Sekitar pukul 4
pagi itu, ayah saya mendesah yang cukup bisa didengar. Desahannya cukup kuat
untuk membangunkan ibu saya, yang masih dalam keadaan mengantuk mengira ayah
sedang mengalami mimpi buruk.
Tapi ayah tidak mengalami mimpi buruk. Desahan itu adalah hembusan napasnya yang terakhir.
Tak seorang pun, tidak juga ayah saya sendiri, mengetahui bahwa dia sakit. Sedangkan bagi ibu saya, dia menganggap ayah masih tertidur ketika dia bangun beberapa jam kemudian dan makan sarapan pagi sendirian.
Setelah itu, ibu saya kembali ke tempat tidur dan mencoba, dengan berputus asa, membangunkan ayah.
Akan tetapi, ada seseorang yang mengetahui tentang kematian ayah sebelum ibu: saudara saya Katharine, yang tinggal 100 mil jauhnya dan dia sendiri sedang menderita kanker payudara terminal.
‘Di malam ketika ayah saya meninggal dunia,’ katanya pada para pelayat pada waktu pemakanan ayah beberapa minggu kemudian, ‘Saya mengalami sebuah pengalaman spiritual yang luar biasa.
‘Waktu itu sekitar pukul 4.30 pagi dan saya tidak bisa tidur, ketika secara tiba-tiba saya mulai mengalami pengalaman yang menakjubkan ini. Selama dua jam berikutnya, saya tidak merasa apa-apa kecuali rasa senang dan kesembuhan. Saya merasakan sentuhan tangan di kepala saya, dan mengalami penglihatan demi penglihatan tentang masa depan yang bahagia.’
Ketika dia terbangun di pagi harinya, dia menceritakan pengalamannya itu pada anak lelakinya yang remaja Graeme ketika dia mengantarnya ke sekolah. Di antara penglihatannya tentang masa depan tersebut, katanya pada Graeme, adalah seorang anak Graeme—seorang cucu perempuan berusia lima bulan yang nanti akan lahir—yang bermain dengannya di lantai kamar tidurnya.
Setelah Katharine kembali ke rumahnya baru ibu saya menelepon mengatakan bahwa ayah telah meninggal dunia.
Tiba-tiba, Katharine menyadari mengapa ada hentakan energi dan rasa senang yang begitu kuat yang telah dia rasakan di kamar tidurnya, rasa bahwa ada seseorang di sana. ‘Saya tahu itulah ayah saya,’ katanya.
Waktu itu, keluarga saya tidak terbiasa dengan cerita hantu-hantu. Terus terang, reaksi pertama saya ketika mendengar cerita tentang penglihatan saudara perempuan saya itu adalah hampir tertawa histeris.
Tapi, hampir segera setelah itu, penglihatan itu mulai menimbulkan rasa yang mendalam, seperti kepingan-kepingan puzzle yang menyusun dengan sempurna ke tempatnya yang tepat. Tanpa mendiskusikan hal itu, kami menjadi yakin sebagai sebuah keluarga bahwa ayah kami telah melakukan sesuatu yang hebat yang elegan secara emosional.
Dia telah mengambil sebuah kesempatan yang misterius untuk mengunjungi anak perempuannya yang sedang sakit parah, untuk membelainya dan menenangkannya, sebelum dia akhirnya pergi.
Sebulan kemudian, pada awal April, sebuah hasil scan oleh dokter menunjukkan bahwa kanker yang diderita Katharine telah menyebar hingga tulang dan livernya. Dalam sepuluh hari terakhir hidupnya, di dalam sebuah rumah sakit, dia terlihat cantik, seperti mendapat sinar dari dalam.
Kadang-kadang, dia sangat bahagia, berbisik-bisik dengan seseorang yang saya tidak lihat. Pada saat lainnya, dia melihat langit-langit kamar dengan berbagai ekspresi bermain di wajahnya: bingung, senang, skeptis, terkejut, terpaku—seperti sedang melihat sebuah cahaya dari surga.
‘Itu sangat menarik,’ katanya di suatu pagi, tapi dia tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang telah dia lihat.
Tapi ayah tidak mengalami mimpi buruk. Desahan itu adalah hembusan napasnya yang terakhir.
