Negeri Lampung dalam Bukunya Marsden


(William Marsden dalam bukunya yang berjudul The History of Sumatra Containing An Account Of The Government, Laws, Customs And Manners Of The Native Inhabitants ada mengulas sedikit tentang negeri Lampung. Di bawah ini adalah terjemahan dari bab tersebut selengkapnya. Meski bukan terjemahan yang sempurna, dan tidak tertutup kemungkinan terdapat kesalahan, namun kiranya artikel di bawah ini bisa memberi wawasan serba sedikit bagi mereka yang ingin mengetahui sejarah orang Lampung. Buku Marsden di atas bisa dilihat selengkapnya dalam lnk di bawah ini.)

NEGERI
LAMPUNG DAN PENDUDUKNYA                                  
BAHASA.
PEMERINTAHAN.
PERANG.
KEUNIKAN ADAT ISTIADAT.
AGAMA.



Setelah membicarakan adat dan tingkah laku suku bangsa Rejang secara lebih rinci, dan mendalam, sebagaimana kejadian yang sebenarnya, hingga adat dan tingkah laku orang Pesumah, yang serupa dengan orang Rejang, kini saya akan mengalihkan pembicaraan tentang adat dan budaya dari saudara-saudara mereka, yaitu mereka yang mendiami wilayah Lampung, yang berbeda dengan mereka, meskipun perbedaan ini tidaklah terlalu besar; dan di sini saya juga akan menambahkan informasi seperti yang telah saya peroleh tentang orang Kerinci dan suku bangsa-suku bangsa lain yang mendiami wilayah bukit barisan yang merupakan wilayah perkebunan lada.  


BATAS WILAYAH NEGERI LAMPUNG


Wilayah Lampung dipahami sebagai sepotong wilayah paling ujung Sumatera, mulai dari, pesisir barat , di sungai Padangguci, yang merupakan pembatas Lampung dengan Pasemah, dan membentang hingga sampai Palembang, pada sisi sebelah timur laut, di mana penduduknya kebanyakan orang Jawa. Pada sisi sebelah selatan dan timur terdapat lautan, yang mempunyai beberapa pelabuhan di Selat Sunda, khususnya pelabuhan Keysers dan pelabuhan Teluk Lampung; dan sungai besar Tulang Bawang melintas di tengah-tengah wilayah negeri ini (Lampung), yang berasal dari sebuah danau yang cukup besar yang terletak di sela-sela bukit barisan. Bagian wilayah yang termasuk Padangguci, dan sebuah tempat yang bernama Nassal, disebut Briuran, dan daerahnya memanjang dari sana ke arah selatan hingga daerah Flat Point (dataran rendah), hingga ke Laut Kaur; meski Kaur, begitu sering disebut, terletak di bagian wilayah selatan.  


SUNGAI TULANG BAWANG.


Di sungai Tulang Bawang, di sebuah tempat yang disebut Menggala, tigapuluh enam league (1 league 4,8 km) dari muara sungai tersebut, Belanda membangun sebuah benteng. Di sini pula perwakilan raja Banten, yang mengklaim menguasai seluruh wilayah Lampung, membangun tempat  tinggalnya, sungai Masusi (Mesuji?), yang mengalir ke sungai Tulang Bawang, menjadi perbatasan dari wilayah kerajaan Banten dan wilayah kesultanan Palembang. Di wilayah sekitar sungai-sungai ini tanahnya sangat rendah sehingga kalau musim hujan sering kebanjiran, atau pada bulan Januari hingga Februari, di mana air sungainya pernah meluap hingga ketinggian beberapa kaki setelah hujan selama beberapa jam, yang membuat desa-desanya, yang terletak di wilayah yang lebih tinggi, tampak seperti pulau-pulau. Rumah-rumah yang berada di pinggir sungai dibuat dari kayu besi, dan masing-masing punya rakit apung untuk kepentingan mandi dan cuci. Pada wilayah bagian barat, hingga Semangka, sebaliknya, wilayahnya bergunung-gunung, dan puncak Gunung Keyser, dan juga Gunung Pugung, bisa dilihat dari kejauhan dari pinggir laut.


PENDUDUK.


