Pendapat bahwa depresi dan kondisi kesehatan mental lainnya disebabkan oleh ketidakseimbangan kimia
(terutama serotonin dan norepinefrin)
di otak begitu mendarah
daging dalam jiwa kolektif kita
hingga kita seolah-olah kualat untuk mempertanyakannya.
Tentu
saja perusahaan farmasi besar telah memainkan peran penting
dalam melestarikan pendapat di atas. Obat antidepresan, yang didasarkan
pada teori ketidakseimbangan
kimia, menghasilkan $ 10 miliar dolar pasar di Amerika Serikat saja. Menurut CDC, 11 persen orang
Amerika berusia di atas 12 tahun
mengonsumsi obat antidepresan, dan obat-obatan
antidepresan
adalah obat kedua yang paling banyak diresepkan (setelah obat penurun kolesterol). Para dokter
telah secara mengejutkan menulis 254 juta resep untuk
obat anti depresi pada tahun 2010.
Namun bagaimanapun populernya teori ketidakseimbangan
kimia di atas, masih terdapat
banyak masalah. Sebagai
contoh:
- Mengurangi level norepinefrin, serotonin dan dopamin tidak mengakibatkan depresi pada manusia, meski pada hewan tampaknya hal ini memang terjadi.
- Meskipun beberapa pasien depresi memiliki kadar serotonin dan norepinefrin yang rendah, namun mayoritas tidak. Beberapa studi menunjukkan bahwa hanya 25 persen pasien depresi memiliki neurotransmiter ini dalam level yang rendah.
- Beberapa pasien depresi memiliki tingkat serotonin dan norepinefrin yang secara abnormal tinggi, dan beberapa pasien yang tidak memiliki riwayat depresi memiliki serotonin dan norepinefrin dalam tingkat rendah.
Bagaimana jika sebaliknya
depresi malah tidak disebabkan oleh "ketidakseimbangan
kimia"? Lebih spesifik lagi, bagaimana
jika depresi itu sendiri bukanlah penyakit, melainkan gejala dari
sebuah
penyakit lain yang tersembunyi?
Hal inilah yang ingin diungkap oleh sebuah penelitian terbaru tentang depresi. Sebuah teori baru yang disebut "Model Depresi Imun Sitokin" (Immune
Cytokine Model of Depression) menyatakan bahwa
depresi bukanlah penyakit itu sendiri, melainkan sebuah
"tanda multifaset dari aktivasi sistem imun kronis."
dengan kata lain: depresi mungkin merupakan sebuah
gejala dari peradangan
kronis.
Hubungan
antara depresi dan radang (inflammation)
Sejumlah
besar penelitian kini menunjukkan bahwa depresi berhubungan dengan
respon inflamasi kronis tingkat rendah, dan disertai
dengan peningkatan stres oksidatif.
Dalam sebuah
paper tinjauan yang sangat bagus oleh Bark et al, para penulis menghadirkan
serangkaian bukti yang mendukung hubungan antara depresi dan peradangan (inflammatory):
- Depresi sering timbul dalam penyakit inflamasi (inflammatory) akut,.
- Tingkat peradangan (inflammation) yang tinggi bisa meningkatkan risiko meningkatnya depresi.
- Pemberian endotoksin yang bisa menimbulkan peradangan kepada orang-orang yang sehat bisa memicu timbulnya gejala depresi klasik.
- Seperempat pasien yang mengonsumsi interferon, obat yang digunakan untuk mengobati hepatitis C yang menyebabkan peradangan yang signifikan, mengalami depresi berat.
- Penurunan depresi klinis sering dikaitkan dengan normalisasi penanda inflamasi (inflammatory markers).
Selama terjadinya
reaksi inflamasi, zat-zat kimia yang disebut "sitokin" diproduksi.
Zat-zat
kimia ini antara lain termasuk factor tumor necrosis (TNF)α, interleukin (IL)-1, interferon (IFN)ɣ, dan
interleukin (IL)-10. Pada awal 1980-an para peneliti menemukan bahwa sitokin inflamasi menghasilkan
berbagai macam gejala psikiatri dan neurologi yang secara sempurna mencerminkan ciri-ciri tertentu dari depresi.