Tak seorang pun, tidak juga ayah saya sendiri, mengetahui bahwa dia sakit. Sedangkan bagi ibu saya, dia menganggap ayah masih tertidur ketika dia bangun beberapa jam kemudian dan makan sarapan pagi sendirian.
Setelah itu, ibu saya kembali ke tempat tidur dan mencoba, dengan berputus asa, membangunkan ayah.
Akan tetapi, ada seseorang yang mengetahui tentang kematian ayah sebelum ibu: saudara saya Katharine, yang tinggal 100 mil jauhnya dan dia sendiri sedang menderita kanker payudara terminal.
‘Di malam ketika ayah saya meninggal dunia,’ katanya pada para pelayat pada waktu pemakanan ayah beberapa minggu kemudian, ‘Saya mengalami sebuah pengalaman spiritual yang luar biasa.
‘Waktu itu sekitar pukul 4.30 pagi dan saya tidak bisa tidur, ketika secara tiba-tiba saya mulai mengalami pengalaman yang menakjubkan ini. Selama dua jam berikutnya, saya tidak merasa apa-apa kecuali rasa senang dan kesembuhan. Saya merasakan sentuhan tangan di kepala saya, dan mengalami penglihatan demi penglihatan tentang masa depan yang bahagia.’
Ketika dia terbangun di pagi harinya, dia menceritakan pengalamannya itu pada anak lelakinya yang remaja Graeme ketika dia mengantarnya ke sekolah. Di antara penglihatannya tentang masa depan tersebut, katanya pada Graeme, adalah seorang anak Graeme—seorang cucu perempuan berusia lima bulan yang nanti akan lahir—yang bermain dengannya di lantai kamar tidurnya.
Setelah Katharine kembali ke rumahnya baru ibu saya menelepon mengatakan bahwa ayah telah meninggal dunia.
Tiba-tiba, Katharine menyadari mengapa ada hentakan energi dan rasa senang yang begitu kuat yang telah dia rasakan di kamar tidurnya, rasa bahwa ada seseorang di sana. ‘Saya tahu itulah ayah saya,’ katanya.
Waktu itu, keluarga saya tidak terbiasa dengan cerita hantu-hantu. Terus terang, reaksi pertama saya ketika mendengar cerita tentang penglihatan saudara perempuan saya itu adalah hampir tertawa histeris.
Tapi, hampir segera setelah itu, penglihatan itu mulai menimbulkan rasa yang mendalam, seperti kepingan-kepingan puzzle yang menyusun dengan sempurna ke tempatnya yang tepat. Tanpa mendiskusikan hal itu, kami menjadi yakin sebagai sebuah keluarga bahwa ayah kami telah melakukan sesuatu yang hebat yang elegan secara emosional.
Dia telah mengambil sebuah kesempatan yang misterius untuk mengunjungi anak perempuannya yang sedang sakit parah, untuk membelainya dan menenangkannya, sebelum dia akhirnya pergi.
Sebulan kemudian, pada awal April, sebuah hasil scan oleh dokter menunjukkan bahwa kanker yang diderita Katharine telah menyebar hingga tulang dan livernya. Dalam sepuluh hari terakhir hidupnya, di dalam sebuah rumah sakit, dia terlihat cantik, seperti mendapat sinar dari dalam.
Kadang-kadang, dia sangat bahagia, berbisik-bisik dengan seseorang yang saya tidak lihat. Pada saat lainnya, dia melihat langit-langit kamar dengan berbagai ekspresi bermain di wajahnya: bingung, senang, skeptis, terkejut, terpaku—seperti sedang melihat sebuah cahaya dari surga.
‘Itu sangat menarik,’ katanya di suatu pagi, tapi dia tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang telah dia lihat.
Dia sangat
sadar bahwa dia sedang menghadapi maut. Empat puluh jam sebelum dia meningal
dunia, dia mengumumkan: ‘Saya akan pergi.’ Kemudian, beberapa jam sebelum
menghembuskan napas terakhirnya, dia mengatakan akan pergi lagi. Bagaimanakah
dia tahu? Pihak rumah sakit mengatakan pada kami bahwa kematiannya masih dua
bulan atau enam bulan atau dua tahun lagi.
Katharine pergi di malam itu, dalam hening dan cahaya
lilin, ketika saya merebahkan pipi saya di dadanya dan tangan saya di
jantungnya, merasakan dia bernapas lambat dan kemudian menghilang.
