Sebagaimana
masyarakat pesisir lainnya yang akrab dengan kehidupan laut, masyarakat Lampung
Pesisir juga sering melakukan upacara-upacara adat yang berkaitan dengan laut.
Ngumbai lawok adalah sebuah upacara adat
yang banyak dilakukan oleh masyarakat Lampung Pesisir. Acara ngumbai Lawok bermakna perjanjian atau
sedekah sebagai refleksi rasa syukur para nelayan yang telah diberi kelimpahan
rejeki berupa ikan-ikan yang melimpah dan laut yang ramah selama satu tahun
berjalan. Acara ini juga sering dilakukan dalam memperingati tahun baru Islam,
1 Muharam. Dalam praktiknya ngumbai lawok
adalah berdo’a dan menyembelih kerbau yang kemudian kepalanya diarungkan ke
laut.
Ngumbai lawok adalah tradisi ruwatan laut,
yaitu upacara membersihkan laut. Hal ini lahir dari pemahaman para nelayan
bahwa laut adalah tempat mengais rejeki, karena itu laut wajib dirawat.
Tujuannya agar sumber penghidupan mereka itu tetap bersahabat dan memerikan
hasil yang melimpah.
Selain
memberikan sesaji berupa kepala kerbau, dalam acara ngumbai lawok juga diberikan sesaji (sedekah) berupa makanan,
minuman, daging, buah-buahan, serta rokok, serta miniatur perahu. Sesaji
tersebut diangkut dengan perahu untuk dibawa dan dilarung ke tengah laut.
Semangat bersedekah dalam ngumbai lawok
ini serupa dengan semangat Idul Adha. Tapi Idul Adha merupakan simbol ketaatan
kepada sang Khalik, sedangkan ngumbai lawok,
di lain pihak, merupakan simbol persahatan manusia dengan alam.
Lalu
bagaimanakah hukum ngumbai lawok atau
ruwat laut menurut pandangan Islam? Tidakkah perbuatan tersebut termasuk
syirik? Menurut Gus Mus, pengasuh Pondok Pesantren Roudhotul Thalibin, Rembang, Jawa Barat, acara ruwat laut seperti
yang banyak dilakukan di Jawa bermula dari dakwah Islam yang dilakukan
Walisongo, yang sering kali memanfaatkan tradisi masyarakat setempat sebagai
media penyebaran agama Islam. Sebagai contoh, tradisi selamatan atas orang yang
meninggal dunia itu sebenarnya tidak ada dalam Islam. Tapi oleh ulama
tradisional tradisi ini dilanjutkan dengan membaca kalimat-kalimat thoyibah,
dzikir, dan memberi makan orang miskin.
Kalangan
Islam modern mengatakan tradisi seperti ini tidak boleh dipertahankan,
sedangkan kalangan Islam tradisional mengatakan hal ini boleh-boleh saja. Jadi
dalam hal ini ada dua pendapat, yang satu mengatakan apa saja (seperti tradisi
ini) yang tidak dilarangan oleh agama itu, boleh-boleh saja, sedangkan yang
lain mengatakan apa saja yang tidak ada dalam agama itu tidak boleh. Masing
pendapat di atas ada pengikutnya masing-masing.
Sama
halnya dengan ziarah kubur. Ziarah kubur bagi orang-orang Islam modern, yang
selalu terpaku pada teks Qur’an dan Hadits, tidak boleh dilakukan. Tapi menurut
ulama tradisional ziarah kubur itu baik karena bisa mengingatkan manusia akan
mati.
Ruwat
laut atau ngumbai lawok ada yang
menggolongkannya sebagai adat (tradisi), namun ada pula yang menggolongkannya
sebagai kepercayaan. Islam memandang adat itu ada dua macam, yaitu adat yang
mubah (boleh), dan adat yang haram. Adapun kepercayaan itu termasuk haram jika
tidak ada dalam Islam.
Adat
yang boleh dilakukan misalnya mengenakan penutup kepala blangkon yang biasa
dilakukan orang Jawa. Tapi mengenakan kemben, pakaian wanita yang hanya sampai
dada di bawah leher tergolong haram karena tidak menutup aurat. Tapi kalau
kemben dikenakan bersama kerudung, dan menutup seluruh tubuh dan rambut di
kepala, tentu boleh-boleh saja dilakukan.
Tapi
jika pemakaian blangkon itu karena didorong oleh adanya kepercayaan akan adanya
kekuatan ghaib yang ada pada blangkon tersebut, tentu perbuatan ini termasuk
haram, dan bukan lagi tergolong sebagai adat melainkan keyakinan/kepercayaan.
Demikian
pula halnya dengan ruwat laut. Kalau acara ruwat laut itu diselenggarakan
berdasarkan kepercayaan akan adanya kekuatan ghaib selain Allah Swt yang
mengatur manusia, yang bisa menimbulkan nasib sial, bahaya, dan sebagainya,
tentu hal itu termasuk haram.
Sedangkan
ruwat laut atau ngumbai lawok juga
mempunyai maksud sebagai ungkapan terima kasih atau syukur kepada sang pencipta
(Alloh Swt) atas rezeki yang telah dilimpahkannya.
