TNC sedang mencari solusi yang bisa membuat para pemilik lahan bersemangat dalam melestarikan hutan dengan tetap tidak kehilangan mata pencarharian. Photo: TNC |
Catatan
Redaksi: Rane Cortez bekerja untuk The Nature Conservancy (Konservasi Alam) yang berbasis di Belem ,
Brazil .
Dia baru saja pindah selama dua bulan ke sebuah kota perbatasan São Felix do Xingu (baca: sow felix do shingoo) di Brazil Utara yang telah mengalami
penggundulan hutan besar-besaran untuk bekerja dengan para petani lokal, para pengelola ladang (ranchers), pemilik lahan, kelompok-kelompok pribumi, dan para pejabat kota
setempat untuk secara bersama-sama mempromosikan pertumbuhan hutan yang
berkesinambungan dan ramah lingkungan di wilayah tersebut. Tulisan ini adalah
bagian pertama dari serangkaian tulisan yang akan diterbitkan dalam delapan
minggu ke depan yang akan berbagi perspekftif dari garis depan pusat penggundulan
hutan Amazon.
Oleh Rane
Cortez
Menuju
Sao Felix: Pesawat Terbang, Taksi, Sepedamotor, dan Bus
Suami saya dan saya baru saja
pindah ke kota madya São Felix do Xingu , di Brazil utara, tepat di wilayah perbatasan di
mana terdapat wilayah perladangan (ranching) yang berbatasan langsung dengan hutan hujan Amazon. Perjalanan ke São Felix adalah sebuah
petualangan, dan begitu saya menaiki sebuah pesawat kecil, melompat ke atas
ojek motor, dan menunggu bus di jalan yang berdebu, kebanyakan orang melihat ke
arah saya—orang dari Minnesota dengan ramput pirang kemerahan, sebuah tas
beroda, dan seorang suami yang berasal dari Guatemala—seolah-olah saya berasal
dari planet yang lain saja.
Putaran terakhir perlajanan
kami adalah menumpang bus satu-satunya selama setengah jam di mana kami harus
berdiri menelusuri jalan yang seolah tak bertepi dengan lubang-lubang yang digenangi
air. Saya berharap bisa melihat sebagian dari hutan yang indah yang tadi kami
lihat dari pesawat terbang, tapi semua yang saya lihat adalah padang rumput. Saya tahu bahwa kebanyakan
hutan di sepanjang jalan di Amazon kini telah berubah menjadi lahan pertanian,
tapi melihat penggundulan hutan dari dekat adalah sesuatu yang mengejutkan.
“Wild
West” Sejarah Sao Felix
São Felix adalah sebuah kota yang tenang dan indah, terletak di tepi sungai Xingu dan sungai Fresco. Jangkauan cuacanya adalah “tropis
lambat” dan penduduknya selalu ramah. Masa lalu kota ini tampaknya ada di seputar sepak bola,
memancing, gereja, dan menikmati minuman dingin di malam yang panas. Namun ketenangan
itu ternyata mengecoh. São Felix adalah sebuah kota
perbatasan yang akitf, dengan riwayat sebagai sebuah kota yang dinamis dan berubah-ubah sebagaimna
kota-kota Amazon lainnya.
Orang mulai pindah ke São
Felix sekitar 30-40 tahun yang lalu selama masa di mana strategi pemerintah
Brazilia bagi Amazon masih dikenal sebagai strategi “integrar para não
entregar,” yang berarti “duduki supaya tidak berpindah tangan.” Hal ini
mengingatkan saya sedikit akan mantra Amerika lama, “Pergi ke barat, anak
muda.” Kebijakan ini berdasarkan pada ketakutan bahwa, jika Brazil tidak
mengembangkan Amazon, maka orang lain akan melakukannya.
Hasilnya adalah terjadinya
sebuah land rush (perburuan lahan) yang
tak terkontrol ketika orang-orang mulai pindah ke utara dalam rangka membangun
masa depan yang baru bagi keluarga mereka. Dalam atmosfir yang “wild west” ini,
para pendatang berlomba menebang pohon secepat mungkin untuk menandai wilayah
kekuasaan mereka dan membangun ladang peternakan yang luas. Hanya sedikit hutan
yang tetap utuh, kebanyakan ditebang secara membabi buta untuk memperluas lahan
kekuasaan mereka meski harus dilakukan dengan cara kekerasan. Beberapa tahun
kemudian, São Felix telah tumbuh menjadi salah satu tempat di Brazil yang paling banyak
mengalami penggundulan hutan dan merupakan tempat peternakan terbesar di
Amazon.
