Semenjak mendapati dengan mata kepala sendiri bahwa Irwan
telah mengkhianatinya, Taya langsung memutuskan hubungan dengan pemuda itu.
Bukan hanya putus hubungan perkasihan, Taya ingin memutuskan segalanya dan
tidak bisa ditawar-tawar lagi. Taya memutuskan untuk tidak bertemu lagi dengan
laki-laki itu, dalam situasi apapun. Dia juga memutuskan untuk tidak berbicara
tentang laki-laki itu sepatahpun. Dia juga memutuskan untuk tidak akan pernah
bertanya tentang laki-laki itu sampai kapanpun. Dan yang agak sulit, dia
memutuskan untuk tidak mendengar berita apapun tentang laki-laki itu, di
manapun, kapanpun, dari manapun.
Pengkhianatan itu benar-benar menyakitkan. Taya mencintai
Irwan sepenuh hati, bahkan mungkin melebihi cintanya akan segalanya. Begitu
berartinya Irwan. Begitu istimewanya laki-laki itu sehingga dia menempatkannya di
tempat yang sangat-sangat istimewa di hatinya.
Irwan memang tampan, nyaris sempurna, malah. Dia adalah tipe
pemuda yang jadi rebutan. Dan memanglah banyak yang memperebutkannya. Dari
semula juga Taya kurang yakin kalau Irwan mencintainya dengan sepenuh hati.
Meski dirinya juga cantik, namun bukan tidak mungkin di luar sana ada yang lebih cantik dari dirinya. Dan
ini menjadi kekhawatiran yang menghantui dirinya setiap saat selama menjalin
hubungan kasih dengan laki-laki itu.
Seumur hidup Taya, Irwan adalah salah satu pemuda yang
paling tampan dan paling menawan di hatinya. Tapi inilah kelemahannya jatuh
cinta dengan pemuda tampan, pikiran tidak tenang, cemburu menggebu-gebu hingga
kadang-kadang di luar kendali. Dan Taya sudah menyadari hal ini sepenuhnya.
Sewaktu-waktu Irwan akan direbut wanita lain. Itu pasti pikir Taya. Dan dia
adalah tipe wanita yang tidak bisa berbagi kekasih. Tidak mungkin. Dan dia juga
bukan tipe wanita yang sedia berkelahi untuk memperebutkan laki-laki. Tidak
akan pernah. Dan dia hanya menunggu saat itu tiba.
Selama hubungannya dengan pemuda itu—yang hanya bertahan
kurang dari enam bulan—Taya memang sengaja tidak menyinggung-nyinggung masalah
perkawinan, meski dia mengharapkannya. Dia menunggu perkataan itu datang dari
Irwan. Tapi Irwan tidak pernah mengatakannya. Mungkin dia belum mau buru-buru
menikah. Usianya juga masih muda, belum cukup untuk dikatakan telat, meski dia
sudah bekerja.Tapi mungkin juga dia tidak mau menikah dengan saya, pikir Taya. Dan
pikiran itulah yang selalu menghantuinya dan sekaligus menjadi kekuatannya
untuk melawan pemuda itu, meski setahunya, Irwan tidak mempunyai kekasih lain—satu
hal yang sulit dipercaya.
Dan ketika saat itu tiba, ketika Taya memergoki Irwan tengah
berdua dengan seorang gadis lain, Taya panik. Itu adalah pemandangan yang
paling tidak ingin dia lihat, yang paling tidak ingin dia dengar, dan paling
tidak ingin dia ketahui. Kejadian seperti itu adalah neraka baginya. Dan dia
sudah masuk beberapa neraka seperti itu sebelumnya. Maka tidak ada kata lain
selain putus. Putus tanpa syarat. Dan dia tidak ingin mendengar penjelasan
apapun dari pemuda itu.
Dari semula dia sudah ragu apakah Irwan bisa membahagiakan
dirinya. Dia juga ragu apakah Irwan adalah lelaki yang dicarinya selama ini.
Dia ragu apakah laki-laki itu tidak akan memberinya neraka yang lain. Tapi dia
tidak kuasa menolak rasa itu. Cinta benar-benar di luar kendalinya.
“Kalau tidak mengingat pekerjaan dan keluarga, saya pasti
sudah kabur, pergi dari sini. Ke mana saja. Ke tempat yang tidak mungkin saya bisa
bertemu dengannya. Ke tempat yang tidak ada bayang-bayangnya meski seonggok. Ke
tempat di mana saya bisa membencinya,” kata Taya suatu ketika, berusaha
menyembunyikan airmatanya.
