Saya pribadi menghormati sastra Lampung tradisional sedalam-dalamnya. Bagi saya sastra Lampung tradisional itu elegan karena dia tetap bisa bertahan
dalam bentuk aslinya, tak lekang ditelan jaman. Tapi sayangnya saya tidak hidup
pada jaman ketika sastra tradisional itu tumbuh subur. Saya ingin sekali hidup
di jaman di mana saya bisa mendengar sesikun/sekiman,
seganing/teteduhan, memmang, paradinei, pepaccur/wawancan,
pattun/segata/adi-adi, bebandung, ringget/pisaan/wayak, dan lain-lain
itu dengan tetap menggunakan bahasa aslinya. Tapi sayang di jaman saya hidup
dan berkembang saya nyaris tidak pernah mendengar satupun diantaranya kecuali wayak dan hahiwang.
Dan karena bahasa Lampung terus berkembang mungkin kini
tidak banyak orang yang bisa menikmati sastra tradisional Lampung sepenuhnya.
Bahasa yang dipergunakan dalam sastra Lampung tradisional itu tentulah bahasa
Lampung tinggi seperti yang disinggung Udo Z. Karzi dalam sebuah artikelnya, yang
tidak bisa dimengerti sepenuhnya oleh orang Lampung jaman sekarang pada
umumnya.
Bahasa Lampung tinggi tentulah menggunakan kata-kata dan
istilah-istilah Lampung asli, yang belum tercemar oleh bahasa lain, sedangkan
bahasa Lampung modern seperti yang kita gunakan saat ini sudah kental sekali
pencemarannya. Saya pribadi mengalami kesulitan kalau mau menulis dalam bahasa
Lampung asli. Bahasa Lampung yang saya kenal adalah bahasa Lampung yang saya
gunakan dalam kehidupan saya sehari-hari di Krui. Dan karena saya tinggal di
daerah pasar, maka bahasa Lampung yang kami pakai lebih kental lagi
pencemarannya dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah-daerah pelosok.
Saya sering tidak paham dengan istilah-istilah bahasa Lampung asli yang digunakan
di pelosok.
Upaya untuk melestarikan sastra Lampung tradisional adalah
sebuah pekerjaan besar karena untuk itu bahasa Lampung harus dimurnikan
terlebih dahulu dari segala bentuk pencemaran, dari segala pengaruh, baik dari
segi kosa katanya, maupun dari segi logat pengucapannya. Dan bahasa Lampung
yang digunakan dalam sastra tradisonal harus kembali menggunakan bahasa Lampung
tinggi, yang mungkin ada perbedaan baik dari segi kosa kata maupun logat
pengucapannya dengan bahasa Lampung pasaran. Untuk itu diperlukan usaha serius
dengan memanfaatkan nara
sumber yang masih hidup seperti Masnuna.
Segala bentuk sastra lampung yang ditulis dengan tidak
menggunakan bahasa Lampung tinggi, dan tidak menggunakan bentuk-bentuk sastra
lisan seperti yang disebutkan di atas, saya kira memang tidak layak disebut
sastra tradisional Lampung. Sastra Lampung yang tidak menggunakan salah satu
bentuk di atas harus dipandang sebagai sastra Lampung modern yang penilaiannya
tidak menganut azas penilaian sastra tradisonal. Apapun bentuk sastra Lampung
modern yang ada saat ini—puisi, cerpen Lampung, novel Lampung, misalnya—adalah
bentuk sastra modern yang berdiri sendiri, yang tidak ada hubungannya dengan
sastra Lampung tradisonal.
Tapi bukan berarti apa yang ditulis dalam bentuk sastra
modern ini tidak ada artinya. Bukankah modernisasi itu adalah sebuah keniscayaan,
sesuatu yang tidak bisa kita hindari. Dan karena bahasa Lampung pun berkembang
menjadi bahasa modern, maka sastranya juga ikut modern, tentu dengan tidak
melupakan yang tradisonal. Keberadaan sastra Lampung modern seperti yang kita
kenali saat ini adalah sebuah proses yang berlangsung secara alami, seiring
dengan modernisasi bahasa lampung itu sendiri, sebagaimana yang terjadi pula
pada bahasa-bahasa lain.
Dan seiring dengan semangat pelestarian bahasa Lampung, menulis
karya sastra Lampung modern sekurangnya menunjukkan kepedulian kita akan
kelestarian bahasa Lampung, sehubungan dengan adanya sinyalemen bahwa bahasa
tersebut sedang berada di dalam ambang kepunahan.
Saya tidak setuju dengan para pengkritik sastra Lampung
modern, yang tidak mengakui bentuk-bentuk sastra Lampung di luar bentuk-bentuk
sastra tradisional. Seharusnya mereka, para pengkritik itu, tidak hanya
mengkritik tetapi juga menunjukkan hasil karya mereka dalam bentuk sastra
Lampung tradisonal dengan menggunakan bahasa Lampung tinggi itu. Dan membiarkan
hasil karya mereka itu hidup berdampingan dengan hasil karya sastra modern sebagai
perbandingan. Agar generasi kini tahu yang mana yang tradisional dan yang mana
yang modern. Wallahu’alam.
0 comments:
Post a Comment