Dalam foto yang diambil pada Maret 2014 ini, tampak Emmanuel Ndayisaba, kanan, dan Alice Mukarurinda, kiri, berpose di depan rumah Alice. Pada tahun 1994, Emmanuel membunuh anak Alice dan memotong tangannya. |
Perempuan itu kehilangan bayinya dan tangan kanannya dalam sebuah peristiwa pembunuhan yang maniak. Laki-laki itu adalah orang yang mengayunkan goloknya hingga menyebabkan bayinya terbunuh dan tangannya putus.
Tapi, meski berasal dari dua sisi yang berlawanan dari sebuah masa silam yang tak terperi, Alice Mukarurinda dan Emmanuel Ndayisaba kini berteman. Alice adalah bendaharawati dan wakil ketua dari sebuah kelompok yang membangun rumah-rumah sederhana terbuat dari batu bata untuk mereka yang selamat dari genosida. Mereka berdua hidup berdekatan dan berbelanja di pasar yang sama.
Kisah kekerasan etnik yang mereka alami, dosa-dosa yang teramat besar dan, sampai derajat tertentu, rekonsiliasi adalah cerita dari Ruwanda sekarang ini, 20 tahun setelah etnik mayoritas Hutu di negara itu membantai lebih dari 1 juta orang Tutsi dan juga orang Hutu sendiri dalam jumlah yang tak terlalu banyak. Pemerintah Ruwanda masih dituduh oleh kelompok pembela hak azazi manusia sebagai pemerintah bertangan besi, yang melumpuhkan perbedaan pendapat dan membunuh para lawan politik mereka. Tapi meski dikritik presiden Paul Kagame juga dipuji karena telah membawa Ruwanda ke arah perdamaian yang tampaknya tidak mungkin terjadi dua dekade lalu.
‘Setiap kali saya melihat lengan saya, saya teringat apa yang terjadi,’ kata Alice, seorang ibu dari lima orang anak yang mempunyai bekas luka mendalam di pelipis kirinya ketika Emmanuel menyerangnya dengan golok. Ketika dia berbicara, Emmanuel—laki-laki yang telah membunuh bayinya itu—duduk berdekatan sehingga tangan kirinya dan pinggang kanan Alice kadang bersentuhan.
Pada hari Senin lalu, Ruwanda memperingati 20 tahun permulaan terjadinya 100 hari huru-hara berdarah itu. Tapi sebenarnya genosida tersebut telah berasal-muasal selama beberapa dekade sebelumnya, dipicu oleh pidato-pidato yang menyulut kebencian, diskriminasi, propaganda dan pelatihan pasukan pembunuh. Hutu ketika itu tidak menyukai Tutsi karena orang Tutsi lebih kaya dan apa yang mereka lihat sebagai pemerintahan yang opresif.
Ruwanda adalah negara yang paling padat penduduk di Afrika daratan, dengan luas yang hanya sedikit lebih kecil dari negara bagian Maryland di AS tapi jumlah penduduknya lebih dari 12 juta. Alam pedesaan di negara itu dipenuhi oleh pepohonan hijau, dengan pohon-pohon pisang yang tak terhitung jumlahnya.
Pemisahan Hutu-Tutsi boleh jadi merupakan karakteristik negara itu yang paling dikenal tapi juga yang paling memusingkan. Kedua kelompok tersebut sangat dekat sehingga hampir tidak mungkin bagi orang luar untuk menentukan mana yang Tutsi mana yang Hutu. Bahkan orang Ruwanda sendiri kesulitan menentukannnya, khususnya setelah dua dekade upaya pemerintah untuk memaksa penduduk Ruwanda mempunyai identitas tunggal.
Bagi Alice, seorang Tutsi, genosida itu dimulai tahun 1992, ketika keluarganya berlindung di sebuah gereja selama seminggu. Para pemimpin komunitas Hutu mulai mengimpor golok. Rumah-rumah dibakar, mobil-mobil dirampas.
Para pemimpin Hutu membuat daftar orang-orang Tutsi terkemuka atau yang berpendidikan sebagai target untuk dibunuh. Mereka juga mengadakan pertemuan di mana mereka mengatakan pada hadirin betapa jahatnya orang Tutsi. Seperti kebanyakan para tetangga Hutu-nya, Emmanuel termakan oleh propaganda tersebut.
