Kalau Anda dipanggil oleh pihak sekolah untuk menjadi guru, bukannya
melamar, kenapa Anda tidak menuntut bayaran yang layak, apalagi kalau di waktu
itu Anda sedang memiliki pekerjaan lain yang gajinya lebih besar.
Tapi, di sisi lain, di sisi baik dalam diriku, memaklumi.
Betapa kecilnya pendapatan guru honorer dibandingkan dengan guru PNS, karyawan
swasta. Guru honorer, kecuali guru tetap yayasan, umumnya mendapat gaji di
bawah UMR, sedangkan beban kerja dan kompetensi yang mereka miliki tidak kalah
dengan guru PNS. Wajar kalau mereka mengeluh.
Tapi yang saya sayangkan adalah betapa demo-demo,
tuntutan-tuntutan tersebut telah disertai dengan jargon-jargon politis, seperti
perasaan dianaktirikan, diperlakukan tidak adil, dan yang lebih keras,
dizalimi, yang terkesan mengadili pemerintah, dan bahkan mengarah pada tuntutan
ganti presiden.
Ini penting dikemukakan untuk menghindari fitnah atau atau
dugaan bahwa demo-demo guru itu ditunggangi.
Duh, adil tidak
adil itu kan ada normanya sendiri. Anda tidak bisa mengatakan tidak adil jika
gaji guru PNS lebih besar dari guru honorer sedangkan beban kerja mereka sama.
Juga jika guru PNS dapat THR dan gaji ke-13 sedangkan guru honorer tidak, atau
mendapat THR tapi jumlahnya lebih kecil. Guru PNS memegang SK yang memuat
jumlah gaji, yang dinaikkan secara berkala setiap dua tahun sekali, di samping
kenaikan menurut jenjang kepangkatan dan golongan, dari pemerintah, sedangkan
guru honorer tidak, terutama guru honorer yang diangkat oleh kepala sekolah. SK
guru honorer yang diangkat oleh sekolah biasanya tidak memuat jumlah gaji.
Jadi kalau guru honorer merasa diperlakukan tidak adil, hal
itu tidak ada dasarnya. Pemerintah tidak mungkin memberi pendapatan guru
honorer sama dengan guru PNS.
Dalam hal ini, saya bukannya tidak bersimpati pada guru
honorer, tapi begitulah logika yang semestinya.
Saya sendiri pernah menjadi guru honorer, selama 5 tahun,
sebelum saya diangkat jadi PNS pada tahun 1999, melalui test, bukan diangkat
secara gratis. Waktu itu pendapatan saya, dan guru honorer lainnya kurang dari
Rp.200.000, tapi kami tidak pernah mengeluh, apalagi menuntut pendapatan lebih pada
pemerintah, atau menuntut diangkat jadi PNS.
Guru honorer sekarang sebenarnya enak. Perhatian pemerintah terhadap
mereka kian hari kian besar. Di beberapa provinsi ada yang mendapat tunjangan
setiap bulan dari pemerintah, meski jumlahnya kecil. Ada pula yang terikat
kontrak dengan pemerintah, dengan gaji yang cukup besar. Kini mereka bahkan
diberi kesempatan mengikuti sertifikasi guru, sama dengan guru PNS. Dulu, di
tahun 90-an ke bawah, hal sepert itu tidak ada.
Tulisan ini tak hendak mengecam guru honorer, sama sekali
tidak, karena saya juga pernah menjadi guru honorer, melainkan hanya ingin
mengingatkan konsekuensi dari langkah yang telah mereka ambil. Sekali mereka
memutuskan menjadi guru honorer, maka mereka harus siap menanggung resikonya,
apapun itu, bukannya mengeluh berkepanjangan, karena itu merupakan kemauan
mereka sendiri.
Tabik pun.
0 comments:
Post a Comment