Image: Wikimedia Commons/innoxiuss |
Orang yang berpikir secara intuitif lebih cenderung bersifat religius, namun berpikir secara analitis dengan cara yang rumit bisa melemahkan kepercayaan mereka, menurut sebuah penelitian terbaru dalam Science.
Penelitian tersebut, yang dilakukan oleh para
psikolog dari Universitas British Colombia Will Gervais dan Ara Norenzavan,
tidak bermaksud memihak di mana pun dalam perdebatan antara agama dan atheisme,
melainkan ditujukan untuk menjelaskan salah satu dari asal muasal kepercayaan dan
ketidakpercayaan terhadap agama. “Untuk memahami agama pada manusia,” kata
Gervais, “Anda perlu mengakomodasi fakta bahwa ada jutaan orang yang percaya
dan ada jutaan pula yang tidak percaya.”
Salah satu dari penelitian mereka mengkorelasikan
ukuran-ukuran kepercayaan religius dengan nilai yang didapat orang pada test
berpikir analitis yang populer. Test tersebut berisikan soal matematika yang
mengecoh. Salah satu pertanyaannya: “Jika lima
mesin memerlukan waktu lima menit untuk membuat lima widget, berapa lamakah waktu yang diperlukan oleh 100 mesin untuk
membuat 100 widget? Jawaban pertama
yang terlintas dalam pikiran—100 menit—ternyata salah. Orang yang mengambil
waktu untuk memikirkan jawaban yang benar (lima menit) adalah orang yang, secara definisi,
lebih analitis—dan orang yang bertipe analitis seperti ini cenderung mendapat
nilai rendah dalam test tentang kepercayaan religius yang diberikan oleh para
peneliti tersebut.
Namun
para peneliti tersebut membahas hal-hal yang lebih mendalam dari sekedar adanya
hubungan yang menarik ini, dengan menjalankan empat percobaan yang menunjukkan
bahwa pikiran analitis sebenarnya menyebabkan ketidakpercayaan terhadap agama.
Dalam salah satu eksperimen, mereka secara acak membagi para perserta ke dalam
kelompok analatis dan kelompok kontrol. Kemudian mereka memperlihatkan
foto-foto patung The Thinker karya
pemahat Rodin atau, di dalam kelompok kontrol, foto patung Yunani kuno Discobolus, yang menggambarkan seorang
atlit sedang mengambil ancang-ancang untuk melempar sebuah cakram.
(The
thinker digunakan karena gambar tersebut merupakan sebuah gambar yang
ikonik yang menggambarkan adanya sebuah refleksi yang mendalam sehingga, di
dalam sebuah test yang terpisah dengan partisipan yang berbeda, melihat patung tersebut
tersebut ternyata bisa meningkatkan kemampuan mereka berpikir melalui silogisme
yang logis.) setelah melihat gambar-gambar tersebut, para peserta kemudian menjalani
sebuah test untuk mengukur tingkat
kepercayaan mereka akan Tuhan dengan skala 0 hingga 100. Skor yang mereka dapat
dari test tersebut sangat berbeda-beda, dengan standar deviasi sekitar 35 di
dalam kelompok kontrol.
Namun
perbedaan di dalam rata-rata itulah yang justru menarik: Di dalam kelompok kontrol,
rata-rata skor bagi yang percaya pada Tuhan adalah 61,55, atau sedikit di atas
titik tengah dari skala. Di sisi lain, dalam kelompok yang baru saja melhat
foto The Thinker, hasil skor
rata-ratanya hanya 41,42. Jarak seperti ini kiranya cukup lebar untuk
menunjukkan bahwa seseorang yang kepercayaannya setengah-setengah merespon
sebagai seseorang yang tingkat ketidakpercayaannya setengah-setengah—semua
hanya karena mereka telah diingatkan secara visual akan kapsitas manusia dalam
berpikir.
