Perkara novel ini telah menjadi pemenang pertama dalam
sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta, itu adalah soal lain.
Tokoh utama dalam novel ini adalah sebuah bus. Ya, bus,
bukan manusia atau binatang. Sebuah bus yang biasa kita naiki jika kita tinggal
di sebuah kota besar. Bus yang biasa lalu-lalang dari tempat yang satu ke
tempat yang satu lagi, yang tidak berganti-ganti semaunya, yang rutenya sudah
ditentukan.
Sebagai gambaran, coba simak sinopsis cerita seperti yang
tertulis di sampaul belakang buku ini: “Pekerjaan
saya memang kedengaran membosankan—mengelilingi tempat yang itu-itu saja, diisi
kaki-kaki berkeringat dan orang-orang berisik, diusik cica-cicak kurang ajar,
mendengar lagu aneh tentang tahu berbentuk bulat dan digoreng tanpa persiapan
sebelumnya—tapi saya menggemarinya. Saya senang mengetahui cerita manusia dan
kecoa dan tikus dan serangga yang mampir. Saya senang melihat-lihat isi tas
yang terbuka, membaca buku yang dibalik-balik di kursi belakang, turut mendengarkan
musik yang dinyanyikan di kepala seorang penumpang ... bahkan kadang-kadang
menyaksikan aksi pencurian.
Trayek saya memang
hanya melewati Dipatiukur-Leuwipanjang, sebelum akhirnya ketemu Beliau, dan
memulai trayek baru mengelilingi angkasa, melintasi dimensi ruang dan waktu.”
Siapakah yang dimaksud dengan si tokoh bus di dalam cerita
ini. Kalau Anda bukan pembaca yang cerdas, seperti saya, Anda akan kesulitan
menebak-nebak siapa yang dimaksud di pengarang dengan tokoh bus ini. Mulai dari
halaman pertama sampai halaman terakhir, mungkin jawabannya tidak akan Anda
temukan.
Lalu siapa pula Beliau dalam cerita ini, apakah dia Tuhan
ataukah dia malaikat penolong yang baik hati juga tidak mudah ditebak. Beliau digambarkan
sebagai seorang anak kecil yang bisa menciptakan apa saja yang dia mau, dan
bisa mengatur dunia ini menurut kemauan dia. Dan yang paling menarik Beliau
bisa mengubah trayek bus bukan hanya di dalam sebuah kota, tetapi juga
membawanya hingga ke angkasa luar.
Bagi bus dalam kota
seperti saya, Beliau begitu misterius, dengan ikan julung-julung yang tak
terhitung yang melayang di atas kepalanya, dan dirinya sendiri yang melayang di
atas lantai. Untuk orang biasapun ini sudah misterius. Tapi, orang-orang yang
melayang jauh lebih misterius lagi bagi bus dalam kota seperi saya.
(halaman 32).
Lalu siapa pula yang dimaksud dengan ikan julung-julung yang
melayang-layang di atas kepala Beliau tersebut. Ikan julung-julung yang selalu
menemaninya, yang kalau tidak melayang-layang di atas kepalanya, mereka masuk
ke dalam mulutnya.
Membaca novel ini, saya seperti mau menyerah dari halaman
awal karena saya tidak cukup cerdas memahami makna kiasan dan lambang-lambang
yang merupakan gaya bahasa novel ini dari awal sampai akhir.
Tapi karena penasaran saya teruskan membacanya hingga
selesai, siapa tahu ada titik terang dalam memahami makna di baliknya. Tapi saya
gagal.
Dan mungkin saya adalah satu-satunya pembaca yang gagal
memahami pesan yang ingin disampaikan penulisnya melalui cerita ini.
0 comments:
Post a Comment