Wilayah Lampung yang paling banyak dihuni adalah wilayah tengah dan wilayah perbukitan, di mana orang-orangnya hidup secara independen, dan dalam beberapa hal aman dari serbuan tetangga mereka dari wilayah timur, Jawa, yang mulai dari wilayah sekitar Palembang dan Selat Sunda sering coba-coba mengganggu mereka. Diperkirakan baru beberapa abad belakangan ini saja wilayah pesisir barat daya Lampung didiami penduduk dalam jumlah yang memadai; dan wilayah tersebut jarang dikunjungi orang dari luar, karena sifat  laut di wilayah tersebut yang ganas, dan belum teruji, sehingga membahayakan pelayaran kapal dalam negeri; dan karena sungai-sungainya yang kecil dan mengandung jeram, dangkal dan berombak tinggi. Jika Anda bertanya pada orang-orang di sini darimana mereka berasal, maka mereka menjawab dari bukit, sambil menunjuk sebuah tempat di wilayah pedalaman di mana terdapat sebuah danau besar yang mereka percaya sebagai tempat asal muasal nenek moyang mereka; dan selebihnya sulit sekali dilacak. Dari semua orang Sumatera, orang Lampung adalah orang yang paling mirip dengan orang China, khususnya dari bentuk wajah mereka yang bulat dan dari bentuk mata mereka. Orang Lampung juga merupakan orang yang paling indah dipandang di Sumatera, dan kaum wanitanya juga paling tinggi dan paling cantik.


BAHASA.


Bahasa Lampung berbeda cukup jauh, meski tidak secara esensial, dari bahasa Rejang, dan huruf yang mereka gunakan adalah asing bagi mereka sendiri, seperti yang bisa dilihat dari contoh terlampir di bawah ini.

PEMERINTAHAN.


Gelar pemerintahannya adalah pangeran (dari bahasa Jawa), kariyer, dan kiddimong atau nebihi; yang terkahir ini hampir setara dengan dupati bagi orang Rejang. Distrik Krui, di dekat gunung Pugung, diperintah oleh lima magistrat yang disebut Penggawa Lima, dan seorang penguasa keenam, yang mempunyai gelar kebesaran Panggau; namun kekuasaan mereka bisa diperebutkan dan sering kali dipertikaikan. Sebutan yang umumnya setara dengan seorang gladiator atau prizefighter. Pangeran Suko (Sukau?), di daerah pegunungan, terhitung mempunyai empat atau lima ribu pendukung, dan kadang-kadang ketika melakukan perjalanan, dia memungut upeti sebesar setali, atau seperdelapan dolar, pada setiap keluarga, yang dengan demikian menunjukkan bahwa kekuasaannya lebih sewenang-wenang dan mungkin juga lebih feodal dibandingkan dengan bangsa Rejang, yang pemerintahannya agak bersifat patriarkal. Perbedaan ini tidak diragukan bersumber dari perang dan invasi yang pernah di alami oleh nenek moyang mereka.


PERANG.


Bandit dari Jawa, sebagaimana yang diceritakan, sering kali menyusup ke wlayah ini, dan melakukan penghancuran pada penduduk, yang pada umumnya bukan merupakan lawan mereka. Orang Lampung tidak menggunakan senjata api. Di samping menggunakan senjata yang umum terdapat di pulau Sumatera, mereka juga berperang dengan menggunakan tombak yang panjang yang dibawa oleh tiga orang laki-laki, laki-laki yang paling depan menunjukkan arah dan menutupi dirinya dan teman-temannya dengan perisai. Senjata tersebut serupa dengan phalanx dari Macedonia, namun sejauh yang saya ketahui, senjata seperti itu tidak efektif jika digunakan dalam sebuah perang yang tidak mengenal aturan, dan lebih sering digunakan sebagai senjata penyergap daripada senjata perang sebagaimana galipnya, di mana masing-masing pasukan dipersenjatai sehingga masing-masing bisa berperang dengan lebih efektif.


