti
ini biasanya hanya membeli surat kabar untuk mencari iklan tertentu.
Maka tak heran, pada
musim-musim tertentu surat kabar seperti panen uang dari iklan. Pada musim
kampanye politik misalnya, banyak sekali surat kabar yang memuat iklan partai
tertentu dan tokoh-tokoh politik tertentu. Bagi surat kabar ini adalah musim
panen. Sedangkan bagi pembaca ini adalah musim menahan diri.
Meski pembaca surat
kabar tidak terganggu, dan tidak secara langsung dirugikan oleh adanya
iklan-iklan politik tersebut, karena iklan seperti itu nyaris tidak mengandung
informasi yang berharga dan tidak mempunyai nilai ekonomi bagi mereka seperti
halnya berita, dan karena iklan seperti itu sebagian besar adalah propaganda
untuk menaikkan citra partai atau tokoh tertentu, dan karena, toh, tidak ada porsi berita yang
dikurangi dalam hal ini, dan karena mereka memang tidak akan membaca semua
bagian dari surat kabar tersebut, namun tak ayal, banyak juga di antara mereka
yang merasa ruang pribadinya terusik. Bayangkan, propaganda-propaganda partai
dan ekspos-ekspos tokoh partai tertentu datang menghampiri mereka, memasuki
ruang pribadi mereka setiap hari. Apalagi jika mereka mempunyai sentimen negatif
terhadap tokoh atau partai yang diekspos. Tidak jarang pembaca membakar atau
merobek-robek gambar partai atau tokoh politik yang mereka tidak sukai yang dimuat
di surat kabar.
Walhasil, semakin
banyak sebuah surat kabar memuat iklan, semakin hal itu menguntungkan secara
esensial, baik bagi penerbit surat kabar itu sendiri maupun bagi para pembaca.
Dengan semakin banyaknya iklan dimuat, maka semakin banyak pendapatan penerbit
surat kabar tersebut. Dengan semakin banyaknya pendapatan penerbit surat kabar
tersebut, maka semakin banyak pula penghasilan para redaksi dan penulis berita.
Dengan semakin banyaknya penghasilan para redaksi dan penulis berita maka semakin
meningkat pula mutu surat kabar yang bersangkutan. Semoga.
0 comments:
Post a Comment