Situasi memanas pada tanggal 6 April 1994, ketika pesawat yang membawa presiden Ruwanda ditembak hingga jatuh. Orang-orang Hutu mulai membunuh orang-orang Tutsi, yang menyelamatkan diri dan membanjiri kampung di mana Alice tinggal waktu itu.
Tiga hari kemudian, para pemimpin lokal Hutu mengatakan pada Emmanuel, yang saat itu berusia 23 tahun, bahwa mereka punya pekerjaan untuknya.
Mereka membawanya ke sebuah rumah
orang Tutsi dan memberi perintah agar dia memainkan goloknya. Sebagai seorang
Kristen yang ikut menyanyi di gererja, Emmanuel tidak pernah membunuh sebelumnya.
Tapi di dalam rumah ini dia membunuh 14 orang. Di hari berikutnya, tangal 12
April, Emmanuel menemukan seorang dokter Tutsi sedang bersembunyi dan dia
membunuhnya pula. Keesokan harinya, dia membunuh dua wanita dan seorang anak.
‘Ketika pertama kalinya saya
membunuh keluarga itu, saya merasa tidak enak, tapi kemudian saya terbiasa,’
katanya. ‘Mengingat betapa kami diberitahu bahwa orang-orang Tutsi itu jahat, maka
setelah membunuh keluarga yang pertama itu saya merasa seperti saya telah membunuh
musuh-musuh kami.’
Sementara itu, keluarga Alice
mengungsi di sebuah gereja, seperti yang mereka lakukan sebelumnya,
berjejal-jejal dengan ratusan pengungsi lainnya. Tapi kali ini, orang-orang
Hutu melempar bom ke dalam gereja hingga menyebabkan gereja itu terbakar.
Mereka yang melarikan diri keluar gereja tewas terkena sabetan golok. Alice kehilangan
26 anggota keluarganya, di antara sekitar 5.000 orang korban lainnya di gereja
tersebut.
Dalam foto yang diambil bulan Maret 2014 ini, tampak orang Ruwanda sedang berjalan di luar jendela sebuah gedung kantor untuk melakukan aktifitas sehari-hari. Meski Ruwanda telah membuat kemajuan signifikan semenjak genosida itu, namun ketegangan etnik masih tersisa. |
Alice, yang waktu itu berusia 25
tahun, berhasil melarikan diri dengan anaknya yang baru berusia 9 bulan dan
seorang keponakannya yang berusia 9 tahun ke wilayah pedesaan Ruwanda yang masih
hijau, berpindah-pindah, bersembunyi, berpindah-pindah lagi. Dia bersembunyi di
rawa-rawa yang dipenuhi semak-semak.
‘Ada banyak mayat bergelimpangan di
mana-mana,’ katanya. ‘Orang Hutu bangun di pagi hari dan pergi berburu orang
Tutsi untuk dibunuh.’
Pada akhir April pasukan pemberontak
Tutsi dipimpin oleh Kagame telah mencapai ibukota dan memburu orang Hutu.
Pasukan Hutu mulai melarikan diri ke negara-negara tetangga, dan kekerasan
menyebar luas, dengan pembunuhan-pembunuhan oleh kedua belah pihak.
Pada tanggal 29 April, Emmanuel
bergabung dengan pasukan Hutu mencari orang-orang Tutsi hingga ke
pelosok-pelosok. Mereka meniup peluit setiap kali menemukan seorang Tutsi
sedang bersembunyi.
Pembunuhan dimulai pada pukul 10
pagi dan berlangsung hingga pukul 3 sore. Alice telah bersembunyi di rawa-rawa
itu selama berhari-hari, dengan hanya kepalanya yang muncul untuk bisa
bernafas. Di sanalah kemudian orang Hutu menemukannya.
Mereka mengepung rawa-rawa itu.
Kemudian mereka menyerangnya.
Pertama mereka membunuh bayinya dan anak gadis keponakannya. Ketika selesai, mereka mengejar Alice. Alice merasa ajalnya sudah
dekat, tapi secara instingtif dia mengangkat tangannya untuk mempertahankan
diri.
Emmanuel, teman sekolahnya Alice,
mengenal wanita itu tetapi dia tidak ingat namanya. Mungkin hal itu membuatnya
lebih mudah untuk menghujani wanita itu dengan sabetan goloknya hingga mengenai
lengan kanan Alice, hingga pergelangan tangannya putus. Dia juga melukai
wajahnya. Seorang teman Emmanuel menghujamkan sebuah tombak hingga menembus
punggung kiri Alice.
