Gambar ini menunjukkan
sebuah keadaan dari dekat
sekitar wilayah kutub selatan dari bulan Saturnus yang terbesar, Titan, dan menjunjukkan sebuah depresi di dalam lapisan-lapisan buram berwarna oranye dan biru dari Titan di dekat kutub selatan. Pesawat ruang angkasa NASA Cassini menjepret gambar ini pada tanggal 11 September, 2011 dan dirilis pada tanggal 22 Desember. CREDIT: NASA/JPL-Caltech/Space Science Institute |
Titan adalah bulan Saturnus yang terbesar,
dan merupakan satu-satunya bulan yang dikenal mempunyai atmosfer yang padat. Namun
diperlukan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana atmosfer Titan yang
kelam pekat itu bekerja sehingga bisa memancarkan cahaya yang serupa dengan cahaya
yang ditemukan oleh para ilmuwan di planet-planet dan bulan-bulan yang lain.
Akan tetapi, konflik tentang detil-detil bagaimana atmosfer Titan itu terbentuk
telah muncul sejak bertahun-tahun lampau.
Lapisan paling bawah dari semua atmosfer, yang
dikenal sebagai lapisan paling luar dari atmosfer tersebut (boundary layer-nya), paling banyak
dipengaruhi oleh permukaan sebuah planet atau bulan. Dan pada gilirannya,
lapisan paling bawah tersebut akan memberi pengaruh paling besar terhadap terbentuknya
awan dan angin pada permukaan planet atau bulan tersebut, di samping pengaruh
dari gundukan pasir berbentuk pahatan.
“Lapisan ini sangat penting bagi cuaca dan
iklim—kita hidup dalam lapisan luar terrestrial (terrestrial boundary layer) ini,” kata penulis utama dalam penelitian
tersebut Benjamin Charnay, seorang ilmuwan planet pada Pusat Riset Sains
Perancis.
Lapisan luar Bumi (Earth’s boundary layer), yang tebalnya antara 1.650 kaki hingga 1,8
mil (500 meter hingga 3 km), sebagian besar dipengaruhi oleh panas matahari
yang memanasi permukaan planet tersebut. Karena Titan berada lebih jauh dari Matahari dibandingkan dengan Bumi,
maka lapisan luarnya (boundary layer-nya)
bertingkah laku cukup berbeda daripada lapisan luar Bumi, namun masih banyak
yang tidak pasti tentang hal ini—atmosfer Titan tebal dan buram, sehingga
membingungkan kita untuk memahami lapisan-lapisan bawahnya. [Amazing Photos of Titan]
Sebagai contoh, meski pesawat ruang angkasa
Voyager 1 mengisyaratkan bahwa tebal lapisan luar Titan adalah sekitar 2 mil
(3,5 km), namun pesawat ruang angkasa Huygens yang telah menembus atmosfer
Titan memberi kesaksian bahwa tebalnya hanya sekitar 1.000 kaki (300 m).
Untuk membantu memecahkan misteri atmosfer Titan
ini, para ilmuwan telah mengembangkan sebuah model iklim 3D tentang bagaimana
atmosfer tersebut merespon panas matahari selama ini.
“Implikasi Yang paling penting dari temuan-temuan
ini adalah bahwa keadaan Titan tampaknya lebih menyerupai Bumi daripada yang
pernah kita perkirakan,” kata Charnay pada SPACE.com.
Simulasi mereka mengungkap bahwa atmosfer bawah
Titan ternyata terpisah menjadi dua lapisan yang keduanya berbeda dari atmosfer
bagian atas dalam hal temperatur. Lapisan luar yang paling bawah ternyata
dangkal, dengan kedalaman hanya sekitar 2.600 kaki (800 meter) dan, seperti
halnya atmosfer Bumi, berubah setiap hari. Lapisan atasnya, yang dalamnya
sekitar 1,2 mil (2 km), berubah secara musiman.
Eksistensi dari dua lapisan atmosfer bawah ini
yang masing-masing memberi respon terhadap perubahan-perubahan dalam hal
temperatur telah membantu menyatukan kembali hasil-hasil temuan terdahulu yang
terpisah-pisah tentang lapisan luar Titan ini,” diharapkan tidak ada lagi
observasi yang bisa menimbulkan konflik,” kata Charnay.
Hasil penelitian terbaru ini membantu menjelaskan
angin pada Titan yang diukur dengan pesawat ruang angkasa Huygens, dan juga ruang
yang tampak antara gundukan-gundukan pasir raksasa pada ekuator Titan. “Temuan terbaru ini juga bisa
menjelaskan terbentuknya formasi lapisan
luar yang terdiri dari awan metan (methane)
pada Titan,” kata Chanay. Awan metan tersebut tampaknya sudah pernah terlihat
tapi tidak ada yang bisa menjelaskan.
Di masa yang akan datang, Charnay dan para
koleganya akan meneliti bagaimana methane
pada Titan bergerak dalam sebuah siklus dari danau dan laut permukaan
menuju awan atmosfer, seperti gerak air di Bumi.
“Model-model 3D tersebut akan sangat berguna di
masa yang akan datang untuk menjelaskan data yang akan kita dapat mengenai atmosfer-atmosfer
eksoplanet,” kata Charnay.
Charnay dan koleganya Sébastien Lebonnois merinci
hasil temuan mereka tersebut dalam jurnal Nature
Geoscience, terbitan tanggal 15 Januari kemarin. (Charles Q. Choi,
SPACE.com contributor)
This article was provided by SPACE.com,
a sister site to LiveScience. Follow
SPACE.com for the latest in space science and exploration news on Twitter @Spacedotcom and on Facebook.
0 comments:
Post a Comment