Di pedalaman Semangka, di Selat Sunda, ada sebuah district, sebutlah distrik Lampung, yang dihuni oleh orang yang ganas yang dinamakan orang Abung, yang merupakan teror bagi wilayah sekitarnya hingga kampung mereka dimusnahkan beberapa tahun lalu oleh sebuah ekspedisi dari tempat asal usul mereka dahulu (former place). Cara mereka menebus kesalahan atas perbuatan yang mereka lakukan terhadap komunitas mereka sendiri, atau, menurut sebuah hikayat Melayu yang saya punya, untuk menunjukkan bahwa mereka sudah berhak mempunyai istri, adalah dengan membawa kepala beberapa orang asing ke dusun mereka. Cerita tersebut boleh jadi benar, namun tanpa ada penelusuran lebih jauh, cerita seperti itu tidaklah perlu terlalu dipercaya karena berasal dari orang-orang yang suka membesar-besarkan atau menambah-nambahi cerita. Seperti cerita bahwa penduduk pulau Enggano pada awalnya semuanya perempuan, yang kemudian menjadi hamil oleh angin, seperti halnya bangsa mares dalam cerita Georgics karya Virgil.


TINGKAH LAKU.


Tingkah laku orang Lampung lebih bebas, atau agak cabul, dibandingkan dengan orang Sumatera lainnya. Kebebasan berhubungan badan yang di luar batas diperbolehkan di antara anak muda yang berbeda jenis kelamin, dan peristiwa kehilangan keperawanan bukanlah merupakan hal yang langka.


Kejadian seperti itu tentu saja memalukan akan tetapi dianggap tidak terlalu mengganggu, dan bukannya memberi hukuman pada kedua pasangan muda-mudi tersebut, seperti yang dilakukan orang Pasemah dan di tempat-tenpat lain, mereka dengan bijaksana berusaha meresmikan hubungan mereka. Tapi jika hal ini tidak berhasil, si gadis masih berhak mengenakan lambing-lambang keperawanan, ikat kepala dan gelang tangan, dan berhak menempati tempat gadis perawan dalam upacara-upacara adat.


Bukan hanya dalam acara-acara publik seperti ini anak bujang dan gadis mempunyai kesempatan berpacaran, sebagaimana kebanyakan di tempat-tempat lain di pulau Sumatera. Mereka sering bertemu di lain kesempatan; dan si bujang terlihat dengan gagah rebah di pangkuan si gadis, membisikkan kata-kata rayuan gombal, sambil si gadis mengatur dan memberi wewangian pada rambutnya, atau melakukan sesuatu yang kurang bergairah jika dibandingkan dengan orang Eropa. 


Dalam acara bimbang kaum wanitanya sering kali mengenakan pakaian tari di dalam aula di hadapan orang ramai, dengan sengaja menjatuhkan pakaian yang akan mereka buka ke bawah kaki mereka dengan cekatan, sambil memasang bagian pakaian yang lain dari kepala, namun kadang-kadang, dengan aroma yang agak genit, mempertontonkan perbuatan tersebut seperti disengaja untuk mengundang gairah muda.


Baik pria maupun wanita meminyaki tubuh mereka di depan teman-teman mereka sebelum mereka menari; wanita pada bagian leher dan lengan, dan pria pada bagian dada. Mereka juga gentian mengecat wajah; tampaknya, tidak dengan tujuan untuk menonjolkan kecantikan alami, tetapi hanya merupakan gaya saja; membuat tanda-tanda yang fantastis dengan menggunakan jari pada bagian jidat, pelipis, dan pipi, dengan nuansa putih, merah, kuning, dan lain-lain. Sebuah talam yang penuh dengan cangkir porselen, yang berisikan pelbagai macam cat, digunakan untuk melakukan ini.


Banyak kejadian, meski jarang, yang sangat mengganggu pesta-pesta yang mereka lakukan. Sekelompok risau (rampok) dari kelompok anak muda pernah secara tiba-tiba mematikan lampu dengan tujuan untuk merampok si gadis, bukan tubuhnya, seperti yang diduga banyak orang, tatapi perhiasan mereka yang terbuat dari emas dan perak.


Kekerasan serupa ini menurut saya hanya bisa terjadi di Lampung, di mana karena kedekatan wilayah ini dengan Jawa membuat para pelaku kejahatan  lebih mudah dan lebih meyakinkan untuk melarikan diri, dibandingkan dengan di bagian tengah dari pulau Sumatera; dan di sini untuk acara resepsi dan ramah tamah, merayakan perayaan tertentu, dan untuk mempromosikan pertemuan dan pertunangan muda-mudi, mereka mengundang bermacam-macam orang, yang berasal dari tempat-tempat yang jauh, dan tidak hanya terdiri dari, seperti halnya pada orang Rejang, sanak kerabat dan handai taulan yang berasal dari desa-desa terdekat.


