'Wanita Lubang Buaya', Sebuah Paradoks


* wanita kamu harus tahu
mengapa lelaki buaya
mau tahu jawabannya
wanita punya lubang buaya
** wanita kamu harus bisa
ingatkan pesan orang tua
jangan sampai dekat buaya
nanti kamu jadi korbannya
reff:
memang wanita dia punya lubang buaya
wajar saja lelaki mau menggodanya
memang wanita punya satu lubang buaya
walau satu tapi itu sangat berharga

Pernahkah Anda mendengar lagu di atas? Kalau Anda pernah mendengarnya, apa pendapat Anda tentang lagu tersebut? Judul lagu di atas adalah “Wanita Lubang Buaya”.

Saya heran dan tidak habis pikir mengapa lagu seperti itu bisa tercipta. Sudah sedemikian dangkalkah daya cipta seorang seniman lagu sehingga menciptakan syair yang demikian vulgar. Setan apakah yang merasuki sang pencipta sehingga menciptakan lagu yang sedemikian? Dan setan apa pulakah yang merasuki para penggemar lagu tersebut sehingga menyanyikannya dengan anteng, dengan biasa saja, seolah tidak ada yang tidak beres.

Jangan-jangan pencipta dan artis yang menyanyikan lagu tersebut mengalami depresi berat akibat kalah bersaing dalam industri hiburan, sehingga mereka menciptakan lagu tersebut untuk mencari sensasi dan perhatian, sebagai batu loncatan untuk meraih sukses berikutnya. Kalau ini masalahnya, maka si pencipta lagu dan artis penyanyi tersebut harus berkonsultasi dengan ahli jiwa.

Yang lebih mengherankan lagi, ternyata lagu tersebut banyak digemari anak-anak sekolah, dan mereka menyanyikannya dengan tanpa beban, tidak dengan sembunyi-sembunyi, sama dengan menyanyikan lagu-lagu pop lain.

Dan yang lebih mengherankan lagi, ternyata lagu tersebut dinyanyikan pula di sekolah, di atas panggung. Ini saya saksikan sendiri ketika menghadiri sebuah acara yang diselenggarakan oleh sebuah sekolah. Ketika diberi kesempatan naik ke atas panggung untuk menyanyikan sebuah lagu, mewakili sekolah mereka, segerombolan siswa-siswi salah satu sekolah di Lampung Barat, langsung naik memenuhi panggung. Salah seorang di antara mereka, perempuan, menyanyikan lagu tersebut dengan sangat bergairah, sedangkan gerombolan teman-temannya berjingkrak-jingkrak di atas panggung mengiringi.

Tidak ada guru yang protes, atau tidak berani, karena sesi tersebut memang dikhususkan untuk murid-murid. Tapi saya tidak tahu bagaimana perasaan guru-guru dan tenaga pendidikan lainnya ketika mendengar lagu tersebut dinyanyikan.

Gejala apakah ini yang sedang terjadi. Sudah demikian bejatkah moral generasi muda kita. Sudah demikian permisifkah para orang tua sehingga membiarkan anak-anak mereka menyanyikan lagu-lagu cabul di tempat umum, dan kadang disertai goyangan yang cabul pula. Dan pemerintah, mengapa pemerintah diam saja tanpa berbuat suatu apa

Lagu dengan syair yang vulgar “Wanita Lubang Buaya” ini bukanlah yang pertama. Dari dulu-dulu juga sudah ada lagu-lagu seperti ini. Ingat lagu-lagu Doel Sumbang tahun 80-an yang sempat dicekal oleh pemerintah karena syairnya yang vulgar dan tidak mengandung nilai pendidikan apa-apa. Akhirnya, oleh pemerintah, lagu tersebut tidak diijinkan beredar di masyarakat.

Tapi kini lain. Lagu apa saja bisa beredar dengan bebas sekarang ini, baik lagu yang isinya mencaci maki, mengandung unsur SARA, maupun lagu-lagu porno semacam ‘Wanita Lubang Buaya” ini.    

Heran. Mengapa pemerintah membiarkan saja hal ini berlangsung. Apakah pemerintah memandang hal ini sebagai bagian dari kebebasan berekspresi semata yang harus dihormati, sesuai dengan amanat reformasi. Kalau demikian, bukankah kebebasan bereskpresi juga harus mengenal batas. Bukankah reformasi juga mengenal batas-batas. Dan batas-batas itu sudah ditetapkan adanya. Ada batas-batas moral dan norma yang sudah kita sepakati bersama sebagai acuan kita dalam bertindak sehari-hari. Ada batas-batas formal, yaitu Undang-Undang.

Sebagai konsekuensinya, dulu majalah Playboy versi Indonesia dibredel dan tidak diijinkan terbit lagi. Tapi mengapa kini lagu porno seperti ‘Wanita Lubang Buaya” ini dibiarkan beredar bebas. Apakah pemerintah mendua dalam hal ini. Ataukah pemerintah menunggu reaksi yang keras dari masyarakat, seperti reaksi penolakan majalah Playboy dahulu, sebelum bertindak. Sangat disayangkan jika pemerintah hanya bertindak setelah timbul reaksi besar di tengah-tengah masyarakat. Pemerintah hendaknya berfungsi pula sebagai penyuluh dan penerang masyarakat, bukan sekedar menampung keluhan masyarakat.

Keadaan seperti ini seolah-olah mempertegas sinyalemen bahwa kita sekarang hidup di tengah-tengah paradoks. Di satu sisi kita berteriak-teriak hendak memberantas korupsi, tetapi di sisi lain kita membiarkan korupsi berlangsung, dan malah mendukung korupsi, dengan meneruskan kebiasaan main suap, misalnya. Dan lagu “Wanita Lubang Buaya” ini adalah sebuah paradoks yang lain. Di satu sisi kita ingin memberantas pornografi, dan menerbitkan undang-undang anti pornografi untuk itu, tetapi, di sisi lain, kita membiarkan lagu-lagu porno seperti “Wanita Lubang Buaya” ini beredar dengan bebas. Wallahu’alam….

comment 1 comments:

Unknown on February 2, 2018 at 6:55 AM said...

Mungkin ini yang disebut dengan kebebasan ber-ekspresi ala demokrasi.

Semoga saja pihak-pihak terkait pisa lebih jeli dalam hal ini.

Hmmm, maksud hati mencari artikel tentang "melongok penangkaran buaya" tapi ketemunya malah "wanita lubang buaya" hehehe....

Salam kenal dari saya dan sebuah kehormatan bagi saya jika agan mau berkunjung ke blog saya

Wajib Tau, Bukit Baper Destinasi Wisata Baru di mBrebes

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger