Pendidikan karakter didefinisikan sebagai usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan (habituation) yang baik sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak bersandarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya. Pendidikan Karakter harus selalu diajarkan, dijadikan kebiasaan, dilatih secara konsisten dan kemudian barulah menjadi karakter bagi peserta didik.
Guru sangat berperan dalam penguatan pendidikan karakter bagi anak didiknya, dimana guru harus mencontohkan apa yang disampaikan dan akan ditiru oleh anak didiknya (dikutip dari situs kemdikbud.go.id).
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pasal 1 ayat 1 yang menyebutkan bahwa guru harus dapat melaksanakan pembelajaran yang mengarahkan peserta didiknya secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan lainnya yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam Kurikulum Merdeka, Pendidikan karakter dimanifestasikan dalam penerapan nilai-nilai Pancasila, dengan harapan, di akhir masa pendidikan, para alumni sudah memiliki kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sesuai dengan jenjang satuan pendidikannya.
Namun, pada praktiknya di lapangan, di sekolah, apakah para insan pendidikan, terutama guru, dan peserta didik memahami, dan berusaha menerapkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, memiliki kekuatan spiritual keagamaan, mempunyai kemampuan mengendalikan diri yang baik, berakhlak mulia seperti yang kita harapkan? Jawabannya sudah kita ketahui bersama melaui sosial media.
Di media sosial, sehari-hari, kita sering menyaksikan anak-anak sekolah tawuran antargeng, melakukan perundungan terhadap teman sekolah mereka, bahkan terlibat dalam tindak pidana kriminal, dan para insan pendidik kewalahan mengatasi mereka. Jumlah kenakalan seperti ini bukannya berkurang, kalau tidak mau dikatakan meningkat, dibandingkan dengan zaman dahulu, ketika pendidikan karakter belum diperkenalkan di sekolah.
Hal ini terjadi tentu bukan karena para insan pendidikan, guru dan tenaga kependidikan tidak, atau belum, menerapkan pendidikan karakter seperti yang diharapkan oleh Pemerintah melalui Kementerian Pendidkan dan Kebudayaan, tapi, mungkin, karena mereka belum benar-benar memahami karakter yang baik, dan memberi contoh karakter yang baik yang patut diteladani oleh para peserta didik.
Dalam sebuah upacara bendera di satuan pendidikan, yang rutin dilaksanakan setiap Senin pagi, seekor kumbang terbang mengitari kepala para ibu guru yang sedang berbaris khidmat mengikuti jalannya upacara. Kehadiran kumbang yang berdengung-dengung di atas kepala tersebut tentu saja mengganggu ibu-ibu yang kepalanya dikitari oleh serangga hitam besar tersebut. Seorang ibu guru tampak ketakutan dan merundukkan kepala ketika sang kumbang hampir menyentuh jilbabnya. Ketika si guru hampir panik, dan berteriak, seorang siswi yang berada di dekatnya dengan tangkas melibas hewan tersebut hingga jatuh ke tanah. “Injak!” seru seorang guru yang lain. Si siswi, dengan tanpa ragu, menginjak dan melumat sang kumbang hingga mati dan hancur lebur.
Saya tidak ingin menggeneralisasi, tapi dalam kondisi seperti inilah pendidikan karakter itu berlangsung di sebagian satuan Pendidikan.
0 comments:
Post a Comment