KEUNIKAN ADAT ISTIADAT.


Di setiap desa ada anak muda yang diangkat, yang memenuhi sarat secara alami dan pendidikan untuk jabatan tersebut, yang berperan sebagai pembawa acara pada rapat-rapat umum, mengatur tempat bagi bujang dan gadis, memilih pasangan mereka, dan mengatur semua hal-hal lain yang menyangkut pertemuan masyarakat kecuali bagian keuangan dan perlengkapan, yang diserahkan pada salah seorang yang dituakan.


Masing-masing bagian dalam acara hiburan tersebut didahului oleh pidato-pidato sambutan yang panjang, yang disampaikan oleh masing-masing pengurus, yang kemudian mendapat jawaban dan sanjungan atas kecakapan, kemurahan hati mereka, dan atas kualitas-kualitas yang lain yang mereka tunjukkan, oleh beberapa orang tamu yang dituakan. Meski tata cara pelaksanaan pesta di Lampung dan segala tetek bengeknya lebih unggul  dibandingkan dengan beberapa bagian di wilayah utara, namun dalam hal rasa dan selera makanan mereka jauh tertinggal.


Orang Lampung memakan hampir semua jenis daging tanpa pandang bulu, dan gulai mereka disebut-sebut, oleh para pecinta masakan, tidak berasa. Mereka menghidangkan nasi yang dibagi-bagi menurut porsi orang per orang, yang bertentangan dengan cara di negeri lain; talam ditutupi dengan kain berwarna merah tua yang menawan yang sengaja dibuat untuk tujuan ini.


Mereka suka menghibur orang asing dengan cara yang berlebihan dibandingkan di tempat lain di pulau Sumatera. Jika si tamu itu orang penting mereka tidak segan-segan untuk menyembelih, di samping kambing dan unggas, seekor kerbau, atau beberapa ekor, tergantung berapa lama sang tamu tinggal, dan jumlah pengikutnya. Seseorang pernah diketahui menghibur seorang tamu penting yang berpangkat dan rombongannya selama enambelas hari, di mana dia harus menghidangkan sekurangnya seratus piring nasi setiap hari, yang berisikan satu atau dua bambu. Mereka menggunakan piring yang terbuat dari china dan tembikar, yang disebut batu benawang, yang dibawa dari timur, yang sangat berat, dan sangat mahal, yang sebagiannya berharga hingga empatpuluh dolar sebuah. Jika salah satu dari batu benawang itu pecah, maka itu adalah kehilangan yang tidak sedikit.


PENERIMAAN TAMU ORANG ASING.


Orang luar yang berkunjung ke Lampung harus berhadapan dengan wawancara yang sangat banyak dibandingkan dengan di tempat lain di pulau Sumatera. Bukan hanya orang utama dari rombongan tamu tersebut, namun semua anggota rombongannya, diwajibkan, jika mereka tiba di sebuah kota, untuk memberi penjelasan tantang apa yang dia lakukan, atau mengapa mereka sampai tiba di tempat itu. Jika si pemuka dusun ditemui oleh orang asing yang ingin menjelaskan motif perjalanannya maka si pemuka dusun tersebut harus  mengulangi semua perkatan si orang asing tersebut seluruhnya terlebih dahulu sebelum dia memberi jawaban; dan jika sang pemuka dusun tersebut adalah orang yang sangat penting, maka kata-katanya harus melalui dua atau tiga mulut sebelum akhirnya disampaikan kepada tamunya dengan tata krama yang layak. Hal ini nyatanya lebih dimaksudkan untuk menunjukkan tingginya kedudukan sang pemuka dusun tersebut daripada menunjukkan kedudukan tamunya; tetapi bukan hanya di Sumatera saja penghormatan seperti itu ditunjukkan dengan cara yang tampak kontradiktif seperti ini.


Istilah jujokh, atau setara dengan istri, adalah sama, atau hampir mendekati, dengan yang terdapat pada orang Rejang. Kepala keris (kris-head) bukan merupakan bagian penting dalam perjanjian jujokh, sebagaimana halnya dengan orang Pesumah. Ayah dari si gadis tidak mau menerima perjanjian  putus tali kulo, atau sejumlah uang yang dibayar oleh si suami (calon menantunya), dan dengan demikian sang suami (menantunya) tidak berhak, dalam hal apapun, untuk menjual istrinya, dan jika terjadi perceraian, si perempuan harus kembali ke keluarganya.


