Di bandingkan dengan
era Orde Baru, atau beberapa dekade yang sudah lewat, perkembangan Islam di era
reformasi ini cukup pesat, khususnya dalam hal akidah. Kalau dahulu jarang
sekali terlihat perempuan berjilbab di muka umum dalam kehidupan sehari-hari,
kini perempuan berjilbab adalah pemandangan yang biasa, atau bisa dikatakan
sebagian besar perempuan sekarang berjilbab. Kalau dahulu acara-acara TV hanya
dipenuhi oleh berita dan hiburan, kini siaran dakwah Islam sudah mengambil slot yang cukup signifikan. Jam
pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah yang dahulu hanya dua jam
seminggu, kini sudah 3 jam, belum lagi ditambah dengan pelajaran-pelajaran
ekstra kurikuler keagamaan yang bisa dipilih oleh para siswa. Perkumpulan-perkumpulan
pengajian di kampung-kampung juga sudah tak terhitung jumlahnya. Namun
sayangnya, bersamaan dengan ini, timbul efek samping yang tidak kita inginkan,
yaitu muncul dan berkembangnya radikalisme dan ekstremisme di bumi Indonesia
yang kita cintai ini.
Atmosfer perkembangan Islam di Indonesia dewasa ini
banyak diwarnai oleh kontroversi dan pertikaian yang radikal dan ekstrem, baik
dalam tataran ide maupun secara fisik, dan pemerintah seperti terjebak di dalam
kontroversi tersebut, terkesan serba salah dan ragu-ragu dalam bertindak.
Berbeda dengan jaman Orde Baru, di mana radikalisme tidak
diberi kesempatan tumbuh, di jaman reformasi ini kelompok-kelompok Islam garis
keras tampak mendapat angin segar. Kelompok Islam seperti FPI dan HTI (Hizbut
Tahrir Indonesia), yang bersimpati pada ISIS terus menancapkan ideologi mereka,
baik secara diam-diam maupun secara terang-terangan.
Direktur Wahid Foundation Zanuba Ariffah Chafsoh (Yenny
Wahid) mengatakan jumlah warga Indonesia yang terlibat menjadi pejuang Negara
Islam Irak dan Suriah (ISIS) meningkat 60 persen. “Awalnya, WNI yang menjadi
pejuang ISIS cuma 500 orang. Sekarang sudah 800 orang yang menjadi pejuang ISIS
di Irak dan Suriah," kata Yenny di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, Depok, Kamis, 16 Februari 2017.
Menurut Yenny, mereka yang terlibat gerakan radikal
seperti ISIS pada umumnya masih muda dan laki-laki. Mereka banyak mengkonsumsi
informasi keagamaan yang berisi kecurigaan dan kebencian. Selain itu, mereka
memahami ajaran agama secara literatur bahwa jihad sebagai perang dan dalam isu
muamalah. Bahkan kelompok yang terpapar radikalisme membenarkan serta mendukung
tindakan dan gerakan radikal. "Mereka juga menentang pemenuhan hak-hak
kewarganegaraan," ujarnya.
FPI dalam beberapa move-nya
mengisyaratkan ide mereka mengubah haluan Negara RI yaitu Pancasila. Hal ini
tercermin dari salah satu pidato ketuanya, Rizieq Syihab, yang secara
terang-terangan tidak setuju dengan konsep Pancasila yang dipakai sebagai dasar
Negara RI saat ini. Pancasila, menurut Rizieq, tidak menampung aspirasi para
ulama Islam. Menurut Rizieq, demokrasi yang digagas Soekarno masuk dalam
Pancasila itu tidak bisa dipakai para ulama karena di dalam Islam tidak dikenal
demokrasi, yang dikenal adalah musyawarah.
Di sisi lain, kelompok yang menamakan dirinya Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) juga tidak kalah radikal. kelompok Islam garis keras ini
sering kali mempropagandakan paham ajarannya kepada masyarakat, termasuk warga
NU hingga ke desa-desa.
Kelompok Islam garis keras ini menganggap UUD 1945 dan
Pancasila sebagai bagian dari hukum-hukum kufur yang oleh karena itu harus
diganti, baik konstitusi dan dasar negara maupun pemerintahannya. Mereka aktif
menyebarkan ideologi mereka dengan cara merekrut kader-kader militan yang
tersebar hingga di kecamatan bahkan desa sebagai ‘agen’ penyebaran ide baik
melalui pamflet, bulletin dan majalah maupun penjelasan langsung door to door. Mereka juga memiliki media
umum, sebagaimana majalah bulanan Al Wa’ie, hingga situs internet www.hizbut-tahrir.or.id dan www.al-islam.or.id.
Sampai di sini kiranya jelas bahaya apa yang akan menimpa
bangsa dan negara Indonesia jika kelompok-kelompok radikal seperti ini dibiarkan.
