Kemenangan kecil ini muncul setelah
disyahkannya sebuah undang-undang baru yang kontroversial di North Carolina
yang mencegah orang transgender menggunakan WC umum yang tidak sesuai dengan
jenis kelamin pada akta kelahiran mereka.
Konflik yang timbul akibat kebijakan-kebijakan
baru ini tidaklah sama sekali baru; selama bertahun-tahun orang telah
menanyakan tentang apakah jenis “kelamin” (“sex”)yang kita miliki sejak lahir
harus menentukan segala sesuatu seperti fasilitas publik yang mana yang mesti
kita gunakan, apa yang mesti di-centang di dalam aplikasi paspor kita dan siapa
yang berhak bermain di dalam tim olahraga tertentu.
Tapi bagaimana jika jenis kelamin (gender) itu dipandang dengan cara yang
sama dengan pandangan yang terkenal yang digambarkan oleh peneliti jenis
kelamin (sex researcher) Alfred
Kinsey tentang seksualitas—yaitu sebagai sesuatu yang diukur menurut mistar
hitung (something along a sliding scale)?
Nyatanya, ada sekelompok etnik di
Sulawesi Selatan, Indonesia—Bugis—yang memandang jenis kelamin (gender) dengan cara ini. Untuk
penelitian Ph.D saya, saya telah tinggal di Sulawesi Selatan pada akhir tahun
1990-an untuk mempelajari lebih jauh tentang berbagai cara dalam memahami jenis
kelamin (sex) dan gender di dalam
suku bangsa Bugis. Saya pada akhirnya merinci konseptualisasi ini di dalam buku
saya yang berjudul “Gender Diversity in Indonesia.”
Apakah
masyarakat menentukan ‘gender’ kita?
Bagi banyak pemikir, seperti teoris
gender Judith Butler,
mengharuskan seseorang memilih antara toilet “wanita” dan “pria” adalah absurd
karena tidak ada yang namanya jenis kelamin ketika kita memulai kehidupan ini.
Menurut aliran pemikiran ini, jenis
kelamin (sex) tidak berarti apa-apa
sampai kita dimunculkan (engendered)
dan mulai menunjukkan jenis kelamin melalui pakaian kita, cara kita berjalan,
cara kita berbicara. Dengan kata lain, mempunyai penis saja tidak ada artinya
sebelum masyarakat mengatakan pada Anda bahwa jika kamu punya penis kamu tidak
seharusnya mengenakan rok (kecuali kilt,
tentu saja).
Meski demikian, kebanyakan
pembicaraan tentang jenis kelamin (sex)
seolah-olah semua orang diplanet ini dilahirkan sebagai pria atau wanita. Teoris
gender seperti Butler akan berpendapat bahwa manusia jauh lebih kompleks dan
berbeda-beda untuk memungkinkan kita yang jumlahnya tujuh miliar ini dibagi
secara merata di dalam kua kamp.
Contoh paling jelas adalah bagaimana
para dokter memperlakukan anak-anak yang jenis kelaminnya tidak jelas (seperti
mereka yang dilahirkan dengan sindrom sensitivitas androgen, hypospadias atau sindrom Klinefelter). Dalam hal jenis kelamin seorang
anak tidak bisa ditentukan, para dokter biasanya hanya mengukur apendiks untuk
mengetahui apakah klitorisnya terlalu panjang—dan dengan demikian harus
digolongkan sebagai penis—atau sebaliknya. Tindakan seperti ini akan memaksa
seorang anak berada di bawah payung salah satu jenis kelamin, bukannya
membiarkan si anak tumbuh secara alami dengan keadaan tubuh mereka.
Gender
adalah sebuah spektrum
Mungkin cara yang lebih bermanfaat
untuk memahami tentang jenis kelamin adalah dengan memandang jenis kelamin (sex) sebagai sebuah spektrum.
Meski semua masyarakat sangat dan terbagi-bagi
secara gender, dengan peran-peran spesifik untuk pria dan wanita, namun ada
juga masyarakat-masyarakat tertentu—atau, paling tidak, individual-individual
di dalam masyakarat—yang mempunyai nuansa pemahaman yang tersendiri akan
hubungan antara jenis kelamin (tubuh-tubuh fisik kita), gender (apa yang dibuat
oleh budaya terhadap tubuh-tubuh itu) dan seksualitas (tubuh yang mana yang
kita ingini).
Indonesia boleh jadi menjadi sorotan
media akan serangan-serangan teror dan hukuman mati, namun sebenarnya Indonesia
adalah negara yang sangat toleran. Faktanya, Indonesia adalah negara demokrasi
terbesar keempat dunia, dan lebih dari itu, tidak seperti North Carolina, Indonesia
akhir-akhir ini tidak mempunyai masalah kebijakan anti-LGBT. Lebih-lebih lagi, orang
Indonesia bisa memilih transgender (waria) pada kartu identitas mereka (meski
dengan adanya gelombang kekerasan baru yang menentang LGBT baru-baru ini, hal
ini bisa saja berubah).
Suku bangsa Bugis adalah kelompok
etnik terbesar di Sulawesi Selatan, dengan jumlah sekitar tiga juta orang.
Kebanyakan orang Bugis adalah Muslim, namun masih ada ritual-ritual pra-Islam
yang masih terus dihormati di dalam budaya Bugis, termasuk perbedaan pandangan
tentang gender dan seksualitas.
Bahasa mereka menawarkan lima
istilah untuk mengacu pada berbagai kombinasi jenis kelamin (sex), gender, dan seksualitas: makkunrai
(“wanita asli”), oroani (“pria asli”), calalai (“pria tapi wanita”),
calabai (“wanita tapi pria”) and bissu (“pendeta transgender”). Definisi
ini tidaklah tepat benar, namun cukup memadai.
Selama masa awal penelitian Ph.D
saya, saya telah berbicara dengan seseorang yang, meski tidak memiliki
pendidikan formal, merupakan seorang pemikir sosial yang krtitis.
Ketika saya masih bingung tentang
cara bagaimana orang Bugis mengonsepsi jenis kelamin (sex), gender dan seksualitas, dia mengatakan pada saya bahwa saya
salah jika mengira bahwa hanya ada dua jenis kelamin yang berlainan, wanita dan
pria. Melainkan, dia mengatakan bahwa kita semua berada dalam sebuah spektrum.
Bayangkan seseorang sedang berada di
sini di ujung barisan ini dan bahwa mereka, adalah orang-orang yang Anda sebut
sebagai, XX, dan kemudian Anda berjalan-jalan di sepanjang barisan ini hingga
Anda tiba di ujung barisan yang lain, dan itulah YY. Tapi di sepanjang barisan
ini adalah semua jenis manusia dengan semua jenis dandanan dan karakter
berbeda.
Spektrum jenis kelamin (sex) ini merupakan cara yang baik dalam
berpkir tentang kompleksitas dan diversitas manusia. Ketika jenis kelamin (sex) dipandang melalui lensa ini, maka undang-undang
North Carolina yang melarang orang memilih toilet yang mana saja yang mereka
maui tampaknya secara sewenang-wenang, memaksa orang harus masuk ke ruang yang
boleh jadi bertentangan dengan identitas mereka (By Sharyn Graham Davies)
http://theconversation.com/what-we-can-learn-from-an-indonesian-ethnicity-that-recognizes-five-genders-60775
0 comments:
Post a Comment