Dalam perjanjian putus tali kulo, sang suami memiliki sang istri, dengan cara yang hanya berbeda sedikit dengan memiliki budak, seperti yang sering terjadi. Jumlah pemberian dalam jujokh di sini tidak terlalu kompleks dibandingkan dengan di tempat lain. Harga dari perhiasan emas untuk si pengantin wanita ditaksir dengan bijak, dan tata cara jujokh-nya disesuaikan menurut kedudukan ayah sang gadis. Perkawinan semanda jarang terjadi kecuali hanya di kalangan orang miskin, di mana kedua belah pihak tidak memiliki harta benda, atau jika terjadi kesalahan tingkah laku pada si gadis, di mana teman-temannya bersedia mengawininya dengan tanpa harus memberinya apa-apa. Tapi banyak pula  terjadi di mana seorang laki-laki yang berkedudukan melakukan perkawinan semanda hanya untuk meniru tata cara orang Melayu; namun cara ini dipandang tidak layak dan rawan menimbulkan keributan.


Denda dan kompensasi bagi pembunuhan dalam segala hal sama dengan di wilayah-wilayah lain yang pernah diuraikan di atas.


AGAMA.


Agamanya nabi Muhammad telah mengalami kemajuan pesat di kalangan orang Lampung, dan kebanyakan dusun-dusun mereka mempunyai masjid sendiri; namun sisa-sisa jaman takhyul menyebabkan mereka masih memperlakukan makam nenek moyang mereka dengan memberi penghormatan khusus, dan mereka indahkan dengan cara menutupi makam tersebut dengan atap.


KEPERCAYAAN TAKHAYUL.


Di beberapa tempat, pula, mereka masih mempercayai takhayul bahwa pohon-pohon tertentu, terutama pohon-pohon yang tampaknya rawan (seperti pohon jawi-jawi tua atau pohon banyan) yang mereka anggap merupakan tempat bermukim para makhluk halus; sebuah kepercayaan yang sama persis dengan kepercayaan dryads dan hamadryads kuno. Di Bengkunat, Lampung Barat sekarang, ada sebuah batu panjang, yang berdiri di atas sebuah batu lain yang datar, yang oleh penduduk setempat dikira memiliki kekuatan atau kuasa yang luarbiasa. Konon batu tersebut pernah terlempar ke air dan kemudian kembali lagi menempati posisinya semula, dengan menimbulkan badai yang maha dahsyat. Mereka percaya jika seseorang mendekati batu tersebut dengan cara tidak hormat alamat dia akan mendapat bencana.


Orang pedalaman Lampung disebut-sebut sangat mengagumi laut, dan mereka memberi sesajen berupa kue-kue dan dendeng jika mereka melihat laut  untuk pertama kalinya, dengan harapan agar laut tersebut tidak mengganggu mereka. Hal ini tentu saja tidak mengejutkan karena orang yang belum mendapat pencerahan cenderung selalu menghormati hal-hal yang berbau takhayul yang mereka anggap mempunyai kekuatan untuk menyakiti mereka tanpa bisa mereka ketahui, khususnya jika hal itu disertai dengan kejadian-kejadian yang misterius dan tak masuk akal yang tidak bisa mereka pahami.


Laut memiliki semua kualitas seperti ini. Laut mempunyai kekuatan yang destruktif dan dahsyat, dan khususnya di pesisir samudera Hindia di mana ombak-ombak besar terus memecah di pantai, yang sering menimbulkan kekuatan yang maha dahsyat tanpa bisa dimengerti penyebabnya.


Ditambah lagi dengan adanya gerakan pasang naik dan pasang surut dan ombak laut yang abadi, yang mengagumkan bahkan untuk para ilmuwan yang memahami sebab musababnya, yang aneh bagi orang yang tidak tahu, meski mereka sudah terbiasa melihatnya; namun bagi mereka yang hanya sekali-sekali seumur hidupnya melihat kejadian alam tersebut, mereka memandangnya sebagai sesuatu yang supernatural dan ilahiah.