‘Selamat datang di suku kami,’ kata seseorang pada
saya dengan kecut pada musim panas itu, berbicara tentang perputaran gila ini
dalam perspektif sedang berdukacita. Saya merasa seperti sedang menghirup
udara, ada gunanya juga berbicara dengan orang yang juga sedang berduka.
Jika saya katakan pada mereka saya telah menyaksikan
kematian ayah saya dan saudara perempuan saya, banyak yang membalas serupa. Dan
hampir sama mereka memulainya dengan mengatakan: ‘Saya belum pernah ceritakan
ini pada siapa-siapa. Tapi…’ kemudian orang-orang yang pintar namun skeptis ini
berbicara tentang penglihatan-penglihatan yang timbul menjelang kematian, rasa
seperti melihat kehadiran seseorang, pengalaman-pengalaman mendekati kematian
dan intimidasi-intimidasi secara tiba-tiba bahwa seseorang yang dicintai sedang
menghadapi bahaya atau sedang sekarat menghadapi maut.
Direktur sebuah perusahaan musik besar, yang mengantar
saya pulang dengan mobilnya dari sebuah pesta mengatakan pada saya, sebagai
seorang anak laki-laki, dia turun untuk makan sarapan di suatu pagi dan melihat
ayahnya, sebagaimana biasanya, sedang duduk di meja dapur.
Kemudian ibunya
menyampaikan berita bahwa ayahnya meninggal dunia tadi malam. Si anak laki-laki
tersebut terheran-heran menyangka ibunya sudah gila. ‘Ayah sedang duduk di
sana,’ katanya. Itu adalah saat yang paling membingungkan dan mengganggu dalam
hidupnya.
Di lain
kesempatan, seorang teman menceritakan pada saya cerita tentang saudara
perempuannya yang terbangun di suatu malam karena dia merasa seperti ada
pecahan kaca berhamburan di atas tempat tidurnya, seolah-olah kaca jendela
kamarnya telah pecah berantakan dan kacanya bertaburan ke dalam. Dengan
adrenalin yang memuncak, saudara perempuannya tersebut melompat rurun dari
tempat tidurnya dan meraba-raba kalau-kalau ada pecahan kaca.
Tapi tidak ada apa-apa di sana; jendela itu masih
utuh. Di hari berikutnya, dia mengetahui bahwa saudara perempuannya mengalami
kecelakaan mobil, di mana kaca depan mobilnya pecah.
Apakah orang-orang ini, dan banyak lagi yang lain yang
telah bericara pada saya, sedang mengalami imajinasi yang overaktif?
Halusinasi? Saya memutuskan menyelidikinya.
Pada akhir tahun sembilan puluhan, saya temukan,
Michael Barvato, seorang dokter perawatan paliatif, telah merancang kuesioner
yang khusus bagi keluarga para pasien yang pernah menyaksikan
peristiwa-peristiwa ganjil. Mengejutkan baginya, 49 persen melaporkan mereka
pernah mengalami kejadian aneh.
‘Bahkan meski kami tidak bisa mengerti dasar-dasar
dari fenomena ini,’ kata Barbato, ‘bukti-bukti yang ada menunjukkan kami tidak
bisa mengabaikannya.’
Tentu saja, Anda tidak bisa mengabaikannya jika hal
itu terjadi pada Anda.
Mengapa saudara perempuan saya mempunyai sebuah
pengalaman spiritual yang sangat kuat tentang kematian ayah saya yang tak
terduga-duga? Bagaimana dia merasakan kehadiran seseorang di dalam kamar
tidurnya, dan merasakan adanya tangan melingkari kepalanya? Mengapa dia menjadi
semakin gembira ketika kematiannya semakin dekat?
Apa yang saya temukan ternyata jauh lebih banyak dan
lebih misterius dari yang saya bayangkan.
MATI SEBAGAI SEBUAH PERJALANAN
Dalam 72 jam terakhir dalam hidup mereka, banyak orang
yang sedang menghadapi sakaratul maut mulai berbicara dengan metafora tentang
sebuah perjalanan.
Sering kali, mereka yang tidak berbicara apa-apa dalam
beberapa hari—kemudian secara tiba-tiba mereka ingin tahu di mana tiket-tiket
kereta api, atau menanyakan sepatu hiking atau jadwal air pasang. Sebagian lagi
menanyakan jas mereka; yang lain menanyakan tentang jadwal bus.
