Tepat 80 tahun yang lalu, kapitalisme internasional berada di ambang kehancuran.
Hancurnya sistem perbankan pada musim panas 1931 menimbulkan gelombang dahsyat di sepanjang Eropa, melumpuhkan pemerintahan negara-negara tersebut, dan ribuan orang turun ke jalan.
(Pictured: the Jarrow March) |
Di Amerika Serikat, seorang presiden yang semakin kelelahan dan para kritikus kongres bertikai sengit tentang anggaran belanja pemerintahan dan pajak.
Dan di Inggris, dengan pecahnya pemerintahan Buruh oleh krisis ekonomi, sebuah koalisi yang didominasi oleh partai Konservatif memberlakukan pemotongan anggaran belanja yang paling besar dalam satu generasi, memangkas tunjangan pegawai dalam usaha mereka untuk memulihkan kepercayaan keuangan negara tersebut.
Dengan bank-bank menolak memberi pinjaman, dan dengan jutaan orang kehilangan pekerjaan, kapitalisme itu sendiri tampaknya benar-benar terpuruk.
Di negara-negara lain, banyak orang berpaling ke kelompok ekstrem kanan (far Right), hingga Nazi dan para pengkikutnya semakin berkembang.
Di Inggris, satu generasi kaum intelektual berpaling dari kapitalisme, mengalihkan kepercayaan mereka pada idealisme utopia dari Komunisme Soviet dan menutup mata mereka akan horor-horor yang ditimbulkan oleh rejim Stalin yang barbarian.
Selama beberapa dekade kemudian momen yang luar biasa historis ini—ketika kapitalisme menjadi pecundang—dilupakan, dan tampak hanya merupakan sejarah masa lampau belaka.
Tapi dalam musim panas 2011, dengan chaos-nya zona Eropa (eurozone), stagnan-nya ekonomi Inggris dan lumpuhnya AS oleh utang, dengan mobilitas sosial yang lumpuh dan jutaan keluarga miskin tercekik hingga sulit bernapas, kapitalisme terasa begitu menjemukan.
Dalam dua hari terakhir ini saja, bursa saham di negara-negara kapitalis telah terjun bebas. Dan ketika para investor secara nyata kehilangan kepercayaan di Spanyol dan Itali, dua negara dengan ekonomi terbesar di Eropa, maka resesi dunia yang kedua yang menghancurkan bukannya tidak mungkin akan terjadi.
Meski penurunan harga saham saat ini masih belum mendekati keadaan seperti Runtuhnya Wall Street pada tahun 1929, kesulitan pasar minggu ini merupakan pengingat yang mengerikan akan rapuhnya sistem kapitalis.
Jika terjadi keadaan yang paling buruk, jika Spanyol dan Itali dan euro ambruk, maka ekonomi dunia benar-benar akan terpuruk.
Hanya 20 tahun lalu, negara-negara kapitalis Barat merayakan kejayaan mereka akan kemenangan dalam Perang Dingin. Tembok Berlin runtuh, Kerajaan Soviet pecah, dan kaum intelektual Amerika bahkan memproklamasikan apa yang mereka sebut sebagai ‘akhir sebuah sejarah’.
Marxisme mati dan kapitalisme berjaya, begitulah cerita yang kita dengar. Dengan telah membebaskan jutaan orang di Barat dari kemiskinan, membanjiri mereka dengan barang-barang dan kesempatan, maka pasar bebas tidak mungkin salah.
Sekarang, gambarannya sangat berbeda. Karena meski ekstrem Kiri tidak pernah pulih semenjak jatuhnya Uni Soviet, kapitalisme jarang mengalami kondisi yang mengenaskan.
Bob Diamond |
Dan dengan kenyataan bahwa para bankir masih mengantongi bonus yang luar biasa besar dan Eropa yang dilanda oleh gelombang kekerasan, bahkan kelompok Kanan kini mulai bertanya-tanya apakah sistem kapitalisme tersebut terlalu berpihak pada kaum elite metropolitan yang kaya.
Minggu lalu saja, sebagai contoh, anggota parlemen dari Partai Konservatif Douglas Carswell mengisyaratkan bahwa ‘pasar bebas terlalu sering berubah menjadi pasar yang sama sekali tidak bebas, tapi seorang korporat berpihak pada yang sedikit’.
Kaum konservatif modern, katanya, harusnya ‘curiga akan Bisnis dan Perusahaan Besar sebagaimana kita curiga pada Pemerintahan yang Besar’.
Di permukaan, hal ini boleh jadi mengejutkan. Namun jika Anda gali sedikit lebih dalam, tidaklah sulit melihat mengapa begitu banyak orang kehilangan kepercayaan akan pasar bebas.