Yang cukup menarik, antidepresan (terutama
berbagi
jenis SSRI) telah terbukti mengurangi
produksi sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α, IL-1, interferon
IFN-ɣ dan meningkatkan produksi sitokin anti-inflamasi
seperti IL-10. (11, 12) Antioksidan-antioksidan tersebut juga mengubah
ekspresi gen dari
beberapa sel kekebalan yang terlibat dalam proses inflamasi. Hal ini menunjukkan
bahwa berbagai
jenis antidepresan SSRI adalah
bersifat anti-inflamasi, yang akan menjelaskan mekanisme aksi mereka jika peradangan
merupakan pendorong utama dari depresi.
Penelitian tentang topik ini cukup meyakinkan, dan hubungan
antara depresi dan peradangan
kini
semakin nyata. Tapi jika
depresi terutama disebabkan
oleh peradangan, pertanyaan yang jelas yang muncul adalah, "apa yang
menyebabkan peradangan?"
Penyebab
umum depresi dan radang (inflammation)
Jika Anda telah mengikuti blog saya cukup lama, Anda
tentu tahu bahwa peradangan adalah
akar dari hampir semua penyakit modern, termasuk diabetes, Alzheimer, penyakit
jantung, penyakit autoimun,
alergi, asma, dan
radang sendi. Jadi mungkin tidak
terlalu mengejutkan bahwa depresi juga disebabkan oleh peradangan.
Sisi negatif dari hubungan
ini adalah bahwa diet modern kita dan gaya hidup kita penuh dengan faktor-faktor yang bisa memicu timbulnya peradangan—dan dengan demikian menyebabkan penyakit.
Sedangkan
sisi positifnya adalah
bahwa jika kita bisa mengendalikan faktor-faktor
tersebut dan mengurangi peradangan, maka kita dapat mencegah, dan bahkan
membalikkan keadaan, penyakit peradangan kronis yang telah menjadi bagian
dari dunia industri
ini.
Menurut para
penulis paper tinjauan Berk et al yang saya rujuk di atas, di
bawah ini adalah penyebab paling umum dari peradangan yang
berhubungan dengan depresi.
Diet
Ada beberapa masalah dengan
diet modern. Diet modern kaya
akan makanan-makanan yang bisa memicu
timbulnya peradangan, seperti tepung halus, gula berlebih, lemak teroksidasi (tengik), lemak trans,
dan berbagai bahan
kimia dan pengawet. Dan diet
modern tidak banyak mengandung makanan yang mengurangi peradangan, seperti lemak omega-3
rantai panjang, makanan fermentasi, dan serat yang bisa difermentasi. Sejumlah penelitian telah mengaitkan diet
Barat dengan gangguan depresi mayor.
Obesitas
Salah satu konsekuensi yang
paling berbahaya dari diet modern
adalah meningkatnya
obesitas secara dramatis. Obesitas
adalah sebuah kondisi peradangan.
Penelitian telah menunjukkan bahwa tingkat sitokin inflamasi (inflammatory cytokines) yang tinggi pada orang gemuk, dan penurunan berat badan berhubungan dengan
menurunnya sitokin tersebut. Obesitas berkaitan erat dengan depresi, dan meski hubungan tersebut kemungkinan bersifat multi-faktorial dan
kompleks, namun
peradangan tampaknya memainkan peran penting.
Kesehatan
perut
Gangguan dalam microbiome perut (gut microbiome) dan kebocoran pada usus (seperti permeabilitas
usus (intestinal permeability)) telah
terbukti berkontribusi terhadap peradangan dan berhubungan dengan depresi. Misalnya, kebocoran pada usus
memungkinkan endotoksin yang disebut lipopolisakarida
(LPS) untuk keluar
dari usus dan
memasuki aliran darah, di mana LPS
tersebut bisa memprovokasi
pelepasan sitokin inflamasi seperti TNF-α,
IL-1 dan COX-2. Dan banyak
penelitian telah menghubungkan perubahan-perubahan
yang tidak
menguntungkan pada bakteria yang mendiami
usus kita dengan gangguan depresi mayor.
