Bagaimana jika kita mempunyai budaya “melakukan”
bukannya budaya “mengetahui” di sekolah-sekolah kita? Itulah pertanyaan yang
diajukan oleh guru bahasa kelas enam Bill Ferriter dan tiga orang pendidik
lainnya dalam EduCon, sebuh konferensi pendidikan yang dislenggarakan di
Philadeplhia minggu lalu.
Ferriter menulis dalam blog-nya, The Tempered Radical, bahwa kelompoknya mengajukan
pertanyaan tersebut dalam sebuah pertemuan yang dirancang untuk mendorong para
pendidik untuk bermimpi besar dan mengembangkan solusi-solusi yang ambisius
untuk sekolah-sekolah yang sedang menghadapi masalah. Meski menguasai konten
akademik adalah tetap penting dan mendasar, dia menulis, para siswa sering
mengeluh merasa tidak mempunyai hubungan dengan apa yang mereka pelajari karena
mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk mengaplikasikan pengetahuan mereka
secara bermakna. Model-model pembelajaran seperti service learning (metode pengajaran yang
menggabungkan instruksi formal dengan dengan bidang pekerjaan yang terkait di
dalam masyarakat) terbukti bisa meningkatkan keterlibatan siswa dan mengurangi
angka putus sekolah, sejauh ini budaya sekolah yang sarat dengan test telah
menciptakan sebuah lingkungan di mana guru-guru hanya mengajarkan apa yang ada
di dalam kurikulum dan para siswa memuntahkan fakta-fakta yang mereka ketahui
di dalam sebuah test.
Ferriter mengatakan kelompoknya menyadari mereka harus bekerja keras untuk mengambil langkah aktif untuk meredefinisi hampir
semua hal mengenai sekolah mereka, dalam rangka untuk menciptakan apa yang
disebut sebuah budaya melakukan (culture
of doing). Para guru perlu mengubah
filosofi naik kelas/naik tingkat dari fokus-nya saat ini, yaitu dari “penguasaan materi pelajaran” ke tahapan yang
lebih tinggi, yaitu “demonstrasi kemampuan dalam mengaplikasikan konten dalam
situasi-situasi yang baru.” Keputusan apakah akan mempromosikan siswa untuk
naik kelas/naik tingkat atau tidak akan didasarkan pada “penggunaan artefak-artefak untuk
membuktikan tingkat penguasaan mereka akan materi pelajaran.” Di luar kelas,
kebijakan tentang anggaran sekolah akan lebih sedikit mengenai pengadaan buku-buku
teks dan lebih dititikberatkan untuk membiayai para siswa untuk menyediakan
“kesempatan untuk melakukan interaksi dengan dunia mereka.”
Masing-masing anggota tim Ferriter bertekad akan
mengambil langkah-langkah menuju pelaksanaan learning by doing (belajar dengan melakukan) di dalam kelas mereka
sendiri, seperti memperkenalkan “tugas-tugas yang bermakna dalam kehidupan
sehari hari” ke dalam kelas. Ferriter mengakui bahwa banyak guru takut
ketinggalan jadwal pelajaran jika mereka mengubah pendekatan mereka, tapi dia
mengatakan ketinggalan pelajaran tidak jadi masalah asalkan siswa menjadi lebih
menyukai belajar karena mereka bisa menerapkan pelajaran mereka secara nyata.
Jika kita ingin benar-benar melakukan inovasi untuk keluar dari krisis ini,
kita harus meyakinkan bahwa para siswa bisa melakukan sesuatu dengan pendidikan
yang mereka terima.
0 comments:
Post a Comment