Rasa takut orang Lampung pedalaman akan laut kiranya sebanding dengan rasa takut orang Inggris akan ilmu guna-guna ketika mereka memakukan sepatu kuda di pintu rumah mereka dengan harapan agar ilmu guna-guna tersebut tidak bisa masuk dan mengganggu, atau ketika mereka memecahkan telur untuk menghalangi ilmu guna-guna masuk rumah mereka. Akan halnya dengan penduduk Lampung, rasa takut dan respek itu bersifat sementara, yang lama-lama akan menghilang dengan sendirinya. Banyak di antara mereka yang membayangkan bahwa laut punya kuasa mengatur geraknya sendiri.


Mereka menceritakan sebuah kisah tentang seorang pandir dari sebuah desa pedalaman yang mengamati pergerakan air laut yang tiada henti dengan rasa kagum, dan kemudian memutuskan untuk mengangkut sekapal air laut ke kampungnya, dan menuangkannya ke sebuah danau, dengan harapan air laut tersebut akan menimbulkan ombak yang sama dengan yang di laut.*


(*Catatan kaki: tingkah laku orang Pilipina atau orang Pulau Luzon mempunyai banyak kesamaan dalam banyak hal dengan orang Sumatera, dan khususnya pada bagian yang sangat berbeda dengan orang Melayu, yang saya kira sangat menarik untuk dikaji, jika tidak karena kesamaan asal-usul, sekurangnya karena pernah ada hubungan perkawinan di masa lampau yang sekarang tidak terjadi lagi.

Contoh-contoh berikut diambil dari sebuah esai yang disimpan oleh Thevenot, yang berjudul Relation des Philippines par un religieux; traduite d'un manuscrit Espagnol du cabinet de Monsieur Dom. Carlo del Pezzo (tak bertanggal), dan dari manuksrip yang diceritakan kepada saya oleh Alex Dalrymple, Esquire: “Dewa utama orang Tagalas disebut Bathala mei Capal, dan juga Diuata; dan pemujaan utama mereka adalah memuja nenek moyang mereka yang telah menurunkan kepada mereka keberanian dan kemampuan, dengan menyebut nenek morang mereka tersebut Humalagar, yang berarti arwah: Jika ada orang yang tidak bisa diam di pusara nenek moyang mereka, maka orang tersebut mereka buat menjadi budak.

Mereka memiliki penghormatan yang tinggi pada buaya, yang mereka sebut nono, yang setara dengan kakek, dan membuat sesajen untuknya. Setiap pohon besar mereka anggap sebagai mempunyai kekuatan, dan menebang pohon tersebut digolongkan sebagai sebuah kejahatan. Mereka juga memuja batu-batu, cadas, dan semenanjung, mereka membidikkan anak panah ke benda-benda tersebut ketika mereka telah melewatinya.

Mereka mempunyai pendeta yang, pada upacara pengorban, berguling-guling dan merintih-rinith, seolah-olah kemasukan roh jahat. Laki-laki dan wanita pertama, kata mereka, konon tercipta dari bambu, yang pecah di pulau Sumatera; dan mereka bertengkar soal perkawinan mereka. Mereka memberi tulisan pada tubuh mereka dengan berbagai gambar, dan membuat tubuh mereka berwarna seperti abu, melubangi telinga mereka lebar-lebar, membuat gigi menjadi hitam dan meratakan gigi, dan membuat sebuah lubang yang mereka isi dengan emas, mereka biasa menulis dari atas ke bawah hingga tiba orang Spanyol yang mengajarkan mereka menulis dari kiri ke kanan, bambu dan pohon lontar berfungsi sebagai kertas tempat menulis.

Mereka menutupi rumah mereka dengan jerami, daun-daun dari pohon, atau bambu yang dibelah dua sebagai gentengnya. Mereka menyewa orang untuk menyanyi dan meratap pada pemakaman, membakar benzoin, mengubur jenazah pada hari ketiga dengan menggunakan peti jenazah yang kuat, dan kadang-kadang membunuh budak-budak untuk menemani tuan mereka yang meninggal dunia.”)

Cerita yang terakhir ini lebih spesial, dan terjadi dalam jaman modern.


