CREDIT: Suzanne Tucker | Shutterstock |
Kesepian bisa membawa segudang dampak negatif ke
dalam tubuh manusia—namun dengan kontak sosial tambahan, sebagian dari efek
negatif tersebut bisa dihentikan.
John Cacioppo, seorang psikolog sosial di
Universitas Chicago yang meneliti efek bilogis dari kesepian, mempresentasikan
sebagian dari riset terbarunya dalam pertemuan organisasi Social Psychology and Perception di San Diego, Februari lalu.
Dia menemukan, sebagai contoh, kesepian bisa
menyebabkan mengerasnya arteri (yang bisa menyebabkan tekanan darah tinggi), inflamasi
di dalam tubuh, dan bahkan masalah-masalah yang menyangkut kemampuan belajar
dan memori. Bahkan lalat buah-buahan yang kesepian juga mengalami kesehatan
yang memburuk dan lebih cepat mati dibandingkan dengan lalat yang berteman dan berinteraksi
dengan yang lain, hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan sosial boleh jadi sudah
yang terprogram (hard-wired) di dalam
tubuh masing-masing makhluk hidup, kata Cacioppo.
Dalam salah satu penelitian, Cacioppo dan Steve
Cole dari UCLA menguji bagaimana sistem kekebelan tubuh berubah seiring waktu
pada orang yang tersiolasi secara sosial. Mereka mengamati perubahan pada jenis-jenis
gen yang diekspresikan oleh sistem kekebelan tubuh orang yang kesepian. Gen-gen
yang diekspresikan berlebih (overexpressed) pada
orang yang paling mengalami kesepian mencakup banyak gen yang terlibat dalam
aktivasi sistem kekebalan tubuh dan inflamasi. Sebagai tambahan, beberapa gen
kunci diekspresikan kekurangan (underexpressed),
termasuk gen-gen yang terlibat dalam respon antiviral dan produksi antibodi.
Hasilnya adalah tubuh orang yang kesepian telah menyebabkan pertahanannya
beralih ke viral dan penyusup lainnya. [7 Personality Traits That Are Bad For You]
“Apa yang kita lihat adalah sebuah pola yang
konsisten di mana kelihatannya sel-sel kekebalan tubuh manusia terprogram dengan
sebuah strategi yang defensif yang menjadi aktif pada orang-orang yang
kesepian,” kata Cold pada LiveSicence.
Inilah sebabnya: Sistem kekebaan tubuh manusia
harus membuat keputusan antara memerangi ancaman viral dan melindungi tubuh
dari invasi bakterial karena sistem kekebalan tubuh mempunyai kemampuan
bertempur yang tetap. Pada orang yang kesepian yang melihat dunia ini sebagai
sebuah tempat yang mengancam dririnya, sistem kekebalan tubuh mereka memilih
berfokus pada bakteria daripada ancaman virus (viral threats). Tanpa adanya perlindungan antiviral dan antibodi-antibodi
di dalam tubuhnya tercipta untuk melawan pelbagai penyakit, maka hasilnya
adalah orang tersebut tidak akan cukup mampu melawan penyakit kanker dan
penyakit-penyakit lainnya. Mereka yang tersisolasi secara sosial lebih peka
terhadap penyakit-penyakit yang mematikan dan mempunyai resiko yang lebih
tinggi terhadap penyakit kanker, infeksi dan penyakit jantung.
Lagipula, kesepian bisa meningkatkan level
perputaran hormon stress kortisol dan tekanan darah, di mana sebuah penelitian
menunjukkan bahwa keterasingan sosial bisa menyebabkan tekanan darah meningkat
hingga memasuki zona berbahaya bagi penyakit jantung dan stroke. Hal ini bisa
merusak pengaturan sistem sirkulasi sehingga otot-otot jantung bekerja lebih
keras dan pembuluh darah bisa rusak oleh adanya turbulensi aliran darah.
Kesepian bisa merusak kualitas tidur, sehingga seseorang yang menderita
kesepian tidurnya jadi terganggu, baik secara psikologis maupun secara fisik.
Orang yang terisolasi secara social lebih sering terjaga dalam tidurnya dan
hanya sedikit waktu mereka di tempat tidur yang benar-benar terlelap, menurut
penelitian Cole dan Cacioppo.
Siklus yang diciptakan oleh kesepian bisa
merupakan lingkaran spiral ke bawah (downward
spiral). Beberapa penelitian oleh Cacioppo dan yang lain sebelum dia telah
menemukan bahwa orang yang kesepian cenderung memandang interaksi sosial yang mereka lakukan sehari-hari secara lebih negatif dan membentuk kesan yang lebih buruk dari
orang-orang yang mereka temui.
“Seperti halnya ancaman rasa sakit secara fisik,
kesepian melindungi tubuh sosial Anda. Kesepian memberi tahu Anda ketika
hubungani sosial mulai terganggu dan menyebabkan otak menjadi waspada terhadap
ancaman-ancaman sosial,” kata Cacioppo pada LiveScience. “Kesepian bisa
menimbulkan hiper-reaktifitas terhadap tingkah laku-tingkah laku negatif orang
lain, sehingga orang yang kesepian memandang kelakuan-kelakuan orang lain yang dia
anggap negatif itu secara berlebihan. Sehingga memungkinkan mereka merasa lebih
kesepian lagi.”
Sebab-musabab hal ini kembali pada sejarah
evolusi manusia, ketika orang saling membutuhkan satu sama lain untuk bertahan
hidup. Kesepian tidak saja membuat orang tidak bahagia, tetapi juga membuat
mereka merasa tidak aman—baik secara fisik maupun secara mental. Daya evolusioner
yang dahsyat ini telah membuat manusia prasejarah tergantung pada siapa yang
bisa memberi mereka makan, tempat berteduh, dan perlindungan, untuk membantu
mereka membesarkan anak-anak mereka dan meneruskan warisan genetik mereka.
Cacioppo menduga orang yang tertekan merasa, ketika mereka terperosok ke sekelompok
orang yang berfungsi sebagai pemberi peringatan—seperti rasa sakit secara
fisik—bahwa mereka akan menangani atau menghadapi bahaya.
Setiap orang pasti pernah merasa ditinggalkan
selama beberapa waktu, misal ketika pindah ke sebuah kota yang baru atau mulai memasuki kuliah.
Biasanya perasaan kesepian itu hilang dengan sendirinya dalam tempo enam bulan.
Tapi mengenai penanganan orang yang tersiolasi secara kronis, sebagian
intervensi bekerja lebih baik dari yang lain. Dalam sebuah meta analisis yang
dilaksanakan tahun lalu, Cacioppo dan para koleganya menemukan bahwa dua dari
cara terbaik untuk mengobati kesepian adalah dengan melatih orang yang kesepian
itu dengan skill-skill sosial yang mereka butuhkan untuk memandang dunia ini
dalam cahaya yang lebih positif, dan untuk menyatukan mereka secara
bersama-sama untuk meluangkan waktu melakukan kebersamaan. (By Katharine
Gammon, LiveScience Contributor)
Follow LiveScience for the latest in
science news and discoveries on Twitter @livescience and on Facebook.
0 comments:
Post a Comment