NICHOLAS EVELEIGH / GETTY IMAGES |
Meningiomas umumnya adalah tumor jinak, non-kanker
yang berkembang dari membrane-membrane yang mengelilingi otak dan tulang
belakang (spinal cord). Kebanyakan
dari tumor jenis ini timbul akibat eksposur terhadap radiasi ion, seperti
radiasi yang berasal dari sinar X (dan dalam beberapa kasus, dari ledakan bom
atom), dan kebanyakan berkembang karena eksposur tingkat tinggi yang terus
menerus dan berulang-ulang. Namun para peneliti yang dipimpin oleh Dr.
Elizabeth Claus dari departemen epidemiologi dan kesehatan masyarakat di Yale University menemukan bahwa eksposur
terhadap radiasi dari sinar X dalam tingkatnya yang rendah juga dihubung-hubungkan
dengan peningkatan resiko terkena tumor.
Untuk penelitian tersebut,
tim-nya Claus meneliti 1.443 pasien yang didiagnosa terkena meningiomas di lima negara bagian antara
tahun 2006 hingga tahun 2011, dan membandingkan mereka dengan 1.350 orang yang
tidak terkena tumor. Para peneliti membandingkan riwayat perlakuan sinar X yang
pernah diterima oleh pasien berdasarkan cerita pasien itu sendiri, dan mereka menemukan
bahwa pasien yang menderita tumor dua kali lebih besar kemungkinannya
melaporkan bahwa mereka pernah mendapat perlakuan sinar X dengan bitewing (film sinar-X gigi yang
disangkutkan pada gigi untuk melakukan radiografi) pada gigi mereka sekurangnya
satu kali (di mana seorang teknisi mengambil gambar gigi belakang atas dan
bawah untuk memeriksa apakah ada lubang atau ada gigi yang bergeser).
Sebagai hasil penelitian yang
cukup mengusik, Claus mengatakan bahwa ada dua hal yang harus diingat orang
ketika membaca hasil penelitian ini. Pertama,
meski kebanyakan orang yang diamati dalam penelitian tersebut
terdiagnosa pada tahun-tahun belakangan ini, namun riwayat perlakukan sinar X
yang mereka terima terjadi pada sepuluh tahun lalu, atau lebih, ketika level
radiasi ion pada sinar X gigi masih jauh lebih tinggi dibandingkan saat ini. (Rata-rata
usia dari mereka yang menderita tumor adalah 57,5 tahun). Yang kedua, studi tersebut membandingkan kasus-kasus meningiomas dengan perlakuan-perlakuan
yang serupa pernah mereka terima, bukannya menanyakan orang tentang riwayat
pemberian sinar X yang pernah mereka terima dan kemudian mengikuti perkembangan
mereka untuk melihat siapa yang terserang meningiomas
dan siapa yang tidak.
“Kami masih belum tahu apa
resikonya,” kata Claus, yang juga bekerja di Brigham and Women’s Hospital di
Boston. “Kami memulai dengan hasil tersebut, meningiomas, dan kemudian meneliti tingkat eksposurnya. Kami masih
perlu melakukan penelitian dengan partisipan yang terbagi dalam
kelompok-kelompok tertentu (cohort),
namun biaya dan waktu (yang dibutuhkan) boleh jadi tidak memungkinkan.”
Claus dan timnya juga memperhitungkan faktor-faktor potensial
yang bisa mempengaruhi baik frekuensi mendapatkan sinar X gigi maupun insiden meningiomas, seperti apakah para
partisipan pernah mendapat scan CAT
di kepala mereka atau radiasi therapetik untuk mengobati kanker jenis lain,
atau bahkan bias-bias geografis dan sosioekonomis. (Studi tersebut terjadi
sebelum banyak terdapat alat scan
keamanan bandara berbasis sinar X seperti sekarang ini, yang juga merupakan
sumber eksposur radiasi lainnya, jadi para partisipan tidak ditanya tentang
riwayat perjalanan mereka.) Bahkan meski faktor-faktor seperti ini telah
diperhitungkan, namun, hubungan antara sinar X gigi dan meningiomas tetap ada.
Namun, Claus mengatakan hasil tersebut tidak seharusnya
membuat orang takut mengunjungi dokter gigi dan mendapat sinar X—jika mereka
membutuhkannya. Pesan penting dari penelitian ini adalah bahwa para pasien seharusnya
berbicara dengan dokter gigi mereka tentang apakah sinar X tersebut benar-benar
diperlukan. Kebanyakan orang mungkin telah mendapat perlakuan sinar X terlalu
banyak dan dengan demikian mereka menanggung banyak resiko yang tidak perlu, kata
Claus. Persatuan Gigi Amerika (American
Dental Association) baru-baru ini merekomendasikan (recommends) agar orang dewasa yang sehat mendapat
perlakuan sinar X gigi sekali dalam 18 bulan selama tiga tahun, namun para
partisipan dalam studi tersebut melaporkan bahwa mereka mempunyai gambar-gambar
dari sinar-X dengan bitewing yang lebih
banyak. “Kami melihat ada perbedaan besar antara frekuensi orang mendapatkan
perlakuan sinar-X gigi dengan frekuensi yang dianjurkan oleh American Dental Association—jumlah yang
dilakukan hampir dua kali lipat dari jumlah yang dianjurkan,” kata Claus.
“Itulah wilayah yang kami maksud, ayo kita mencari informasi lebih lanjut di
sana, ayo kita menyuruh para pasien dan dokter gigi berdiskusi tentang hal ini
dan melihat kemungkinan apakah pada pasien tertentu, kita boleh mengurangi
jumlah sinar X gigi yang mereka perlukan. Itulah pesan yang lebih penting dari
penelitian ini.”
Jadi sebelum Anda membuka
mulut Anda lebar-lebar di depan dokter gigi lain kali, tanyakan apakah Anda
memang benar-benar membutuhkan sinar X tersebut. ( @aliceparkny April 10, 2012)
Alice
Park is a writer at TIME. Find her on Twitter at @aliceparkny. You can also continue the
discussion on TIME’s Facebook page and on Twitter at @TIME.
0 comments:
Post a Comment