Keseluruhan premis dari sistem kapitalis adalah bahwa, dalam sebuah pasar bebas, siapa yang bekerja keras akan mendapatkan hasilnya. Bagi kaum kapitalis, yang penting adalah kesamaan kesempatan. Jika Anda melakukan usaha, maka Anda bisa menjadi apa saja yang Anda inginkan, siapapun Anda.
Hingga ketika Margaret Thatcher, salah satu tokoh kapitalisme yang paling menggebu-gebu, mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin Partai Konservatif pada tahun 1975, dia menggambarkan gagasannya sebagai sebuah ‘anjuran akan keanekaragaman dan pilihan individu, cikal bakal dari insentif yang adil dan penghargaan bagi kerja keras dan skill, dan sebuah kepercayaan akan distribusi yang meluas akan harta benda individu’.
Dan ketika dia menuju Downing Street empat tahun kemudian, dia berjanji untuk meyakinkan bahwa ‘kerja keras itu akan berhasil’.
Tapi Anda tidak perlu menjadi anggota kelompok sayab kiri yang membawa-bawa kartu jatah makanan untuk mengetahui mengapa jutaan orang—bukan hanya di Inggris tapi juga di seluruh dunia—merasa tertipu mentah-mentah oleh kapitalisme.
Jika kita renungkan betapa bejibunnya harta para bankir, sebagai contoh, maka berbicara tentang ‘insentif dan rewards yang adil’ tampak merupakan sebuah lelucon yang memuakkan.
Di setiap sudut Eropa, keluarga-keluarga yang jelata, yang bukan sama sekali karena kesalahan mereka, kini harus membayar harga yang tak kepalang besar untuk membayar ketamakan kaum elite finansial ini.
Data terakhir menunjukkan bahwa bonus-bonus yang diberikan the City kepada kaum eksekutif mencapai angka yang mencengangkan, yaitu £14 miliar untuk tahun lalu saja, di mana seorang eksekutif saja, boss-nya Barclays, Bob Diamond, berhasil mengantongi jumlah yang fantastis, yaitu £6.5 juta—dan itu di luar paket gajinya yang sebesar £8 juta per tahun.
Namun pada saat yang sama, bank-bank menolak memberi pinjaman pada keluarga rakyat jelata dan usaha kecil.
Sebenarnyalah, bulan lalu bank-bank tersebut berhasil mengumpulkan deposito sebanyak £3 miliar lebih besar dari yang mereka pinjamkan, inilah sebabnya mengapa pertumbuhan pada hakikatnya menjadi non-existent.
‘Tidak heran jika pertumbuhan ekonomi bisa terlihat dengan mata telanjang,’ kata mantan juru bicara Treasury dari Coalition, Lord Oakeshott, ‘karena bank-bank terus menghisap uang miliaran dari perkonomian.’
Bank-bank tersebut, secara kebetulan, adalah bank-bank yang sama, seperti RBS dan HBOS, sehingga para pembayar pajak Inggris harus menghemat sebagai konsekuensi dari kerakusan mereka sendiri.
Tiga tahun lalu, Pemerintah membelanjakan £500 miliar untuk mem-bail out sistem perbankan yang kolaps. Dan sekarang, ketika para bankir sedang melakukan pesta minum champagne yang terbaik, kita sedang tercekik oleh tagihan.
Tapi keserakahan para bankir tersebut hanyalah salah satu simptom dari penyakit yang lebih besar. Kebenaran yang terang benderang adalah bahwa jutaan keluarga jelata merasa sistem kapitalisme tersebut tidak memberi mereka kesempatan untuk sukses.
Faktanya jelas tak terjawab. Seorang bocah yang dilahirkan pada tahun 1971 mempunyai kesempatan yang lebih kecil untuk naik ke jenjang sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lahir pada tahun 1951.
Di atas semua itu, kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin telah tumbuh secara meyakinkan sejak 1970-an, dengan sebagian peningkatan terbesar terjadi selama rejim Partai Buruh Baru yang berlangsung selama 13 tahun.
Setengah abad lalu, selama tahun Limapuluhan dan Enampuluhan, sekolah menengah, kesempatan kerja di perusahaan dan tunjangan kematian cukup menunjukkan bahwa anak-anak kelas pekerja merasa mempunyai kesempatan yang cukup untuk naik kelas.
Dan dengan cara yang berbeda-beda, sekolah negeri yang mendidik perdana menteri seperti Harold Wilson, Ted Heath, Jim Callaghan, Margaret Thatcher dan Jon Major memberi kesan bahwa siapa saja bisa sukses, apapun latar belakang mereka.
