Rumah Adat Lampung di TMII/andarlampung.wordpress.com/perihal/ |
Seumur hidup, meskipun sudah beberapa kali
pergi ke Jakarta, bahkan pernah tinggal di Jakarta selama satu tahun, baru
sekali saya mengunjungi Taman Mini Indonesia Indah (TMII), yaitu ketika saya
mendapat kesempatan mengikuti sebuah penataran di Jakarta tahun 2009. Waktu
itu, Juni 2009, saya mengikuti Penataran Guru Bahasa Inggris Vokasi se-Jawa dan
Sumatera yang diselenggarakan oleh PPPPTK Bahasa Jakarta. Tempat penataran di
kampus PPPPTK Bahasa, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan.
Maklum orang kampung. Tidak setahun sekali
kami ke Jakarta. Mungkin tidak juga sekali dalam sepuluh tahun. Bahkan ada di
antara kami yang seumur hidupnya tidak pernah pergi ke Jakarta. Tapi kalau
cerita-cerita tentang TMII sudah ribuan kali saya dengar, baik melalui mulut
teman-teman saya maupun melalui berita RRI atau TVRI, atau lewat surat kabar.
Dari cerita-cerita itulah saya tahu bahwa TMII adalah Taman Miniatur Indonesia
di mana kita dapat melihat Indonesia dalam bentuknya yang kecil, terutama dengan
adanya paviliun-paviliun yang masing-masing mewakili berbagai provinsi di
Indonesia.
Ketika saya kanak-kanak, saya mempunyai
seorang teman yang sering berkunjung ke Jakarta bersama keluarganya.
Waktu itu tahun 1985, gedung teater IMAX
Keong Emas baru didirikan, teman saya itu dengan menggebu-gebu menceritakan
pengalamannya menonton pertunjukan bioskop di sana. “Wow, rasanya seperti kita
mengalami langsung. Rasanya tidak seperti nonton film. Tapi seperti kita berada
di sana, di tempat kejadian langsung. Kalau adegan di air rasanya kita seperti
akan terciprat air beneran. Kalau adegan naik rollercoaster rasanya seperti melayang,...” katanya bersemangat.
Kami hanya terbengong-bengong mendengarkannya.
Selanjutnya tak banyak yang saya ketahui
tentang isi TMII, selain gambar-gambar rumah adat dari berbagai daerah yang
sering saya lihat dalam sampul buku, majalah, atau kalender.
Penataran berlangsung selama 20 hari. Hari
minggu libur. Kalau tidak salah ada 2 hari Minggu yang kami lalui di waktu itu.
Di hari Minggu yang pertama kami bersepakat mengunjungi TMII. Ada sekitar 30
orang dari berbagai provinsi di Jawa dan Sumatera yang ikut serta dalam rombongan kami. Kebanyakan
dari kami belum pernah mengunjungi TMII sebelumnya. Untuk itu kami mencarter sebuah bus.
Setibanya di TMII. Rombongan kami menyebar
dengan janji akan berkumpul kembali di tempat parkir bus. Dari tempat parkir
bus kami selanjutnya jalan kaki, menyebar, mengitari taman yang seluas itu.
Dulu saya kira TMII adalah sebuah taman yang kecil karena ‘mini’ berarti ‘kecil’.
Tapi ‘mini’ di sini sungguh bukan berarti kecil. Kami kelelahan berjalan
mengitari sebagian taman hingga kaki kami lecet.
Tapi sungguh, berjalan di TMII adalah sebuah rekeasi, dan sekaligus olahraga. Kalau Anda merasa sumpek setelah berminggu-minggu berada di Jakarta, cobalah jalan-jalan ke TMII.
Sambil berjalan kami bisa menikmati pemandangan kiri kanan yang semuanya menarik dan menyegarkan mata. Refreshing. Tidak adanya kendaraan yang melintas membuat suasana menjadi lebih segar. Sambil berjalan kami sempat menyaksikan Gedung Teater Keong Emas yang dulu heboh diceritakan oleh temanku itu, juga gedung-gedung lain yang bentuk-bentuknya menarik dan unik, yang kalau semuanya disinggahi tak akan cukup waktu sehari untuk mengitarinya.
Tapi sungguh, berjalan di TMII adalah sebuah rekeasi, dan sekaligus olahraga. Kalau Anda merasa sumpek setelah berminggu-minggu berada di Jakarta, cobalah jalan-jalan ke TMII.
Sambil berjalan kami bisa menikmati pemandangan kiri kanan yang semuanya menarik dan menyegarkan mata. Refreshing. Tidak adanya kendaraan yang melintas membuat suasana menjadi lebih segar. Sambil berjalan kami sempat menyaksikan Gedung Teater Keong Emas yang dulu heboh diceritakan oleh temanku itu, juga gedung-gedung lain yang bentuk-bentuknya menarik dan unik, yang kalau semuanya disinggahi tak akan cukup waktu sehari untuk mengitarinya.
“Wow.... Rasanya seperti dalam mimpi,” kata
salah seorang teman kami dari Jawa Timur. Seumur hidupnya, sama seperti saya,
dia juga baru pertama kali berkunjung ke TMII. Dia bahkan baru sekali itu ke
Jakarta.
Saya tak dapat memerinci tempat-tempat apa saja yang kami kunjungi ketika itu. Yang saya ingat kami memasuki sebuah gedung yang di dalamnya terdapat banyak sekali ikan besar dan kecil. Sepertinya gedung itu memang khusus tempat memelihara ikan. Ikan-ikan yangdikembangkan di sana adalah ikan air tawar seperti mujair, ikan mas, dan gurame, dan banyak pula ikan-ikan lain yang tak saya tahu namanya. Di antara ikan-ikan tersebut ada beberapa ekor yang tumbuh maksimal hingga mencapai panjang sekitar satu setengah meter, dengan berat puluhan kilogram. Sungguh, di alam bebas saya belum pernah melihat ikan air tawar sebesar itu. Di samping itu, ada pula ikan-ikan kecil dan ikan hias yang dikembangkan di dalam akuarium. Saya terkesan melihat ikan hias berwarna putih mulus yang cantik sedang berenang elegan di balik dinding kaca. Sama dengan ikan-ikan besar tersebut, saya pun belum pernah melihat ikan putih serupa ini di alam bebas.
Interior gedung ikan ini ditata sangat
menarik. Beberapa stand dalam gedung
ini dibentuk menyerupai kolam ikan alami dengan bebatuan, tumbuhan, dan kecipak
air mengalir melewati bebatuan tersebut sehingga menimbulkan suara yang alami
pula, membuat kita seolah-olah sedang berada di alam bebas. Ada pula disediakan
tempat duduk bagi pengunjung yang kelelahan.
Keluar dari gedung ikan kami mengunjungi stand hewan-hewan yang dikandangkan.
Yang masih saya ingat dan berkesan adalah ketika kami mengunjungi stand burung merak. Inilah pertama
kalinya saya melihat burung merak dengan mata kepala saya sendiri. Tapi sayang
kami tidak berhasil memprovokasi burung tersebut untuk mengembangkan ekornya hingga
membentuk kipas seperti yang sering terlihat dalam foto-foto vintage burung ini. Teman-teman bilang,
burung merak hanya akan mengembangkan ekornya bila diprovokasi. Tapi mungkin
burung itu tidak tertarik pada kami. Dia tidak memperhatikan kedatangan kami. Mungkin
pula dia hanya akan mengembangkan ekornya jika dia melihat burung merak lain,
lawan jenisnya.
wikipedia.org |
Gagal melihat burung merak beraksi, kami
melanjutkan perjalanan. Jalan kaki lagi. Entah rute mana yang kami tempuh. Yang
saya ingat kami berjalan melalui jalan beraspal, di samping sebuah kolam besar
yang di tengah-tengahnya terdapat miniatur dari pulau-pulau utama di Indonesia,
semacam kepulauan Indonesia mini, dengan air kolam berfungsi sebagai lautnya. Sama dengan di jalan yang kami lalui tadi, di sini pun tidak
ada kendaraan yang melintas. Mungkin jalan itu memang khusus untuk
jalan kaki. Cukup jauh juga kami berjalan hingga salah seorang teman perempuan
kami mencopot sepatu tingginya karena kelelahan. “lecet,” katanya. Kasihan
juga. Mungkin dia tidak pernah berjalan sejauh itu.