Mereka memperlakukan buaya (caiman), atau aligator, dengan sikap hormat, dan ketika mereka melihatnya mereka memanggilnya nono, atau kakek, mereka berdoa dengan sekhidmat mungkin agar buaya-buaya tersebut tidak merusak, dan pada akhirnya mereka memberinya apa saja yang mereka punya di dalam perahu mereka, dengan cara melemparkannya ke air.


Tidak ada pohon tua yang tidak mereka jadikan tempat memuja, khususnya yang mereka sebut balete; dan bahkan sekarangpun mereka masih mempunyai sikap yang sama. Di samping itu mereka mempunyai dewa tertentu yang mereka warisi dari nenek moyang mereka, yang orang Tagalas menyebutnya Anita, dan orang Bisayan menyebutnya Divata. Sebagian dari dewa-dewa tersebut adalah dewa gunung-gunung dan dewa rawa-rawa, dan mereka meminta ijin pada dewa-dewa tersebut ketika mereka akan melewati gunung atau sebuah tempat di dataran: dewa lain adalah dewa kesuburan kepada siapa mereka meminta kesuburan atas tanaman mereka, dengan cara menempatkan daging dan minuman di tengah ladang sebagai persembahan bagi para Anita.


Ada satu lagi dewa, yang berasal dari laut, yang mengatur perikanan dan navigasi mereka; dewa yang lain mengatur rumah, yang berkahnya mereka minta ketika mereka melahirkan anak, dan kepadanyalah mereka meminta perlindungan bagi anak mereka tersebut. Mereka juga memuja nenek moyang mereka yang sudah meninggal dunia sebagai dewa, dan kepada merekalah mereka pertama-tama meminta agar diberi keselamatan.
Mereka percaya bahwa di antara para makhluk hidup, semua orang yang tewas oleh petir atau dimakan buaya, atau mengalami kematian karena kecelakaan atau musibah, maka arwah mereka dibawa ke alam yang lebih bahagia, oleh pelangi, yang mereka sebut Balan-gao. Secara umum mereka berusaha menciptakan divinitas seperti ini bagi orang tua mereka ketika orang tua mereka meninggal dunia di usia tua, dan para orang tua mereka, yang dibodoh-bodohi oleh ide barbar ini, merasakan mengalami kekhidmatan dan ketenangan pikiran ketika mereka sakit, karena dengan demikian mereka terkonsep, lebih dari sekedar manusia biasa, karena mereka pikir mereka sendiri akan menjadi Anita.


Mereka harus dikubur di tempat-tempat yang diberi tanda oleh mereka sendiri, yang mudah ditemukan dan disembah di kejauhan. Misionaris mengalami kesulitan besar dalam memusnahkan kepercayaan mereka akan berhala-berhala dan dewa-dewa; namun orang India pedalaman, masih meneruskan kebiasaan pasing tabi sa nano, atau meminta ijin pada arwah nenek moyang mereka masuk hutan, gunung, atau ladang jagung, untuk berburu atau menanam; dan jika mereka menghilangkan upacara ini mereka membayangkan akan mandapatkan hukuman dari para nono mereka.


Keyakinan mereka tentang penciptaan alam semesta ini, dan sejarah terciptanya manusia, menggelikan dan berlebihan. Mereka percaya bahwa dunia ini pertama kali hanya terdiri dari langit dan air, dan di antara keduanya, ada sebuah makhluk yang bernama glede; yang, setelah terbang ke sana ke mari, dan tidak menemukan tempat hinggap untuk berisitirahat, kemudian dia mengatur sedemikian rupa agar air berbeda dengan langit, demi untuk mempertahankan batasnya dan agar air tidak terus-menerus meninggi, dia mengisi air tersebut dengan sejumlah pulau, di mana si glede bisa singgah dan kemudian meninggalkannya dengan tenang.


Manusia, menurut mereka, keluar dari sebuah tongkat yang besar yang terdiri dari dua buku yang terapung-apung di atas air, dan terombang-ambing oleh ombak hingga tersangkut di kaki si glede, ketika dia sedang duduk di pantai. Si glede kemudian membukanya dengan paruhnya, dan kemudian si laki-laki keluar dari buku yang satu, dan si wanita keluar dari buku yang lain. Mereka berdua kemudian kawin atas persetujuan Dewa, Batkala Meycapal, yang kemudian menyebabkan gempa bumi yang pertama; dan dari sanalah kemudian muncul berbagai negara di dunia ini.


comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger