CHICHIGALPA, Nicaragua
(AP)—Jesus Ignacio Flores mulai bekerja ketika usianya 16 tahun, menjadi buruh
bangunan yang bekerja seharian penuh dan bekerja di ladang perkebunan tebu
milik pabrik gula terbesar di negara tersebut.
Tiga tahun yang lalu
ginjalnya mulai gagal dan membanjiri tubuhnya dengan racun. Tubuhnya menjadi
terlalu lemah untuk bekerja, mengalami kram, sakit kepala dan muntah-muntah.
Pada tanggal 19
Januari kemarin dia meninggal dunia di beranda rumahnya. Usianya 51 tahun.
Tubuhnya yang layu ditutupi dengan pakaian oleh istrinya yang berduka, sambil memeluknya
untuk yang terakhir kalinya, dan kemudian dibawa dengan mobil pick up menuju pemakaman di pinggiran
Chichigalpa, sebuah kota kecil di jantung Nicaragua yang sedang tumbuh dengan
industri gulanya, di mana penelitian-penelitian telah menemukan bahwa lebih
dari satu dari empat laki-laki di sana menunjukkan gejala-gejala penyakit
ginjal kronis.
Sebuah epidemi misterius
kini sedang menyerang wilayah pesisir Pasific Amerika Tengah, membunuh lebih
dari 24.000 orang di El Salvador dan Nicaragua semenjak tahun 2000 dan
menyerang ribuan lainnya dengan penyakit ginjal kronis yang rata-rata tidak disadari
di tempat lain. Para ilmuwan mengatakan mereka telah menerima laporan-laporan
tentang fenomena itu dari wilayah utara hingga Meksiko selatan dan dari wilayah
selatan hingga Panama .
Tahun lalu kasus
tersebut mencapai titik di mana menteri kesehatan El Salvador, Dr. Maria Isabel
Rodriguez, meminta bantuan internasional, dengan mengatakan bahwa epidemi tersebut
telah melemahkan sistem kesehatan.
Wilfredo Ordonez, yang
telah memanen jagung, sesame dan padi
selama lebih dari 30 tahun di wilayah Bajo Lempa, El Salvador, terkena penyakit
kronis tersebut ketika usianya 38. Sepuluh tahun kemudian, dia menjalani perawatan
dialysis yang dia lakukan sendiri
sebanyak empat kali sehari.
“Ini adalah sebuah
penyakit yang datang secara tak terduga-duga, dan ketika Anda sudah mengetahuinya,
waktunya sudah terlambat,” kata Ordonez sambil berbaring di hammock di beranda rumahnya.
Kebanyakan korban
penyakit tersebut adalah buruh manual yang bekerja di ladang tebu yang memenuhi
sebagian besar dataran rendah di wilayah pesisir. Para
penderita penyakit tersebut, dokter setempat, dan para aktifis mengatakan
mereka percaya penyebabnya terletak di antara zat-zat kimia pertanian yang
telah digunakan oleh para buruh tersebut selama bertahun-tahun dengan tanpa
perlindungan yang memadai seperti di negara-negara yang maju. Tapi sejumlah
bukti yang kian bertambah jumlahnya mendukung hipotesis yang lebih kompleks dan
kontraintuitif.
Akar dari epidemi
tersebut, kata para ilmuwan, tampaknya terletak pada hakikat pekerjaan yang
yang sangat melelahkan yang dijalani oleh para korban, termasuk pekerja
bangunan, pekerja tambang, dan pekerja lain yang bekerja berjam-jam tanpa
persediaan air minum yang cukup di dalam cuaca yang sangat panas, sehingga
tubuh mereka mengalami dehidrasi ekstrem yang berulang-ulang dan tekanan akibat
cuaca panas selama bertahun-tahun. Banyak pekerja yang mulai mengalami keadaan
ini pada usia 10 tahun. Kegiatan rutin yang membahayakan tersebut tampaknya
merupakan bagian utama dari beberapa penyebab penyakit jantung kronis yang
sebelumnya tidak diketahui, yang biasanya disebabkan oleh diabetes dan tekanan
darah tinggi, penyakit yang tidak terdapat pada kebanyakan pasien di Amerika
Tengah.
“Satu hal yang paling
masuk akal yang diisyaratkan oleh bukti-bukti tersebut adalah bahwa penyakit
tersebut merupakan akibat dari pekerjaan sebagai buruh manual dan dehidrasi,”
kata Daniel Brooks, seorang perofesor bidang epidemiologi di Jurusan Kesehatan
Masyarakat, Universitas Boston, yang telah bekerja dalam serangkaian penelitian
tentang epidemi penyakit ginjal.
Karena kerja keras dan
cuaca panas yang intens itu sendiri bukanlah fenomena yang aneh di Amerika
Tengah, sebagian peneliti tidak mengesampingkan faktor-faktor buatan manusia.
Tetapi tidak ada bukti kuat yang telah ditemukan.
“Saya kira semua itu
tidak ada kaitannya dengan pestisida,” kata Dr. Catharina Wesseling, seorang
ahli epidemi pekerjaan dan lingkungan yang juga merupakan seorang direktur
regional dari Program Pekerjaaan, Kesehatan, dan Lingkungan di Amerika Tengah.
“Epidemi ini sangat berfifat multinasional; sangat menyebar luas.
“Saya berani bertauh
ini disebabkan oleh dehidrasi yang berulang-ulang, yang mereka alami setiap
hari. Itulah taruhan saya, perkiraan saya, tapi saya tidak punya bukti-bukti.”
Dr. Richard J.
Johnson, seorang spesialis ginjal di Universitas Colorado ,
Denver , kini
sedang bekerja dengan para peneliti lainnya untuk meneliti penyebab penyakit
tersebut. Mereka juga memperkirakan penyakit tersebut disebabkan oleh dehidrasi
kronis.
“Ini adalah konsep
yang baru, tetapi ada sejumlah bukti yang mendukung dugaan tersebut,” kata
Johnson. “Ada
penyebab lain yang bisa merusak ginjal. Logam berat, zat kimia, racun telah
menjadi pertiimbangan tapi sampai saat ini tidak ada satu orang pun yang berani
menjelaskan apa yang terjadi di Nicaragua .
“Ketika
kemungkinan-kemungkinan penyebab di atas menjadi usang, maka dehidrasi yang
berulang-ulang maju menggantikannya.”
Di Nicaragua, jumlah
kematian setiap tahun dari penyakit ginjal kronis meningkat lebih dari dua kali
lipat dalam satu dekade, mulai dari 446 pada tahun 2000 hingga mencapai 1.047
pada tahun 2010, menurut Organisasi Kesehatan Pan Amerika, sebuah cabang
regional dari WHO. Di El Salvador, agensi tersebut melaporkan peningkatan
serupa, yaitu mulai dari 1.282 pada tahun 2000 hingga 2.181 pada tahun 2010.
Lebih jauh ke selatan,
di wilayah Costarica utara yang perkebunan tebunya sedang bertumbuh, juga telah
terjadi peningkatan penyakit ginjal yang tajam, kata Wesseling, dan angka
statistik tubuh dari Pan Amerika menunjukkan angka kematian yang meningkat di
Panama, meski rata-rata peningkatnnya tidak se-dramatis di Amerika Tengah.
Meski jumlah yang meningkat
tersebut boleh jadi karena pencatatannya yang menjadi lebih baik, namun para
ilmuwan tidak meragukan lagi bahwa mereka sedang menghadapi sesuatu yang
berbahaya dan yang sebelumnya tidak diketahui pengobatannya.
Di negara-negara yang
sistem kesehatannya lebih maju, penyakit yang bisa merusak kemampuan ginjal
dalam membersihkan darah tersebut terdiagnosa relatif lebih awal dan diobati
dengan dialysis di klinik-klinik kesehatan.
Di Amerika Tengah, banyak di antara korban yang mengobati dirinya sendiri di
rumah dengan dialysis yang lebih
murah tetapi kurang berkhasiat, atau menjalani pengobatan tanpa dialysis sama sekali.
Di rumah sakit di kota Chinandega ,
Nicaragua ,
Segundo Zapata Palacios duduk tak bergerak di dalam kamarnya, terbungkuk dengan
kepalanya berada di tempat tidur.
“Dia tidak ingin
berbicara lagi,” kata istrinya, Enma Vanegas.
Level creatinine-nya, unsur kimia yang
menandai terjadinya gagal ginjal, 25 kali lipat ukuran normal.