Tak berapa lama kemudian, kami tiba di
kompleks rumah-rumah adat. Dan, ups,
aku berseru dalam hati. Rumah adat Lampung! Tak salah lagi itulah rumah adat
Lampung setelah aku melihat plang nama rumah itu. Kalau tidak berhati-hati memang
bisa keliru juga mengingat rumah adat Lampung tidak jauh beda dengan
rumah-rumah adat Sumatera bagian selatan lainnya.
Belum pernah aku melihat rumah adat Lampung.
Meski aku orang Lampung yang tinggal di wilayah pelosok, tapi tidak ada rumah
adat di tempat kami. Yang ada hanya rumah-rumah tradisonal peninggalan jaman
lampau. Mungkin rumah adat itu sama dengan rumah tradisional. Entahlah.
Saya memutuskan untuk singgah. Beberapa
teman rombongan saya yang berasal dari provinsi lain mengikuti. Rupanya mereka
tertarik juga menyaksikan tumah adat Lampung. Tapi mungkin juga karena mereka
sudah terlalu lelah berjalan kaki. Mereka hanya mau beristirahat sambil melihat-lihat.
Sebagaimana dengan rumah-rumah adat
Sumatera lainnya, rumah adat Lampung juga berbentuk panggung, yang terdiri dari
tiang dan tangga terbuat dari kayu. Pada bagian depan terdapat ruang istirahat,
semacam balkon, tempat penghuni rumah duduk melepas lelah sambil memperhatikan
dunia luar.
Saya menaiki tangga, teman-teman saya
mengikuti dari belakang. Tidak aneh. Ini bukanlah pertama kalinya saya menaiki
tangga rumah tradisonal kami. Tapi berada di dalam sebuah rumah tradisonal di
tengah-tengah kota Jakarta, pusatnya ribuan bangunan pencakar langit, hotel,
dan aparteman mewah, ini adalah sebuah
keistimewaan. Di samping itu, saya penasaran ada apa di dalam rumah adat ini.
Isi rumah adat yang ada di TMII ini tentu tidak sama dengan rumah-rumah
tradisional kami di pedesaan karena rumah adat ini bukanlah rumah hunian tapi
hanya sekedar model. Di dalamnya tentu terdapat benda-benda adat pula yang
belum tentu dipunyai oleh rumah-rumah tradisonal sekarang.
Ada dua jenis rumah adat Lampung sesuai
dengan wilayah teritorialnya: rumah adat Lampung Pepadun dan rumah adat Lampung
Pesisir (Lampung Saibatin). Lampung Pepadun adalah Lampung pedalaman, sedangkan
Lampung Pesisir adalah Lampung bagian pinggir laut. Ada perbedaan adat dan tata
budaya yang cukup signifikan dari kedua sub-budaya ini. Pakaian Adat Pengantin
Lampung Pepadun berwarna dominan putih, sedangkan pakaian adat pengantin
Lampung Pesisir dominan merah. Tata cara upacara adat juga berbeda. Bahasa
kedua sub-budaya ini pun berbeda. Lampung Pepadun menggunakan dialek ‘o’,
sedangkan Lampung Pesisir menggunakan dialek ‘a’. Kedua bahasa ini tidak sama,
dan masyarakat dari kedua sub-budaya tersebut tidak saling memahami bahasa
masing-masing.
Tapi ada juga sebagian masyarakat adat
Lampung Pepadun yang menggunakan bahasa Lampung Pesisir.
Masyarakat adat Lampung Pesisir atau orang
Lampung Pesisir (Lampung Saibatin) tidak hanya tinggal di Lampung, tapi mereka
juga menyebar di beberapa wilayah Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Banten.