Stress
Stres mungkin
salah satu penyebab paling jelas dari depresi, namun hubungan antara stres dan
peradangan masih kurang dikenal.
Penelitian telah menunjukkan bahwa stres psikososial bisa menstimulasi jaringan sitokin pro-inflamasi,
termasuk peningkatan TNF-α dan IL-1. (18) Peningkatan sitokin inflamasi ini pada gilirannya akan berkaitan erat dengan gejala depresi,
seperti dijelaskan di atas.
Aktivitas
fisik
Ada sejumlah besar bukti
yang menunjukkan bahwa olahraga merupakan pengobatan yang efektif untuk depresi—dalam banyak kasus sama efektifnya atau lebih efektif daripada obat antidepresan. Olahraga juga juga telah terbukti
bisa mencegah depresi pada orang sehat yang belum menunjukkan
gejala
depresi. Yang cukup
menarik, meski
olahraga pada awalnya menghasilkan
sitokin inflamasi yang sama yang berkaitan dengan depresi, namun dengan cepat diikuti dengan induksi zat anti-inflamasi. Ini dikenal sebagai efek hormetik, di mana stressor awal memprovokasi timbulnya respon kompensasi
di dalam tubuh yang memiliki konsekuensi
positif,
jangka panjang.
Kurang
tidur
Kurang tidur
kronis telah terbukti bisa meningkatkan penanda inflamasi bahkan
pada orang yang sehat. Dan meskipun kurang tidur temporer telah digunakan untuk terapi mengurangi depresi, namun
kurang tidur
kronis merupakan sebuah faktor yang
terkenal luas berkontribusi terhadap meningkatnya depresi sedari
awal.
Infeksi
kronis
Infeksi kronis menghasilkan peradangan
yang terus menerus, sehingga tidaklah mengejutkan jika
depresi berhubungan dengan Toxoplasma gondii, virus West Nile, Clostridium difficile, dan patogen lainnya.
Karies
gigi dan penyakit periodontal
Karies gigi dan penyakit periodontal
merupakan sumber lain dari peradangan kronis, dan dengan demikian berpotensi menyebabkan
depresi. Menurut sebuah penelitian besar yang melibatkan lebih dari 80.000 orang dewasa, para peneliti
menemukan bahwa orang yang mengalami depresi lebih
memungkinkan untuk kehilangan gigi mereka bahkan setelah mempertimbangkan
beberapa faktor demografi dan
kesehatan lainnya.
Kekurangan
Vitamin D
Level vitamin D yang rendah umum terdapat
pada orang Barat, dan ada bukti
berkembang yang menghubungkan kekurangan vitamin D dengan depresi. Vitamin D bisa
memodulasi
respon imun terhadap infeksi, termasuk mengurangi penanda inflamasi seperti TNF-α dan IL-1 yang berhubungan dengan depresi. Suplementasi vitamin D
untuk menormalkan level serum 25D telah terbukti bisa mengurangi penanda inflamasi dalam beberapa kasus, tapi tidak semua kasus.
Kesimpulan
dan saran
Hasil temuan tahun 1980-an bahwa
sitokin inflamasi bisa menghasilkan semua tanda-tanda karakteristik dan gejala depresi seharusnya
merupakan sebuah terobosan besar. Untuk
pertama kalinya, para ilmuwan
telah menemukan satu kelas molekul
yang terkait erat dan secara konsisten dengan depresi,
dan, bila molekul tersebut
diberikan pada orang sehat, akan menghasilkan semua gejala yang diperlukan untuk diagnosis depresi.
Sayangnya, teori "ketidakseimbangan kimia" masih terus menjadi paradigma dominan untuk memahami depresi
hampir 30 tahun setelah penemuan yang mendalam ini, meskipun hubungan antara serotonin, norepinefrin,
dan dopamin dan gejala depresi adalah lemah. Mungkin ada beberapa alasan dalam hal ini—dan Anda benar jika Anda menduga bahwa
beberapa dari alasan tersebut adalah alasan finansial—tapi nanti saja kita bicarakan hal ini.