Keluarganya mengatakan
padanya bahwa dia dimasukkan ke rumah sakit untuk diberi perawatan dialysis. Dalam kenyataannya, harapan
itu hanya untuk melegakan rasa sakit yang dideritanya sebelum datangnya
kematian yang tidak lama lagi, kata Carmen Rios, seorang pemimpin dari
Persatuan Pasien Penyakit Ginjal Kronis Nicaragua, sebuah kelompok pendukung
dan advokasi.
“Tidak ada lagi yang
bisa dilakukan,” katanya. “Dia dimasukkan ke rumah sakit tanggal 23 Januari
hanya untuk menunggu saat kematiannya.”
Zapata Palacios
akhirnya meninggal dunia pada tanggal 26 Januari. Usianya baru 49.
Dengan bekerja dengan
para ilmuwan dari Costa Rica, El Salvador, dan Nicaragua, Wesseling meneliti
kelompok-kelompok di wilayah pesisir dan membandingkan mereka dengan
kelompok-kelompok yang mempunyai kebiasaan pekerjaan dan eksposur terhadap
pestisida yang serupa tetapi tinggal dan bekerja dalam jarak lebih dari 500
meter.
Sekitar 30 persen dari
mereka yang tinggal di wilayah pesisir yang telah mengalami peningkatan level creatinine, lebih merupakan akibat dari
lingkungan daripada efek dari agrokimia, kata Brooks, seorang ahli
epidemiologi.
Brooks dan Johnson,
spesialis ginjal, mengatakan mereka telah melihat fenomena di Amerika Tengah
tersebut dari laporan-laporan dari wilayah pertanian yang panas di Sri Lanka , Mesir dan pesisir timur India .
“Kami tidak tahu
seberapa luas penyebaran penyakit ini,” kata Brooks. “Boleh jadi ini merupakan
sebuah epidemi yang tak dikenal.”
Jason Glaser, seorang co-founder dari sebuah kelompok yang
bekerja untuk membantu para korban epidemi tersebut di Nicaragua , mengatakan dia dan para koleganya
juga telah mulai menerima laporan-laporan tentang penyakit ginjal misterius di
antara para pekerja perkebunan tebu di Australia .
Terlepas dari konsensus
yang semakin berkembang di antara para ahli internasional, Elsy Brizuela, seorang
dokter yang bekerja pada sebuah proyek bangsa El Salvador untuk mengobati para
pekerja dan melakukan penelitian tentang epidemi tersebut, mengesampingkan
teori tentang dehidrasi dan mengemukakan bahwa “faktor penyebab umumnya adalah
eskposur terhadap herbisida dan racun.”
Angka penyakit ginjal
kronis yang paling tinggi di Nicaragua terdapat di Ingenio San Antonio, sebuah
perkebunan yang dimiliki oleh kelompok konglomerat Pellas Group, yang pabrik
gulanya menghasilkan separuh dari kebutuhan gula di negara tersebut. Flores dan Zappata Palacios bekerja di perkebunan
tersebut.
Menurut salah satu
penelitian Brook, sekitar delapan tahun yang lalu pabrik tersebut mulai
menyediakan solusi electrolyte dan
kue yang mengandung protein untuk para pekerja yang sebelumnya membawa air
minum sendiri ke tempat kerja. Namun penelitian tersebut juga menemukan bahwa
sebagian pekerja menebang tebu selama 91/2 jam sehari dengan tanpa istirahat
yang layak dan dengan hanya sedikit tempat yang teduh di tengah-tengah
temperatur yang rata-rata 30 C (87 F).
Pada tahun 2006,
perkebunan tersebut, yang dimiliki oleh sebuah keluarga terkaya di negara
tersebut, menerima pinjaman sebesar $36,5 juta dari International Finance Corp., cabang Bank Dunia untuk sektor swasta,
untuk menambah luas lahan perkebunan, memperluas pabrik pengolahan tebu dan
memproduksi lebih banyak gula untuk konsumen dan untuk memproduksi ethanol.
Dalam sebuah
pernyataannya, IFC mengatakan mereka telah menguji dampak sosial dan dampak
lingkungan dari pinjaman tersebut sebagai bagian dari proses due diligence (uji tuntas) dan mereka
tidak mengidentifikasi penyakit ginjal sebagai sesuatu yang berhubungan dengan
operasi perkebunan tebu.
Namun demikian,
pernyataan tersebut mengatakan, “Kami peduli dengan penyakit tersebut yang
menyerang bukan hanya Nicaragua
tetapi juga negara-negara lain, dan akan mempelajari dengan saksama
temuan-temuan terbaru.”