Kepercayaan
terhadap tradisi ruwat laut sudah merupakan bagian dari kepercyaan masyarakat
nelayan yang tidak boleh ditinggalkan meski diselenggarakan dalam bentuk
upacara adat yang sangat sederhana. Lalu timbul pertanyaan mengapa tradisi ruwat
laut atau ngumbai lawok ini masih
terus saja dilakukan dan dipelihara oleh para nelayan sedangkan mereka beragama
Islam?
Pertanyaan
ini penting karena di satu sisi masyarakat nelayan percaya akan kebenaran agama
yang mereka anut (Islam) sedangkan di sisi lain mereka tetap melakukan tradisi
ruwat laut.
Seperti
yang telah diuraikan di atas, upacara ruwat laut atau ngumbai lawok di kalangan masyarakat Krui lebih merupakan suatu
upacara adat. Artinya mereka melakukan upacara ini hanya sekedar melanjutkan
tradisi yang merupakan warisan nenek moyang mereka, yang tidak dikaitkan dengan
hal-hal yang berbau mistik.
Bahkan
momen ruwat laut atau ngumbai lawok
yang diselenggarakan pada tanggal 10 Muharam signifikan dengan
peristiwa-peristiwa dalam sejarah Islam, seperti kisah Nabi Nuh, Hijrah Nabi
Muhammad ke Madinah, peristiwa Nabi Adam turun ke bumi, sert kisah Nabi
Sulaiman AS yang akan dibunuh oleh Fir’aun pada tanggal 10 Muharam.
Di sisi
lain, menurut masyarakat adat nelayan, setidaknya ada tiga tujuan dari
pelaksanaan ruwat laut atau ngumbai lawok,
yang jauh dari nilai-nilai syirik, yaitu, pertama, ruwat laut atau ngumbai lawok merupakan perwujudan rasa
syukur kepada Allah Swt atas anugerah dan rahmatnya berupa ikan yang melimpah
yang sepanjang masa tiada henti-hentinya. Kedua upacara ngumbai lawok adalah sebuah permohonan agar masayarakat setempat
selalu dilindungi, dijauhkan dari segala marabahaya dan diberi keselamatan
dalam menyelanggarakan pekerjaan sehara-hari sebagai nelayan. Ketiga, memohon
kepada Allah Swt agar sumber penghasilan dari laut tetap lestari dan melimpah.
Di samping
itu, dalam tradisi ngumbai lawok juga
terdapat nilai-nilai keswadayaan yang terdapat pada sistem sosial budaya lokal yang
patut dilestarikan, yaitu:
- Gotong royong
Pada pelaksanaan ngumbai lawok masyarakat nelayan secara bersama-sama
atas dasar keswadayaan dan kesukarelaan membantu pelaksanaan acara tersebut
baik itu berupa tenaga maupun dana, sikap tolong menolong tersebut juga terlihat
dalam kehidupan masyarakat misalnya ketika ada warga masyarakat yang
melangsungkan resepsi pernikahan, khitanan, pemberian anam, selametan
perahu baru, dan ketika ada warga masyarakat yang tertimpa musibah.
- Musyawarah
Sebelum upacara ngumbai lawok dilaksanakan para tokoh agama, tokoh masyarakat
dan aparatur desa terlebih dahulu mengadakan musyawarah mengenai
waktu pelaksanaan dan besarnya dana. Media rapat atau musyawarah juga
difungsikan untuk mendiskusikan kegiatan keagamaan maupun sosial
kemasyarakatan lainnya misalnya pengajian dan gotong royong. Biasanya, pada
akhir pertemuan selalu dirumuskan hasil musyawarah atas dasar sumbangan
pemikiran dari warga masyarakat yang hadir.
- Silaturrahmi
Pada saat pelaksanaan ngumbai lawok masyarakat nelayan libur dari dari
kegiatan mencari ikan, mereka berkumpul di TPI (tempat pelelangan ikan) untuk
berdo’a bersama dan acara ruwatan laut ini dijadikan sebagai ajang silaturrahmi
antar nelayan. Kegiatan kemasyarakatan lainnya seperti pengajian, yasinan dan
arisan, juga merupakan ajang silaturrahmi masyarakat nelayan.
- Persatuan dan kesatuan (kerukunan)
Masyarakat nelayan yang ada di Krui, Kabupaten Pesisir Barat bersifat
heterogen, karena terdiri dari berbagai suku dan kebudayaan, mereka memiliki
tradisi dan budaya yang bervariasi sesuai dengan latar belakang sosio-kultural
daerah asalnya masing-masing dan tradisi ngumbai lawok merupakan hasil
akulturasi budaya yang mempersatukan berbagai etnis yang ada disana. Walaupun
terdiri dari berbagai etnis, tetapi tidak pernah terjadi konflik, karena mereka
sangat menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan, sehingga dapat
menciptakan kehidupan yang rukun.
(Disarikan dari skripsi
Riki Dian Saputra di Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2011, yang berjudul Tradisi Ruwatan laut
(Ngumbai Lawok) di Kelurahan Kangkung
Kecamatan Teluk Betung Selatan Kota Bandarlampung Dalam Persfektif Hukum Islam.)
0 comments:
Post a Comment