Bagi keluarga mereka, igauan seperti ini tampaknya
tidak penting. Yang jauh lebih penting bagi mereka, mungkin, adalah
bisikan-bisikan ‘I love you’ atau ‘Jaga anak-anak’ sebelum akhirnya kepalanya
rebah di bantal.
Tapi staf rumah
sakit kini tahu bahwa ketika pasien mereka mulai berbicara tentang liburan atau
tentang berpergian, mereka sebenarnya sedang mengumumkan kepergian mereka.
David Kessler,
bekas kepala Persatuan Rumah Sakit Komite Transisi Perawatan Paliatif
California Selatan, telah sering kali mengamati fenomena ini. Fenomena ini
bahkan punya nama tersendiri: Nearing Death Awareness (Kesadaran
Menjelang Kematian.)
‘Cukup menarik,’ katanya, ‘kesadaran menjelang
kematian ini selalu mengacu pada sebuah perjalanan di dunia. Orang-orang
berbicara tentang mengemas barang-barang atau mencari tiket—mereka tidak
menyebut kereta kuda yang turun dari surga atau perjalanan menuju
keabadian.
Kessler menceritakan seorang pria berusia 96 tahun
yang tiba-tiba terbangun dari tempat tidurnya di dalam rumah sakit dan berkata
pada puterinya: ‘Gail, sekarang saatnya untuk pergi. Ayo kita pergi
cepat-cepat. Saya harus bebas—apakah mobilnya sudah siap? Ketika puterinya
mengatakan mobil sudah siap di luar, dia berkata: Bagus. Saya sudah siap.’
Puterinya bertanya mau ke mana mereka, dan lelaki tua
itu berkata dia juga tidak tahu. ‘Saya hanya tahu bahwa saya diberi perjalanan
ini di depan saya, dan waktunya telah tiba.’ Laki-laki tua itu meninggal dunia
tak lama kemudian.
Tidak ada alasan medis yang diketahui mengapa orang
yang sedang menghadapi maut mempunyai rasa yang begitu tajam tentang waktu
kematian mereka. Ketika para pasien berbicara tentang berpergian, mereka jarang
terlihat seperti akan meninggal dunia—atau benar-benar, menunjukkan tanda-tanda
kemerosotan dalam tekanan darah atau level oksigen mereka.
‘Saya akan pergi malam ini,’ kata penyanyi soul James
Brown pada manajernya pada Hari Natal tahun 2006, setelah dimasukkan ke rumah
sakit karena pneumonia yang dianggap tidak membahayakan. Tiba-tiba napasnya
mulai melambat.
Dalam sebuah penelitian yang paling komprehensif
tentang pengalaman-pengalaman menjelang ajal yang pernah terjadi, psikolog
Karlis Osis dan Erlendur Halardson memastikan bahwa intimidasi-intimidasi
kepergian serupa ini memang kadang-kadang terjadi pada seseorang yang
kesehatannya dianggap tidak dalam keadaan bahaya.
Di antara berbagai kasus yang mereka teliti adalah
sebuah kasus tentang seorang laki-laki berusia 50-an, yang baru akan dikeluarkan
dari sebuah rumah sakit pada hari ke tujuh setelah menjalani operasi pinggul.
Si pasien tersebut memanggil seorang dokter dan
mengatakan padanya dia akan mati. Beberapa detik sebelumnya, si pasien tersebut
mengatakan, dia merasa seperti tidak berada di dunia ini lagi tapi di tempat
lain. ‘Saya mau pergi,’ katanya pada si dokter, dan dia meninggal dunia
beberapa menit kemudian.
Sementara itu, karyawan rumah sakit melaporkan bahwa
para pasien kadang-kadang bisa meramalkan jam kematian mereka dengan tepat.
Namun, hingga kini, tak seorang pun bisa memberi penjelasan ilmiah yang
memuaskan tentang hal ini.
PENGLIHATAN-PENGLIHATAN DI TEMPAT TIDUR MENJELANG
KEMATIAN
Meski ada dokter spesialis kandungan di sampingnya,
Doris meninggal dunia juga. Bayinya dilahirkan selamat, tapi telah terjadi
komplikasi-komplikasi yang tak terduga dan langka.