Percobaan lain menggunakan sebuah metode yang
berbeda untuk menunjukkan efek yang serupa. Ekperimen tersebut mengekploitasi kecenderungan,
yang sebelumnya diidentifikasi oleh para psikolog, seseorang untuk mengesampingkan
intuisi mereka ketika dihadapkan pada permintaan membaca sebuah teks dengan bentuk
yang sulit dibaca. Gervais dan Norenzavan melakukan ini dengan cara memberi dua
kelompok orang sebuah test tentang kepercayaan mereka akan agen-agen
supranatural seperti Tuhan dan para malaikat, dengan perbedaan hanya pada
bentuk huruf (font) teks tersebut
dicetak.
Orang yang menjalani test kepercayaan dengan bentuk
huruf yang tidak jelas (font seperti
huruf mesin tik dalam bentuk huruf miring) ternyata menunjukkan kepercayaan yang rendah dibandingkan dengan
mereka yang menjalankan test dengan bentuk huruf yang lebih umum dan mudah
dibaca. “Ini adalah sebuah manipulasi yang rumit,” kata Norenzayan. “Namun
sesuatu yang tampaknya sepele bisa menimbulkan perubahan pada sesuatu yang
mereka anggap penting dalam sistem kepercayaan religius mereka.” Dalam sebuah
skala kepercayaan 3 hingga 21, para partisipan dalam kelompok analitis mendapat
skor rata-rata hampir dua poin lebih rendah dibandingkan mereka yang berada di
dalam kelompok kontrol.
Pikiran analitis bisa melemahkan kepercayaan
karena, seperti yang telah ditunjukkan oleh para psikolog kognitif, pikiran
tersebut bisa mengesampingkan intuisi. Dan kita tahu dari peneltian terdahulu
bahwa kepercayaan religius—seperti ide bahwa benda-benda dan
peristiwa-peristiwa tidak hanya sekedar eksis tetapi mempunyai tujuan—berakar
dari intuisi. “Proses pemikiran analitis menghambat intuisi-intuisi seperti ini, yang pada
gilirannya akan melemahkan kepercayaan religius,” kata Norenzayan menjelaskan.
Psikolog dari Universitas Harvard, Joshua
Greene, yang tahun lalu menerbitkan sebauh paper dengan topik yang sama bersama
para koleganya Amitai Shenhav dan David Rand, memuji hasil penelitian ini
karena metodologinya yang teliti. “Masing-masing eksperimen mereka itu bisa
dinterpretasi ulang, namun ketika Anda telah memperoleh (banyak) bukti-bukti
yang berbeda-beda yang mengarah pada hal yang sama, hal itu sangat
mengesankan.”
Studi tersebut mendapat penilaian tinggi dari ahli
biologi evolusioner Universitas California, Irvine, Francisco Ayala, yang juga
merupakan satu-satunya mantan presiden American
Association for the Advancement of Science yang pernah ditasbihkan sebagai
pendeta Katolik, dan yang terus menekankan pendapat bahwa sains dan agama
adalah dua hal yang saling mendukung (compatible).
Ayala mengatakan penelitian tersebut cerdas, dan dia terkejut mengetahui bahwa
efeknya ternyata tidak begitu kuat. “Anda tentu mengira orang yang menentang asumsi
umum dalam budaya mereka—dalam hal ini, kepercayaan religius dalam budaya
mereka—tentu merupakan orang-orang yang berpikir lebih analitis.
Greene sependapat, sambil mengemukakan sebuah
pertanyaan provokatif yang implisit dalam temuan tersebut: “Jelas, ada jutaan
orang sangat pintar dan sangat rasional yang juga percaya adanya Tuhan,” katanya.
“Jelas, penelitian ini tidak membuktikan ketidakadaan (nonexistence) Tuhan. Namun penelitian ini merupakan tantangan bagi
mereka yang percaya pada Tuhan: Jika Tuhan itu ada, dan jika percaya pada Tuhan
itu adalah sesuatu yang sangat rasional, lalu mengapa meningkatnya pikiran
rasional cenderung melemahkan kepercayaan terhadap Tuhan? ( | April 26, 2012)
0 comments:
Post a Comment