Ego sektarian adalah perasaan bahwa sebuah kelompok keagamaan (sekte) lebih unggul atau lebih benar, atau lebih penting dari kelompok lainnya. Orang yang memiliki ego sektarian selalu merasa bahwa kelompok mereka paling benar, dan yang lain salah semua. Mereka biasanya tidak bisa menerima pendapat orang lain, dan tidak menerima kenyataan bahwa kelompok lain benar dalam satu hal. Untuk itu mereka selalu mencari-cari alsan pembenar yang bisa mendukung pendapat mereka.
Dan ego sektarian ini kembali muncul dalam bentuknya yang ekstrem setelah kasus hebohnya pernyataan Prof. Budi santoso Purwokartiko Rektor ITK yang juga merupakan Guru Besar di Institut Teknologi Surabaya (ITS).
Dalam sebuah statusnya di Facebook, Prof. Budi mengatakan, “... Dan kebetulan dari 16 orang yang saya wawancarai, hanya ada dua cowok, dan sisanya cewek. Dari 14 (cewek tersebut) ada dua yang tidak hadir. Jadi, 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak ada satupun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar-nbenar open mind. Mereka mencari Tuhan ke negara-negara maju seperti Korea, Eropa Barat, dan US, bukan ke negara-negara yang orang-orangnya pandai bercerita tanpa karya teknologi.”
Yang dimaksud Prof. Budi sebagai orang yang dia wawancarai itu adalah para peserta program beasiswa LPDP, di mana beliau bertindak sebagai salah seorang reviewer, yang memiliki andil dalam menentukan lulus tidaknya seorang peserta, dalam program tersebut.
Pernyataan tersebut tak ayal menjadi gorengan bagi para penganut ego sektarian. Mereka menilai pernyataan tersebut sebagai bermuatan SARA, bersifat rasis, dan merupakan ungkapan tidak suka pada mereka yang berjilbab.
Berbagai reaksi tidak suka pun bermunculan di sana sini. Bukan saja tidak suka pada pernyataan tersebut, tapi juga tidak suka pada diri Prof. Budi secara pribadi. Mereka menyerbu dari berbagai penjuru, dengan menggunakan berbagai media. Dan bukan itu saja, bahkan situs ITK-pun menjadi sasaran serangan para hacker yang juga hater. Bukan saja netizen kaum awam, bahkan pejabat negara pun ada yang menyatakan rasa tidak mereka.
Dan konsekuensi dari semua itu, Prof. Budi terancam diberhentikan dari kedudukannya sebagai reviewer dalam Program Beasisw LPDP, bahkan dari kedudukannya sebagai Rektor ITK.
Namun benarkan pernyataan Prof. Budi tersebut mengandung unsur SARA dan berbau rasis?
Prof. Budi sendiri tentu membantah tuduhan tersebut. Dalam sebuah wawancara dengan media online dia mengatakan bahwa dia tidak bermaksud merendahkan orang berjilbab, atau melakukan diskriminasi terhadap mereka. Dalam hal itu dia hanya menceritakan bahwa kebetulan ke-12 orang yang dia wawancarai tersebut tidak memakai jilbab, seperti yang dikutip oleh detikSulsel, Sabtu (30/4/2022).
Dan, memang, jika kita berpikir jernih, pernyataan Prof, budi tersebut tentu bukan cerminan sebuah sikap rasis atau mengandung unsur SARA. Frasa “manusia guru’ seperti yang dia katakan hanyalah merujuk pada mereka yang hidup di gurun, dengan ciri-ciri mengenakan jilbab karena iklim dan kondisi padang pasir di sana menghendaki mereka mengenakan itu. Frasa “manusia gurun’ dalam hal ini sama saja dengan istilah “orang gunung’ yang berarti mereka yang tinggal di gunung, yang juga memiliki ciri khas yang berbeda dengan mereka yang tinggal di gurun, atau ‘orang kota’ yang berarti mereka yang tinggal dikota, yang juga memiliki ciri khas yang berbeda.
Jadi frasa “manusia gurun’ dalam hal ini hanya merujuk pada identitas etnis semata, dan tidak melibatkan identitas keagamaan, karena jilbab bukanlah identitas agama tertentu saja. Faktanya, jilbab (penutup kepala) bukan hanya dikenakan oleh perempuan Muslim saja, tetapi juga oleh kaum Yahudi, dan Nasrani.
Dan jilbab sejatinya bukanlah esensi beragama karena masih ada pro dan kontra soal kewajiban mengenakan jilbab bagi perempuan Muslim, dan fakta bahwa perempuan Muslim juga banyak yang tidak berjilbab.
Jadi kiranya reaksi berlebihan terhadap pernyataan Prof. Budi itu tidak diperlukan, dan tidak ada gunanya sama sekali, apalagi menuduh bahwa Prof. Budi membenci orang berjilbab, dan tidak akan meloloskan peserta program basiswa LPDP yang mengenakan jilbab.
Dalam statusnya di Facebook yang dia tulis tanggal 6 Mei 2022, prof. Budi mengatakan bahwa dia sudah meloloskan puluhan orang berkerudung dalam Program Beasiswa LPDP, dan memberi rekomendasi dosen berkerudung untuk kuliah lanjut.
Berikut adalah kutipan salah satu paragraf dari tulisan tersebut: Berapa puluh orang berkerudung saya loloskan mendapat beasiswa LPDP, berapa dosen berkerudung saya beri surat rekomendasi untuk kuliah lanjut,berapa puluh mahasiswi berkerudung saya bimbing Tugas akhir/thesis/disertasi, berapa banyak duafa/janda berkerudung saya bantu tiap bulan. Apa mereka mau melihat fakta ini?
Kiranya tidak berlebihan jika saya katakan bahwa Prof. Budi adalah salah satu aset pembangunan negeri ini. Dan jangan biarkan salah satu aset berharga ini hilang hanya karena sentimen keagamaan yang salah kaprah.
Sudah saatnya menggunakan logika, dan keluar dari kungkungan ego sektarian yang selalu mau menang sendiri dan tertutup terhadap perbedaan pendapat.*
0 comments:
Post a Comment