Adalah yang terjadi kemudian yang mengejutkan si
dokter kandungan, Lady Florence Barrett, dan kemudian menimbulkan kegemparan.
‘Tiba-tiba,’ kata Lady Barrett menceritakan, ‘dia
memandang salah satu bagian dalam ruangan dengan penuh semangat, sebuah senyum
cerah menghiasi air mukanya. “Oh, indah sekali, indah sekali,” katanya.
Saya bertanya: “Apa yang indah sekali?”
“Apa yang saya lihat,” jawabnya dengan lirih, tapi
intens. “Kecermerlangan yang indah—makhluk-makhluk yang indah.”
‘Kemudian—dia tampak memfokuskan perhatiannya dengan
lebih dalam pada satu tempat untuk sejenak—dia berteriak: “Kenapa, itu ayah
saya! Oh, dia sangat bahagia menyambut kedatangan saya, dia sangat senang.’”
Sejenak, Doris menunjukkan bahwa dia harus, mungkin,
bertahan demi bayinya. Tapi kemudian dia berkata: ‘Saya tak bisa—Saya tak bisa
tetap di sini; jika kamu bisa melihat apa yang saya lihat, kamu akan tahu saya
tak bisa tinggal di sini.’
Pada titik ini, Doris menyaksikan sesuatu yang membuat
dia bingung: ‘[Ayah] bersama Vida,’ katanya pada Lady Barrett, merujuk pada
saudara perempuannya, yang telah meninggal dunia tiga minggu sebelumnya tapi
dirahasiakan padanya karena dia sedang hamil tua. ‘Vida ada bersama ayah.’
Katanya terheran-heran.
Setelah itu, Lady Barrett menceritakan kisah Doris itu
pada suaminya Sir William, seorang ahli fisika di Royal College of Science
di Dublin. Sir William memutuskan untuk melakukan penyelidikan formal.
Di antara bukti-bukti yang dia kumpulkan adalah
ingatan tentang penglihatan-penglihatan Doris dari istrinya, dari seorang
perawat, dari petugas medis warga, dari sipir dan dari ibunya Doris—yang
semuanya pernah berada di dalam ruangan tempat Doris dirawat.
Catatan-catatannya yang diterbitkan pada tahun 1926
itu menjadi laporan modern pertama yang mendukung adanya penglihatan di tempat
tidur menjelang kematian. Semenjak saat itu, ada ribuan catatan-catatan lain
serupa.
Dalam salah satu penelitian, oleh psikolog dari University
of Virginia Emily Williams Kelly, 41 persen dari para pasien yang sedang
menghadapi maut yang disurvei dilaporkan mengalami penglihatan di tempat tidur.
Penelitian lain, yang menanyakan para karyawan di lima
rumah sakit, mengungkap 54 persen dari mereka pernah merawat para pasien yang
mengalami sebuah ‘kunjungan’ dari saudara mereka yang sudah meninggal dunia—dan
ini terjadi selalu berdekatan dengan waktu kematian mereka.
Dan di dalam penelitian besar mereka tentang
pengalaman-pengalaman di tempat tidur menjelang kematian, para ahli psikologi
Karlis Osis dan Erlendur Haraldsson melaporkan bahwa dari 10 persen pasien yang
dalam keadaan sadar dalam beberapa jam sebelum kematian mereka, mayoritas
mereka mengatakan mereka mengalami penglihatan seperti ini.
Delapan puluh tiga persen melihat orang yang sudah
meninggal dunia atau arketipe-arketipe religius —seperti malaikat.
‘Pengalaman-pengalaman seperti itu bisa terjadi pada
para pasien yang diberi keyakinan bahwa mereka akan sembuh dan yang sama sekali
belum siap untuk mati,’ menurut temuan para peneliti.
‘Seorang pasien jantung, seorang lelaki berusia 56
yang kesadarannya jelas, melihat penampakan seorang wanita yang datang untuk
menjemputnya.
‘Dia tidak tampaknya tidak membenci wanita itu, hanya
sedikit takut. Katanya: “Itu dia datang lagi, dia menggapaikan tangannya
untukku.” Dia kelihatannya belum mau pergi, tapi dia tidak pula menolak. Dia
kemudian menjadi lebih kalem; pengalaman ini membuatnya tenang. Dia meninggal
dunia sehari kemudian.’
Apakah para pasien itu sedang mengalami halusinasi?