Ariel Granera, seorang
juru bicara kelompok konglomerat bisnis Pellas, mengatakan bahwa mulai tahun
1993 perusahaan tersebut telah memulai menerapkan pelbagai standar
kehati-hatian untuk menghindari tekanan dari cuaca panas terhadap para pekerja
mereka, mulai dari memulai shift
kerja lebih awal di pagi hari hingga menyediakan bergalon-galon air minum per
hari.
Wartawan Associated Press menyaksikan para
pekerja membawa botol air minum dari rumah, yang kemudian mereka isi dari
tabung-tabung silinder besar yang berisi air minum di dalam bis yang membawa
mereka ke tempat kerja.
Glaser, co-founder dari kelompok aktifis di
Nicaragua, La Isla Foundation,
mengatakan bahwa masih banyak perlindungan pekerja di wilayah itu yang diterapkan
dengan buruk oleh perusahaan-perusahaan dan oleh aturan pemerintah, khususnya
aturan-aturan yang menyangkut
penghentian pekerja yang terkena gagal ginjal dari bekerja di ladang
yang dimiliki oleh kelompok Pellas dan perusahaan-perusahaan lainnya.
Banyak pekerja yang
didiskualifikasi oleh test tersebut, yang menunjukkan level creatinine yang tinggi, kembali bekerja
di ladang pada subkontraktor yang menerapkan standar yang lebih longgar,
katanya. Sebagian dari mereka menggunakan KTP palsu, atau memberikan KTP mereka
kepada anak-anak mereka yang masih sehat, yang kemudian lulus test dan pergi
bekerja di ladang tebu, untuk menghancurkan ginjal mereka.
“Ini adalah
satu-satunya pekerjaan yang ada di kota
itu,” kata Glaser. “Itulah satu-satunya pekerjaan yang mereka terlatih. Itulah
satu-satunya pekerjaan yang mereka bisa.”
Pabrik penggilingan
tebu Ingenio San Antonio memproses tebu yang berasal dari ladang seluas lebih
dari 24.000 hektar (60.000 acre), di
mana sekitar separuhnya dimiliki oleh perusahaan penggilingan tersebut, sisanya
dimiliki oleh petani independen.
Kelompok dagang yang
menangani perusahaan-perusahaan gula Nicaragua mengatakan bahwa Universitas
Boston telah mengkonfirmasi bahwa “industri gula agrikultural di Nicaragua
tidak bertanggungjawab dalam bentuk apapun terhadap kelainan ginjal kronis di
Nicaragua” karena hasil penelitian menemukan bahwa “ilmu sains saat ini tidak mengenal
cara untuk membangun hubungan langsung antara pertanian tebu dan kelainan
ginjal.”
Brooks, sang ahli
epidemiologi dari Universitas Boston, mengatakan pada AP bahwa penelitian
tersebut tegas menyatakan bahwa tidak ada bukti ilmiah yang definitif tentang
apa yang menyebabkan timbulnya penyakit tersebut, melainkan masih terbuka semua
kemungkinan sebagai penyebabnya sebagai bahan penelitian di masa yang akan datang.
Dibandingkan dengan Nicaragua , di mana ribuan penderita penyakit
ginjal bekerja pada perusahaan gula yang besar, di El Salvador kebanyakan penderita
bekerja sebagai petani independen. Mereka menganggap zat-zat kimia pertanian
sebagai penyebabnya, dan hanya sedikit di antara mereka yang mengubah kebiasaan
mereka dalam bekerja setelah timbulnya hasil penelitian yang terbaru ini, yang
di El Salvador
tidak disiarkan secara signifikan.
Di Nicaragua, ancaman
bahaya itu lebih banyak diketahui, namun demikian, para pekerja membutuhkan
pekerjaan untuk bertahan hidup. Zapata Palacios meninggalkan delapan orang
anak. Tiga di antaranya bekerja di ladang tebu.
Dua di antaranya telah
menunjukkan tanda-tanda terserang penyakit tersebut.
FILADELFO
ALEMAN and MICHAEL WEISSENSTEIN
---
Associated Press
writer Filadelfo Aleman reported this story in Chichigalpa ,
Nicaragua , and Michael
Weissenstein reported from Mexico City .
AP writers Marcos Aleman in Bajo Lempa , El Salvador , and Romina Ruiz-Goiriena in Guatemala City
contributed to this report.
0 comments:
Post a Comment