Mereka meninggalkannya dengan
harapan dia akan mati.
Dia dalam keadaan bersimbah darah,
ketakutan, dan kehilangan sebelah tangan, ya, tapi dia tidak mati. Alice tidak
sadarkan diri, katanya, dan ditemukan tiga hari kemudian oleh mereka yang
selamat. Ketika itulah dia baru menyadari dia sudah tidak punya tangan sebelah
kanan.
Beberapa bulan setelah genosida
tersebut, rasa bersalah menyelubungi Emmanuel. Dia dihantui oleh para
korbannya. Pada tahun 1996, dia menyerahkan diri dan mengakui perbuatannya.
Dia dikenai hukuman penjara mulai
tahun 1997 sampai tahun 2003, ketika Kagame mengampuni orang-orang Hutu yang
mengakui perbuatan mereka. Setelah dibebaskan, dia mulai meminta maaf pada para
anggota keluarga mereka yang menjadi korbannya. Dia bergabung dalam sebuah
kelompok para pembunuh genosida dan mereka yang selamat dari genosida yang
dinamakan Ukurrkuganze, yang hingga kini masih mengadakan pertemuan setiap
minggu.
Di sanalah dia bertemu dengan Alice,
wanita yang dia kira telah mati di tangannya.
Mula-mulanya Alice menghindar. Tapi
pada akhirnya Emmanuel berlutut di depannya dan meminta ampun. Setelah dua
minggu berpikir dan mendiskusikan itu pada suaminya, akhirnya Alice memaafkan.
‘Kami telah mengkiti banyak workshops dan pelatihan-pelatihan dan pikiran
kami kini telah bebas, dan sekarang saya merasa mudah memberi maaf,’ katanya.
‘Al Kitab mengatakan kamu harus memaafkan maka kamu akan dimaafkan.’
Josephine Munyeli adalah direktur
program perdamaian dan rekonsiliasi di Ruwanda untuk Misi Dunia, sebuah kelompok
bantuan berbasis di AS. Sebagai salah seorang yang selamat dari genosida itu
sendiri, Munyeli mengatakan lebih banyak lagi pembunuh dan korban bersedia
berdamai tapi banyak yang tidak tahu siapa yang telah mereka serang dan siapa
yang telah menyerang mereka.
‘Memaafkan itu mungkin saja. Itu
biasa di sini,’ katanya. ‘Dosa itu teramat besar. Ketika seseorang menyadari betapa
besar dosanya maka hal pertama yang mereka lakukan untuk mengurangi rasa
bersalah itu adalah meminta maaf.’
Meski Ruwanda telah membuat kemajuan
signifikan semenjak genosida itu, namun ketegangan-ketegangan etnik masih terus
terjadi. Alice khawatir bahwa sebagian perencana genosida tidak pernah
tertangkap, dan bahwa pesan-pesan yang tidak mengakui adanya genosida masih beredar
di negara itu dari orang-orang Hutu yang tinggal di luar negeri. Dia percaya bahwa
ingatan adalah penting untuk memastikan tidak akan ada lagi genosida.
Bagi Emmanuel, peringatan peristiwa
ini membangkitkan kembali mimpi buruk itu. Dia terlihat seperti seseorang yang
tengah menjalani pengakuan dosa, yang tidak ingin berbicara tetapi dia merasa
harus bicara.
‘Saya selalu bertanya pada diri
sendiri mengapa saya bertindak begitu bodoh, mendengarkan kata-kata hasutan, bahwa
orang itu jahat dan orang ini jahat,’ kata Emmanuel. ‘Orang-orang yang menggerakkan
genosida tersebut adalah orang-orang yang kemudian mengatakan genosida itu tidak
pernah ada.’
Dia, juga, khawatir bara api
genosida itu masih menyala.
‘Masalah ini belum benar-benar selesai,’
kata Emmanuel. ‘Masih ada orang-orang Hutu yang membenci saya karena telah menceritakan
hal yang sebenarnya. Masih ada mereka yang ikut serta di dalam genosida itu yang
hingga sekarang tidak mengakui mereka telah ikut serta.’
http://www.dailymail.co.uk/news/article-2598149/Rwandan-woman-hand-chopped-baby-killed-genocide-20-years-ago-FRIENDS-man-did-it.html
0 comments:
Post a Comment