Sedangkan masyarakat adat Lampung Pepadun hanya tinggal di Lampung.
Kebetulan rumah adat Lampung yang ada di
TMII ini adalah rumah adat Lampung Pesisir, daerah saya. Tapi bukan berarti saya
tahu banyak tentang properti rumah adat ini, apalagi benda-benda adat kuno yang
sekarang sudah langka.
Setibanya di dalam, benar saja. Di dalam
rumah adat ini terdapat benda-benda dari kebudayaan kuno. Sebagian dari
benda-benda itu saya kenal, sedangkan sebagian lain saya tidak tahu karena saya
belum pernah melihatnya dalam kehidupan adat sehari-hari.
Peta Taman Mini/wikipedia.org |
Kalau saya tidak salah, di dalam rumah adat
ini terdapat, benda-benda adat khas Lampung Pesisir seperti kain tapis, pakaian
adat pengantin lengkap dengan siger-nya,
dan kain-kain lain yang saya lupa namanya. Di samping itu ada juga tempat
tidur, meja kursi, dan perabotan khas Lampung Pesisir. Ada juga alat-alat
pertanian dan alat menangkap ikan seperti bebalang,
bakul, bubu, dan lain-lain. Ada pula lesung
tempat menumbuk padi. Juga alat-alat perempuan seperti pengasan, dan alat-alat makan seperti piring-piring kuno.
Menurut pengurus rumah adat ini, yang saya
temui sedang bertugas waktu itu, tidak ada maksud membeda-bedakan antara
Lampung Pepadun dan Lampung Pesisir. Kebetulan yang memegang proyek pembangunan
rumah adat ini dahulu adalah orang Lampung Pesisir, jadi yang dibangun adalah rumah
adat Lampung pesisir, katanya. Kalau yang memegang pembangunan itu dahulu orang
Lampung Pepadun, tentu yang akan dia buat adalah rumah adat Lampung Pepadun. Sedangkan
dia sendiri adalah orang Lampung Pepadun. Tapi tidak ada kecemburuan tampak di
wajahnya. Dia menyambut setiap pengunjung dengan cerah ceria.
Usai mengunjungi stand Rumah Adat Lampung
kami masih sempat berkunjung ke keberapa rumah adat dari beberapa provinsi
lainnya. Kami juga sempat bertemu dengan rombongan anak sekolah dasar yang
diantar oleh guru mereka. Tampaknya mereka berasal dari wilayah sekitar Jakarta
saja.
Mengunjungi TMII memang bermanfaat untuk
menambah pengalaman dan sekaligus belajar, terutama pelajaran antropologi
budaya. Tidak heran banyak anak sekolah dari berbagai daerah yang berkunjung ke
sini. Paviliun-paviliun rumah adat dari berbagai provinsi adalah salah satu
yang paling berharga untuk dikunjungi. Kalau selama ini kita hanya bisa
melihat-lihat rumah adat dari daerah lain melalui gambar atau siaran televisi, di
TMII kita bisa menyaksikan yang sebenarnya. Kita bisa memasuki rumah-rumah
tersebut, melihat dan menyentuh benda-benda yang ada di dalamnya.
Sayang TMII, sejauh yang saya ketahui,
hanya membagi-bagi paviliun berdasarkan provinsi, bukan berdasarkan sub-subbudaya
yang ada di seluruh Indonesia, yang jumlahnya boleh jadi melebihi jumlah
provinsi di negeri kita ini. Masing-masing subbudaya tersebut biasanya
mempunyai rumah adatnya sendiri, seperti halnya provinsi Lampung yang saya
ceritakan di atas.
TMII semestinya menampung semua simbol-simbol
adat dan budaya negeri ini agar TMII bisa menjadi rujukan yang valid baik untuk
kunjungan budaya maupun penelitian.
Mengunjungi TMII adalah sebuah pengalaman
berharga bagi saya sebagai orang Lampung Pesisir. Entah bagi orang Lampung
Pepadun, atau orang-orang dari daerah lain.
0 comments:
Post a Comment