Mungkin tidak: para psikolog menemukan bahwa hanya 10 persen mereka yang
mengalami penglihatan juga mengalami demam tinggi, yang bisa memicu halusinasi.
Apakah otak para pasien ini telah rusak oleh penyakit
atau oleh obat yang mereka minum? Lagi, tampaknya tidak juga.
Semakin seorang pasien kebingungan atau semakin banyak
seorang pasien diberi obat, semakin kecil kemungkinan mereka akan melihat
kehadiran seseorang untuk menghibur atau memanggil.
Secara informal, para perawat sering kali menggunakan
penglihatan-penglihatan seperti ini sebagai sebuah tanda bahwa kematian si
pasien tak lama lagi. Yang juga luar biasa adalah—bertentangan dengan mereka
yang gelisah ketika maut mendekat—para pasien yang mengalami penglihatan juga
mengalami rasa tenang yang dalam.
Sebagaimana seorang perawat di sebuah rumah sakit di
Inggris mengatakan: “Ini seperti sebuah proses dan begitu mereka telah
mengalaminya, maka mereka berpindah ke level berikutnya. Ini seperti sebuah
perjalanan.’
Dalam hampir 80 persen dari kasus yang ditangani Osis
dan Haraldsson, tujuan dari penglihatan-penglihatan yang timbul di tempat tidur
menjelang kematian adalah untuk menemani si pasien atau untuk menjemput mereka.
Nyatanya, mereka tidak menemukan sebuah contoh tunggal
dari sebuah penampakan dengan tujuan seperti ini yang menunjukkan seseorang
yang masih hidup.
Kedua psikolog tersebut juga meneliti apa yang mereka
sebut sebagai ‘efek fatamorgana.’
Bisakah kunjungan-kunjungan dari saudara-saudara perempuan
dan paman-paman mereka ini dan para malaikat itu menjadi semacam khayalan dari
seorang pria yang tengah berada di tengah gurun pasir yang membayangkan sebuah
kolam air yang berkilau?
Beberapa faktor menjelaskan bahwa hal itu tidak
mungkin. Pertama, para pasien yang tertekan atau dalam keadaan gelisah kecil
kemungkinan akan melihat penampakan dibandingkan mereka yang mood-nya
lebih tenang. Yang kedua, sebagian pasien yang mengalami penglihatan tidak
sedang menunggu kematian.
Pada suatu sore di musim panas, saya pergi bersama
seorang teman untuk mewawancarai seorang pasien yang menjelang ajal. Audrey
Scott—83 dan dalam kondisi menderita kanker tahap akhir—sedang terbaring di
tempat tidur pinjaman dari rumah sakit di tengah-tengah ruang keluarga di
rumahnya.
Kami bergenggaman tangan, dan berbicara blak-blakan.
Kematian cenderung melenyapkan semua pretensi.
‘Apa yang Anda ingin orang ketahui tentang menjelang
ajal, Audrey?’ tanya saya.
‘Seharusnya tidak perlu takut,’ katanya tanpa keraguan.
‘Hidup itu dibentangkan dari kelahiran hingga kematian; kematian hanya bagian
dari proses hidup.’ Saya bertanya apakah dia mengalami hal-hal aneh. Dia
menyelidiki saya, ekspresi wajahnya menunjukkan dia sedang berhati-hati.
‘Saya melihat sesuatu memutar-mutar di dalam kamar,’
katanya. ‘Itu cukup menyenangkan sebenarnya.’ Setelah jeda sejenak, dia
menambahkan: ‘Anak saya Frankie telah datang menengok saya. Dia duduk di sana.’
Dia menunjuk sebuah kursi roda di sebelah kiri saya.
Teman kami, Judy, yang sedang berdiri diam-diam di
dekat jendela, menggapai langkan jendela di belakang kepala Audrey dan menambil
sebuah foto seorang laki-laki muda bercamata tebal berbentuk persegi.
Orang itu adalah Frankie, yang telah meninggal dunia
karena kanker pada tahun 2002 pada usia 35. Saya memperlihatkan foto itu pada
Audrey, tapi dia tidak menunjukkan minat apa-apa.
Dia tidak merasa perlu bernostalgia dengan melihat
foto itu—tidak juga ketika Frankie yang sebenarnya sedang duduk di sini di
kursi roda. Ketika kami meneruskan bercakap-cakap, saya merasakan sebuah
sensasi aneh bahwa tubuh saya bergetar. Getaran yang terasa seperti sentakan
sebuah energi yang impersonal, bukannya sebuah sentakan nyali—dan saya tidak
tahu harus bagaimana.
Kemudian, seorang teman yang telah menjadi relawan di
beberapa rumah sakit menggambarkan adanya sebuah perasaan aneh tentang energi
sekitarnya, yang hampir membuat dia pingsan.
Begitu juga dengan teman baik saudara perempuan saya,
yang tengah mengurut dahi Katharine ketika dia tiba-tiba menyadari tubuhnya
menjadi lemas.
Mungkin ada hubungannya dengan menyurutnya daya
hidup—seperti sedang berada terlalu dekat dengan pusaran air atau riptide.
Audrey meninggal dunia, di rumahnya, sepuluh hari
kemudian.
KATA-KATA TERAKHIR YANG JERNIH
Baru-baru ini para ilmuwan mulai mencatat sebuah
fenomena yang pertama kalinya diperhatikan oleh para dokter di rumah sakit jiwa
abad ke-19 di Perancis, Jerman dan AS. Waktu itu mereka menamainya terminal
lucidity.
Para pasien yang mengalami penyakit mental kronis yang
parah atau demensia akan secara tiba-tiba berbicara dengan jelas dan rasional
sebelum kematiannya.
Bahkan mereka yang menderita amnesia sering kali bisa
mengenali anggota keluarga mereka untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun
dan bisa mengucapkan selamat tinggal pula.
Baru-baru ini, para perawat dan dokter ikut
memperhatikan fenomena ini karena semakin banyak orang meninggal dunia di rumah
sakit.
Pada tahun 2007, Dr Scott Haig menulis sebuah catatan
tentang pasiennya, David, yang menderita kanker paru yang telah menyebar hingga
otaknya.
Pertama, omongan David jadi meracau dan kemudian dia
kehilangan kemampuan berbicara atau bahkan begerak.
Hasil scan otak yang dilakukan oleh ahli
onkologi menunjukkan bahwa otaknya hampir-hampir tak tersisa.
Selama berhari-hari, kata Haig, pasiennya ‘tidak
mempunyai ekspresi, tidak menunjukkan respon terhadap apapun yang kami lakukan padanya.’
Kemudian, ketika dokter ini sedang piket malam di hari
Jumat, dia memperhatikan bahwa David telah mengalami kesulitan bernapas yang
sering kali merupakan tanda-tanda kematian.
Tapi satu jam sebelum kematiannya, dia bangun, dan
berbicara dengan lembut dan koheren kepada istrinya dan tiga anak-anaknya,
tersenyum dan menepuk-nepuk tangan mereka.
Seperti catatan Haig: ‘Bukan otaknya David yang telah
membangunkan dia untuk mengatakan selamat tinggal di hari Jumat itu.
‘Otaknya telah hancur.’
Psikiater Russel Noyes mempunyai kasus serupa: seorang
wanita berusia 91 tahun yang tak lagi bisa bergerak dan berbicara akibat dua
kali mengalami stroke.
Tapi dia tiba-tiba bisa menembus dinding beberapa saat
sebelum kematiannya.
Dengan tersenyum gembira, wanita tua tersebut
menolehkan kepalanya, duduk sekenanya, mengangkat tangannya dan meneriakkan
dengan gembira nama suaminya yang telah meninggal. Kemudian dia berbaring
kembali dan meninggal dunia.
Apakah dia mengalami penglihatan tentang suaminya atau
tidak, kenyataan yang paling mengejutkan dan paling sulit dimengerti adalah
bahwa dia mendapatkan kembali kemampuannya berbicara dan bergerak. (By Patricia Pearson. Published: 00:38 GMT, 17 May
2014 | Updated: 12:36 GMT, 18 May 2014 )
- Extracted from Opening Heaven’s Door by Patricia Pearson, to be published by Simon and Schuster on May 22 at £12.99. © Patricia Pearson 2014. To order a copy for £11.99 (incl p&p), call 0844 472 4157
http://www.dailymail.co.uk/news/article-2630927/At-gates-heaven-A-new-book-drawing-stories-dying-patients-doctors-transform-way-think-final-days.html
0 comments:
Post a Comment