Rane Cortez (kiri tengah) dan anggota TNC lainnya di Amazon . Photo: TNC |
Memasuki Hutan Hujan
Sisa-sisa sejarah São Felix terbukti secara mencolok ketika
saya bergabung dengan kolega saya Dr. Bronson Griscom dalam sebuah misi penjajakan
yang lain memasuki hutan belantara selama minggu pertama saya tinggal di sana (learn about our previous
mission here). Kami mencari “hutan sekunder”—hutan yang pernah
ditebang hingga bersih sekali, tapi telah tumbuh kembali seperti semula. Misi
kami adalah untuk membuat pemetaan hutan-hutan dari pelbagai usia untuk mencoba
mencari tahu berapa cepat pohon-pohon tumbuh kembali, spesies jenis apa yang
ada di sana , dan strategi apa saja yang mungkin
bekerja untuk membantu para pemilik lahan menamam pohon di beberapa lahan padang rumput milik
mereka yang kurang produktif.
Merasakan
Tekanan
Hutan-hutan yang kami
kunjungi sebagian terdiri dari dari “hutan lindung” milik para pemilik lahan.
Menurut “Tata Kelola Hutan” Brazil para pemilik lahan di Amazon harus menjaga
80% dari lahan mereka tetap sebagai hutan alami dan mereka hanya bisa mengelola
sisanya yang 20% sesuai keinginan mereka. Meski aturan ini telah ada semenjak
beberapa tahun yang lalu, namun kebanyakan tidak ditaati hingga akhir-akhir
ini.
Pada tahun 2007, pemerintah
Brazilia mulai secara serius menindak para pelanggar Aturan Tata Kelola Hutan,
dengan mem-“blacklist” area-area yang mengalami penebangan paling tinggi,
memberi denda para pemilik lahan yang tidak taat aturan, dan memotong akses pinjaman
ke bank. Upaya-upaya seperti ini membuat para pemilik lahan berpikir dua kali
jika akan melakukan penebangan hutan lebih luas, dan para pemilik perladangan (ranch) di São Felix merasakan tekanan tersebut. Meski
upaya-upaya seperti ini telah secara dramatis mengurangi penggundulan hutan
selama dua tahun terakhir namun aturan tersebut juga telah mempersempit ruang gerak mata
pencaharian para pemilik ranch ,
khususnya ranch yang kecil. Salah
seorang petani mengatakan pemerintah telah memberi dia dua pilihan: menebang hutan dan didenda, atau membiarkan
keluarganya kelaparan.
Mengarungi sungai Amazon yang maha luas. Photo: TNC |
Solusi
yang Ramah-Hutan
Menemukan solusi bagi
tantangan para petani ini adalah tujuan saya ke sini—untuk melakukan bagian
kecil dalam kerja sama dengan negara dan pemerintah daerah setempat, para
pemilik ranch, keluarga petani, koperasi
kakao, organisasi-organisasi lokal, dan lain-lainnya untuk mengembangkan pilihan
yang lebih baik baik dari segi bisnis, bagi masyarakat, dan juga bagi alam. Ada banyak momentum di
belakang tujuan ini. Faktanya, kelompok-kelompok lokal baru-baru ini
menandatangani sebuah kesepakatan untuk mewujudkan zero illegal deforestation (meniadakan penggundulan hutan secara illegal).
Sebagian dari opsi yang kami
sedang kembangkan bersama termasuk pemetaan properti para pemilik lahan,
memulihkan kerusakan hutan dengan cara menanam campuran tanaman antara kakao
dan pohon-pohon asli setempat yang berharga, dan memperbaiki praktik perladangan
(ranching) sehingga para pemilik ranch bisa melipatgandakan produksi
sembari mengurangi keinginan mereka menjelajah wilayah-wilayah baru.
Dalam misi pemetaan (scoping) minggu ini, kami melihat banyak
sekali hutan yang terdegradasi secara besar-besaran. Namun kami juga menemukan
beberapa pohon kakao asli setempat bercampur dengan pohon palem Acai tidak jauh
dari pohon-pohon kacang Brazil
(Brazil nut trees) yang tinggi
menjulang. Tempat-tempat ini menunjukkan bahwa hutan tersebut menyediakan produk-produk
berharga sekaligus membantu menyerap karbon dari atmosfir dan memberi manfaat
lain bagi manusia. Saya berharap bisa menemukan tempat-tempat yang lebih terang
lainnya seperti yang telah saya temukan selama masa dua bulan saya tinggal di
sini ini.
Ikuti
tulisan saya berikutnya dalam serial ini, yang berisi wawancara dengan para
pemain lokal—seperti keluarga petani, para pemilik perkebunan kakao dan para
pemilik ranch—dan tinjauan lebh mendalam tentang
sebagian strategi untuk mengurangi penggunduan hutan dan mempromosikan
pertumbuhan yang paling bersahabat di sini di Amazon.
Dari
tanggal 12 Maret hingga 4 Mei, Rane juga akan menulis di blog perubahan iklim
milik Nature Conservancy, Planet Change, tentang bagaimana percepatan
pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan akan pelestarian alam bertemu dan berbenturan
di dalam salah satu wilayah Amazon yang paling dinamis.
0 comments:
Post a Comment