Bahkan pada tahun 1931, selama terjadinya krisis kapitalisme besar yang terakhir, Inggris diperintah oleh perdana menteri, Ramsay McDonald, yang merupakan anak tidak sah dari seorang buruh bangsa Skotlandia dan seorang pembantu rumah tangga yang miskin. Pada saat ketika masih mudah membayangkan kekuasaan menjadi milik ekslusif kaum kaya, MacDonald merupakan sebuah contoh mobilitas sosial yang kemilau.
Tidak ada yang bisa melihat ke para pemimpin kita dan menarik kesimpulan yang sama saat ini. Mulai dari Cameron, Clegg dan Osborne—yang merupakan putra seorang pialang miliuner, seorang bankir dan pewaris sebuah gelar baron—hingga Ed Miliband dan Ed Balls, yang satu adalah putera dari cendekiawan London Utara, yang satu lagi adalah anak seorang profesor yang dididik secara privat, politik Inggris telah menjadi alat permainan dari segelintir kaum elite yang mementingkan diri sendiri, yang sama sekali tidak tersentuh oleh keluarga jelata.
Melihat kelas politik kita, kita bisa mulai curiga bahwa kapitalisme modern sarat muatan kepentingan mereka yang telah menikmati kekayaan dan kekuasaan. Dia telah menjadi sebuah sistem tertutup, yang tidak mungkin ditembus kecuali jika Anda benar-benar beruntung. Fakta-fakta lain mengandung cerita yang kurang lebih sama.
Seperti yang ditunjukkan menteri dari Partai konservatif, David Willet dalam sebuah buku yang provokatif tahun lalu, kaum muda Inggris kini sedang terlepas dari kontrolnya. Sebagiannya karena kompetisi yang ketat dari kaum imigran Eropa Timur, para pekerja usia 20-an sekarang berpenghasilan jauh lebih kecil daripada orang tua mereka dahulu dalam usia yang sama.
Dan dengan melonjaknya harga rumah dan bank-bank menolak memberi pinjaman, mereka merasa semakin mustahil untuk meningkatkan jenjang status sosial mereka.
Sebagai hasilnya, mimpi lama kaum Konservatif akan sebuah ‘demokrasi pemilikan harta’ (property-owning democracy) semakin jauh panggang dari api.
Kebanyakan ahli mengetahui bahwa kepemilikan rumah merupakan salah satu kunci menuju masyarakat yang stabil, makmur, bekerja keras—namun sejak tahun 1997, pemilikan rumah di antara orang-orang berusia 20-an terus menurun secara meyakinkan.
Tentu saja ada masa ketika pendidikan menawarkan sesuatu yang menjanjikan: tapi masa itu kini hanya tinggal kenangan. Berkat penghapusan sekolah menengah (grammar school) yang tidak bisa dimaafkan, kesenjangan antara pendidikan swasta dan negeri telah menjadi sebuah jurang yang terjal.
Dalam sebuah negara yang mengklaim menghargai persaingan, adalah memalukan bahwa sekolah swasta kita yang mahal—Eton, Westtminster, StPaul’s, StPaul’s Girls—berhasil mengirim lulusannya memasuki Oxford dan Cambridge sama banyaknya dengan jumlah lulusan dari 2.000 sekolah negeri jika digabungkan.
Sementara, reformasi pendidikan yang dijalankan Pemerintah berarti bahwa anak-anak kelas para pekerja diharuskan membayar utang biaya kuliah sebanyak £9,000 setahun jika mereka memilih melanjutkan ke universitas.
Dan hal ini, tentu saja, terjadi ketika para petinggi universitas yang makmur itu, yang telah dianugerahi gelar sebagai warga negara terbaik dan mendapat penghasilan yang tak terhingga, mendapatkan bayaran masing-masing rata-rata lebih dari £220,000.
Dalam liburan di Tuscany —sebuah liburan yang tentu saja di luar jangkauan kebanyakan keluarga Inggris—mungkin David Cameron seharusnya meluangkan waktunya di sore hari membaca buku karangan pendahulunya yang merupakan tokoh besar, Benjamin Disraeli yang berjudul, Sybil.
Dalam buku ini, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1845, negarawan terbesar dari Partai Konservatif dari jaman Victoria ini mengingatkan bahwa Inggris pernah menjadi ‘dua negara … yang saling tidak mempedulikan kebiasaan dan pikiran masing-masing, dan merasa seolah-olah mereka berada di wilayah yang berbeda, atau menghuni planet yang berbeda pula; yang terbentuk oleh pembibitan yang berbeda, diberi makan makanan yang berbeda, diperintah dengan cara yang berbeda, dan tidak diperintah berdasarkan hukum yang sama: si kaya dan si miskin’.