Arti penting dari temuan ini sangatlah besar—baik untuk pasien maupun
untuk dokter. Temuan ini bisa
menggeser fokus kita dari memandang depresi sebagai penyakit yang disebabkan oleh ketidakseimbangan kimia, yang sering membutuhkan medikasi untuk menyembuhkannya, menjadi gejala
dari
sebuah masalah yang lebih mendasar dan mendalam. Pergeseran pandang ini juga akan menimbulkan
cara penanganan depresi yang sama sekali baru—yang banyak di
antaranya lebih efektif dan lebih aman daripada obat
antidepresan.
Memahami akar-akar fisik dari depresi dapat
membawa
dampak yang mendalam pada orang-orang yang menderita
depresi
tersebut. Meskipun stigma
sekitar depresi telah
berkurang dalam beberapa tahun terakhir, namun
masih banyak orang yang mengalami depresi yang masih terbebani oleh pikiran
bahwa ada sesuatu yang salah dengan
mereka, dan depresi yang mereka alami adalah "kesalahan mereka". Ketika pasien
depresi saya mengetahui bahwa
ada penyebab fisiologis
yang mendasari gejala yang mereka alami itu, mereka sering merasa
luar biasa lega dan merasa
mendapat kekuatan. Terlebih
lagi, ketika kami membahas penyebab di balik semua depresi
tersebut, suasana hati mereka
meningkat secara dramatis dan
mereka dengan cepat menyadari bahwa penilaian dari diri mereka sendiri dan rasa malu yang mereka rasakan karena
mengalami depresi adalah
tidak pada tempatnya dan tidak beralasan.
Saya tidak
bermaksud menunjukkan bahwa faktor-faktor emosional dan
psikologis tidak memainkan peran penting dalam depresi. Dalam banyak kasus faktor-faktor tersebut memang berperan, dan saya sudah menulis tentang topik ini sebelumnya. Namun, asumsi mainstream dalam pengobatan depresi yang secara
eksklusif disebabkan oleh faktor-faktor tersebut
jelas tidaklah benar, dan terlalu sering ini faktor-faktor penyebab lain yang potensial mendasari masalah
depresi tersebut malah tidak dikaji. Para dokter meresepkan obat antidepresan, dan
pasien meminum obat tersebut, dan berakhir
sampai di situ.
Dengan dasar
pemikiran
seperti ini, apa yang dapat Anda lakukan jika Anda menderita
depresi? Ikuti dua langkah berikut:
- Jalani diet dan gaya hidup anti-inflamasi. Hal ini berarti membiasakan makan makanan yang kaya nutrisi, memakan makanan-makanan utuh, tidur yang cukup, mengelola stres, melakukan aktivitas fisik yang memadai (tidak terlalu sedikit tidak terlalu banyak), dan merawat perut Anda. Untuk lebih lanjut tentang cara melakukan hal ini, lihat buku saya Your Personal Paleo Code.
- Selidiki penyebab peradangan tersembunyi lainnya. Anda sendiri atau dengan bantuan seorang praktisi fungsional pengobatan yang baik, bisa mengeksplorasi kemungkinan penyebab lain dari peradangan yang dapat berkontribusi terhadap timbulnya depresi. Hal ini termasuk masalah-masalah usus (SIBO, usus bocor, dysbiosis, infeksi, dll), infeksi kronis (virus, bakteri, jamur), kadar vitamin D yang rendah, karies gigi dan penyakit periodontal, eksposur terhadap logam berat dan jamur (mold) atau biotoksin lainnya, gangguan apnea tidur, dan banyak lagi.
Sekarang saya ingin mendengar
dari Anda. Apakah Anda menyadari hubungan antara depresi dan peradangan? Jika tidak,
sejauah
mana pelajaran tentang hal itu
bisa mengubah pandangan Anda terhadap depresi? Apakah
Anda mengalami peningkatan
gejala depresi setelah menjalani diet anti-inflamasi dan gaya
hidup? Silakan tulis di kolom komentar.
( )
http://chriskresser.com/is-depression-a-disease-or-a-symptom-of-inflammation
0 comments:
Post a Comment