Dari luar Taya kelihatan biasa-biasa saja. Seperti tidak ada
yang kurang daripadanya. Tapi dalam hatinya jangan ditanya. Untunglah dia sudah
sering mengalami patah hati, sehingga dia sudah cukup pandai berkamuflase,
merasa seolah-olah biasa padahal di dalam hatinya hancur binasa. Bahkan menangispun
kini dia tak sanggup lagi.
Tapi apa daya, pekerjaan dan keluarga membuatnya tidak
mungkin pergi. Lagi pula dia tidak mau dikatakan perempuan cengeng. Dia mau
jadi perempuan tegar. Perempuan yang tidak kenal patah hati. Perempuan yang
selalu bisa bangkit dari kedukaan. Perempuan yang bukan anak kemaren Biarlah saya tetap di sini, katanya dalam hati.
Biarlah bayang-bayang laki-laki itu tetap datang dan pergi.
Dan ketika teman-temannya menyebut nama Irwan, Taya memilih
bungkam dan berlalu. Dia tidak ingin mendengar berita apapun tentang laki-laki
itu. Ketika tidak sengaja bertemu dengannya, Taya berpura-pura tidak melihat,
bersikap biasa. Untunglah dia tidak pernah bertemu secara berhadapan, in person, di mana ada kemungkinan besar
laki-laki itu akan menyapanya. Pertemuan sekilas yang beberapa kali terjadi itu
hanya berpapasan sepedamotor dengan arah yang berlawanan, di tempat yang ramai,
sehingga tidak memungkinkan laki-laki itu berbelok menghampirinya. Jarak
rumahnya dengan rumah Irwan memang lumayan jauh, sekitar 12 km, sebuah jarak
yang tidak memungkinkan dua orang sering bertemu, kecuali direncanakan. Dan
ketika salah satunya menghindar—apalagi jika dua-duanya menghindar—maka
pertemuan tambah jarang terjadi.
Dan jika ada yang menanyakan hubungannya dengan Irwan, Taya
memilih tidak menjawab, mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Baginya Irwan
adalah sebuah kebencian, sebuah puncak dari segala kejengkelan, sebuah penyakit
yang mesti dienyahkan. Tidak akan ada lagi laki-laki itu dalam bukunya. Tidak
akan ada lagi. Apapun yang akan terjadi.
Tapi ternyata tak semudah itu melupakan Irwan. Laki-laki itu
belum menjadi masa lalu, belum lenyap sama sekali, karena dia masih tinggal di sana , di kotanya yang
telah membesarkannya. Taya banyak mendengar dan melihat, di fim-film, dalam
cerita-cerita, juga dalam kehidupannya sehari-hari, banyak orang yang pergi ke kota lain untuk melupakan
kekasih hatinya, atau bunuh diri, tapi Taya tidak bisa pergi, dan bunuh diri
dia tak berani. Terjadilah apa yang akan terjadi, kata Taya dalam hati.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun pun satu
demi satu berlalu, tapi Taya masih sendiri, begitu pun dengan Irwan. Tapi
keduanya tidak pernah membuat kesepakatan untuk tetap sendiri, hanya kebetulan
saja. Kebetulan dirinya belum bertemu jodoh, kebetulan Irwan juga belum. Hanya
bedanya, Irwan selalu berpindah dari hati yang satu ke hati yang lain, bahkan
dari beberapa hati yang satu ke beberapa hati yang lain dalam waktu yang
bersamaan, sedangkan Taya hanya menunggu, entah siapa yang dia tunggu.
Taya sempat mendengar para kekasih Irwan berantem satu sama
lain, apalagi kalau bukan karena memperebutkan dirinya. Mungkin kalau dia tetap
menjadi kekasih laki-laki itu, dia juga akan terlibat dalam salah satu
perkelahian itu. Betapa memalukan. Tapi Taya tidak pernah menanyakan siapa saja
kekasih Irwan yang berkelahi itu. Tidak sama sekali. Dan tidak akan pernah. Dia
hanya mendengar berita itu sayub-sayub.
Pun ketika tersiar kabar bahwa bekas kekasihnya itu
menderita sebuah penyakit berat yang tak kunjung sembuh, dia tetap tidak
bertanya. Juga ketika tersiar kabar bahwa bekas kekasihnya itu meninggal dunia
karena penyakitnya itu, dia tetap tidak bertanya.
Juga ketika orang ramai memperbincangkan ada sebuah penyakit
aneh yang tidak diketahui apa namanya, dan tidak ada yang bisa menyembuhkannya,
dia tetap tidak bertanya. Dia tidak akan pernah bertanya.***
0 comments:
Post a Comment