Disraeli bukanlah seorang sosialis. Tapi sebagai seorang outsider, yang lahir dari keluarga Yahudi, dia mengakui bahwa kapitalsime hanya bisa mengambil hati dan pikiran masyarakat jika dia bisa memberi mereka sahamnya masing-masing.
Pada dasarnya, kapitalisme merupakan sebuh perusahaan moral (moral enterprise) dan sekaligus merupakan perusahaan ekonomi (economic enterprise). Jika mereka yang tergolong berhasil secara ekonomi mengabaikan nilai-nilai penghematan (thrift), disiplin pribadi (self-discipline) dan ketenangan (sobriety), dan juga kewajiban moral untuk membantu yang lemah, maka kapitalisme akan menjelma menjadi kronisme dan kepentingan pribadi (self-interest).
Pada bagian terbaiknya, pasar bebas adalah merupakan kekuatan pembebas yang maha besar. Selama tahun Limapuluhan dan Enampuluhan, kapitalisme memberi jutaan orang kesempatan yang oleh orang tua mereka dianggap hanya angan-angan: masa kanak-kanak yang menyenangkan, sekolah-sekolah yang baik, pekerjaan yang berupah tinggi dan jaminan masa pensiun yang memuaskan.
David Cameron |
Tapi ketika kapitalisme gagal, sebagaimana pada tahun 1930-an, kemudian menyebabkan ekstremisme tumbuh subur. Selama dekade yang tidak menyenangkan itu, sebagian orang terbuai oleh janji-janji palsu Rusia yang menganut paham Stalinisme; yang lain terbawa oleh panji-panji kelompok ekstrem kanan yang berlumuran darah.
Delapan tahun berlalu, kapitalisme kembali kehilangan arah. Dengan jutaan orang merasa tertipu oleh sekolah yang mereka masuki, tidak diterima dalam pasar kerja, dilupakan oleh bank, dan diabaikan oleh para politisi, Inggris berada dalam ambang bahaya terpecah menjadi dua negara lagi.
Kapitalisme modern bukannya tidak ada harapan lagi. Tapi dia sangat perlu menemukan kembali dimensi moralnya, yang hilang di tengah-tengah kemelut untuk melindungi hak-hak istimewa sekelompok kecil elite.
Sudah saatnya politisi kita menindak para miliarder yang tidak berdomisili, dan saatnya mereka memastikan bahwa kelompok elite kaya membayar kewajiban mereka dalam pajak nasional kita.
Dan jika David Cameron benar-benar ingin menghidupkan kembali kepercayaan rakyat Inggris akan sistem kapitalisme, maka dia harus melangkah lebih jauh. Dia harus memaksa bank-bank untuk meminjamkan lebih banyak uang kepada perseorangan dan usaha kecil, untuk membuat perekonomian kita bergerak lagi.
Dia harus mengembalikan budaya kompetisi dan keunggulan pada sekolah-seolah kita, memberi anak-anak rakyat kelas pekerja rasa percaya diri bahwa mereka bisa meningkatkan status sosial mereka.
Dan dia harus memprioritaskan untuk menyediakan lapangan kerja yang real dalam sektor bisnis yang real, menghidupkan kembali sektor manufaktur yang telah lama diabaikan.
Taruhannyanya boleh jadi tidak lebih tinggi. Kecuali jika kapitalisme membuka diri terhadap rakyat jelata, maka seluruh generasi akan menganggap kapitalisme tidaklah lebih dari sekedar sebuah kamuflase untuk melindungi orang-orang yang super-kaya.
Dan itu akan menjadi sebuah tragedi. Karena di balik semua kelemahan kapitalisme—di balik kekurangannya, kesenjangan dan kemunafikannya yang merupakan bagian yang tak terhindari dari setiap usaha manusia—kapitalisme tetap menjadi satu-satunya cara untuk mempromosikan kesempatan kerja yang real dan berjangka panjang.
Sistem-sistem yang lain telah pula dicoba, dan terbukti hancur berkeping-keping, meninggalkan puing-puing yang berlumuran darah. Hanya kapitalisme—pertukaran barang, skills, layanan jasa, dan ide-ide secara bebas—yang telah terbukti bisa diterima menurut instink manusia.
Sekarang ini, kita hanya bisa berharap bahwa para pendukung kapitalisme belajar dari sejarah.
Karena jika mereka gagal, maka hasilnya akan menjadi mengerikan.
0 comments:
Post a Comment