Namun sayangnya, pemerintah seolah-oleh memberi angin agar kelompok-kelompok
seperti ini tumbuh subur di bumi Indonesia yang kita cintai ini. Atau paling
tidak pemerintah tidak punya keberanian untuk bertindak tegas membubarkan, atau
menghalangi tindak-tanduk kelompok-kelompok tersebut, padahal jelas mereka
merupakan ancaman bagi ideolog negara.
Dan kejadian-kejadian seperti unjuk rasa massal di
Jakarta yang sudah terjadi beberapa kali beberapa waktu lalu semakin memperkuat
rasa khawatir itu, dan semakin menunjukkan ketidaktegasan pemerintah dalam
menghadapi kelompok-kelompok radikal. Unjuk rasa 411 November 2016, 212
Desember 2016, dan 112 bulan Februari 2017 yang lalu adalah bukti betapa
keputusan pemerintah, dalam hal ini penegak hukum kini seolah-olah tunduk pada
tuntutan kelompok-kelompok radikal jalanan. Pemerintah telah kehilangan wibawa
dan ketegasan dalam membuat keputusan. Apa yang sudah diputuskan pemerintah
bisa diubah begitu saja dengan unjuk rasa massa.
Dan kalau ini terus menerus berlangsung tanpa bisa
dicegah, niscaya pemerintah akan kehilangan wibawa di mata rakyatnya. Penegak
hukum tak lagi berdaya. Undang-undang dan peraturan pemerintah tak lagi bisa
dijalankan, dan DPR diambil alih oleh parlemen jalanan. Dan bukannya tidak
mungkin akan terjadi chaos, kerusuhan
antarumat yang memakan korban korban yang tak terhitung banyaknya.
Sungguh miris jika hal ini sampai terjadi. Kita,
masyarakat dan pemerintah RI harus melakukan sesuatu untuk mencegah ini semua.
Kita harus melakukan sesuatu untuk mencegah radikalisme di negeri yang kita
cintai ini.
Radikalisme biasanya tumbuh dan ditanamkan sejak dini
pada generasi muda kita oleh mereka yang baik mereka sadari atau tidak
merupakan kader-kader radikalisme, mulai dari elemen yang terkecil, yaitu
keluarga, hingga perguruan tinggi. Dan ini adalah salah satu sisi yang salah
dari pendidikan kita yang selama ini tidak kita sadari.
Pertama, pendidikan keluarga. Pendidikan keluarga berperan
penting dalam pembentukan karakter anak. Pemahaman agama yang baik di dalam
keluarga juga berperan sentral. Jika sejak mula anak sudah diajarkan membenci
dan ditanamkan doktrin permusuhan padanya, maka tak heran jika dewasa kelak dia
akan menjelma menjadi sosok pembenci yang selalu memusuhi orang lain yang tak
seiman. Namun sayang banyak keluarga
yang menanamkan pemahaman agama yang serba hitam putih seperti ini kepada
anak-anak mereka sejak usia dini; pemahaman agama yang menganut dikotomi Islam
dan kafir semata, yang menanamkan doktrin bahwa kafir adalah musuh Islam. Kafir
harus diperangi oleh orang Islam.
Doktrin permusuhan ini sudah banyak tertanam di jiwa
anak-anak bangsa Indonesia sejak dini. Dalam sebuah kesempatan, saya mendengar
sendiri seorang anak tetangga usia balita yang memberi komentar, “lihat, itu
orang Islam sedang memerangi orang kafir,” ketika sedang menonton sebuah film
perang bersama teman-temannya.
Pemahaman agama yang seharusnya ditekankan pada anak-anak
sejak usia dini adalah pemahaman keagamaan yang tidak hanya bersifat
normatif-formal (bersangkutan dengan ibadah) dan tekstual, tapi juga pemahaman
keagamaan yang bersifat kontekstual dan berimplikasi terhadap perilaku sosial.
Sehingga seorang anak tidak hanya soleh dalam sisi normatif-formal (ibadah)
namun juga soleh dalam sosial kemasyarakatan.
Pendidikan dalam jenjang sekolah juga berperan penting dalam
membendung radikalisme di Indonesia. Guru Pendidikan Agama Islam harus terbebas
dari paham-paham radikal yang menanamkan kebencian pada agama lain, dan
memandang penganut agama lain sebagai musuh.
Bibit-bibit radikalisme di sekolah juga bisa muncul dari
buku-buku penyebar paham radikalisme yang disusupkan secara diam-diam ke
sekolah. Dalam hal ini, guru Pendidikan Agama Islam harus pintar-pintar
membedah buku-buku agama yang di dalamnya terdapat sisipan-sisipan paham
radikal, dan menolak pemakaian buku tersebut.
Di lain ketika, saya mendengar seorang anak tetangga yang
mengatakan pada adiknya yang masih balita bahwa Tuhan itu tidak ada, yang ada
hanya Allah, dengan gaya seorang pendidik. Saya yakin si kakak, yang masih
berusia belasan itu telah mendapat semacam doktrin radikalisme dari gurunya di
sekolah.
Peran pendidikan sekolah terutama madrasah juga sangat
penting dalam pengajaran Islam yang kaffah dan kontekstual. Kalau kita melihat
beberapa latar belakang para penggiat Islam radikal rata-rata mereka adalah
orang-orang yang memiliki paham keagamaan yang minim, dan tidak memilki
kemampuan memahami persoalan keagamaan secara kontekstual. Kebanyakan dari
mereka pula adalah para umat Islam yang sedang mengalami masa semi kesalehan
atau piety spring . Maka dari itu sekolah memainkan peran penting
dalam menekan angka radikalime memalui konten pendidikan dan para staf
pengajarnya.
Selanjutnya adalah pendidikan tingkat universitas. Masa-masa
dewasa menjadi masa pencarian jati diri, di mana manusia sedang dalam mengalami
dilema pemikiran, sehingga paham-paham baru masuk ke dalam pemikiran mereka dengan
mudah. Universitas juga menjadi salah satu tempat sumbur untuk menyemaikan
berbagai paham-paham keagamaan. Dengan demikian, paham-paham radikal akan
dengan mudah disebarkan melalui unit kegiatan mahasiswa, baik yang intern
maupun yang ekstern. Biasanya penyebaran dilakukan melalui diskusi-diskusi
kecil tertutup.
Dan jika kita tengok media sosial Facebook, kita akan tahu
betapa radikalisme itu sudah benar-benar menyusup ke dalam jiwa sebagian anak
bangsa ini. Di Facebook, kita bisa temui dengan mudah kata-kata, propaganda,
dan gambar-gambar yang berisikan provokasi yang mengajak kita memerangi agama
tertentu, paham-paham tertentu yang dipandang sebagai musuh. Di antara
gambar-gambar itu ada yang secara terang-terangan menantang, mengajak
berperang, sembari menunjukkan gambar seseorang atau beberapa orang sedang
menggenggam senjata tajam.
Kiranya di sini bisa ditarik kesimpulan bahwa kurangnya
pendidikan, atau pendidikan yang salah, bisa menjerumuskan seseorang ke dalam paham radikal mulai dari bentuknya
yang paling lunak seperti mencaci maki hingga bentuk yang paling ekstrem
seperti terorisme.
Sebuah penelitian oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat
(PPIM) pada tahun 2016 mengungkap bahwa 78 persen guru Pendidikan Agama Islam
mendukung organisasi-organisasi yang hendak mengimplementasi hukum syariah di
negeri ini.
Penelitian yang dilaksanakan di sekoleh-sekolah di Banda
Aceh, Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan
tersebut juga menemukan bahwa 87 persen dari guru-guru pendidikan Agama Islam
menentang pengangkatan non-Muslim sebagai kepala sekolah, dan hampir 90 persen
di antara mereka menolak memilih non-Muslim sebagai wali kota atau bupati.
Menurut data kementerian pendidikan, terdapat 186.000 guru
Pendidikan Agama Islam di negeri ini, dan terdapat 230.000 sekolah yang
membutuhkan guru Pendidikan Agama islam.
Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) pernah
mengatakan bahwa sebagian dari anggota
mereka tidak mempunyai latar belakang pendidikan formal tentang kajian
Islam, dan boleh jadi hal itu merupakan alasan mengapa mereka tidak bisa
memahami perlunya mengkampanyekan toleransi.
Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa keluarga di rumah, ulama
dan guru Pendidikan Agama Islam adalah kunci penanggulangan radikalisme. Kiranya
gagasan pemerintah untuk mensertifikasi ulama dan mengharuskan guru Pendidikan Agama
Islam merupakan sarjana dalam bidang kajian Islam merupakan sebuah ide bagus
yang harus didukung karena terbukti, menurut penelitian, sebagian besar ulama
dan guru Pendidikan Agama Islam yang ada saat ini tidak mempunyai latar
belakang pendidikan yang cukup dalam bidang kajian Islam. Dan sebagian besar
mereka yang terlibat gerakan radikal adalah mereka yang sejak dini sudah
mendapat ajaran kebencian dan doktrin permusuhan.
Catatan: Tulisan ini saya buat bulan Februari 2017, sebelum HTI dibubarkan.
Catatan: Tulisan ini saya buat bulan Februari 2017, sebelum HTI dibubarkan.
Sumber:
https://id-id.facebook.com/notes/warga-nahdliyin-dukung-pancasila-tolak-khilafah/mewaspadai-gerakan-politik-islam-radikal-hizbut-tahrir-indonesia/392999996271/
https://nasional.tempo.co/read/news/2017/02/17/063847391/yenny-wahid-11-juta-warga-siap-lakukan-tindakan-radikal
0 comments:
Post a Comment