Paling tidak tiga kali saya dibuat shock oleh foto berita yang dimuat di halaman depan sebuah surat khabar daerah di kota saya. Foto yang pertama adalah gambar mayat seorang bocah lelaki berusia 12 tahun yang tewas akibat terjatuh dari sebuah pohon tinggi. Surat khabar tersebut memuat fotonya dengan secara frontal, gamblang, dan tanpa ditutupi apapun, sehingga membuat siapa saja yang melihatnya shock, dan ciut hatinya. Mengenaskan. Gambar kedua adalah gambar mayat orang yang tak dikenal yang ditemukan terapung di laut. Keadaan mayat tersebut sudah rusak parah hingga tak bisa dikenali lagi. Tapi surat khabar tersebut memasang gambarnya apa adanya, tanpa ditutup-tutupi, di halaman depan, sebagai berita utama. Mengerikan, membuat teror bagi siapa saja yang melihatnya. Tidak jarang orang jadi tidak enak makan dibuatnya. Gambar ketiga adalah gambar orang sedang menggotong keranda, untuk melengkapi berita kematian seorang tokoh.
Pertanyaan saya adalah apakah pantas, apakah perlu, apakah layak, apakah etis, gambar seperti itu dimuat di surat khabar. Kalau cuma mau memberitakan kematian seseorang cukuplah dengan kata-kata, tidak perlu disertai gambar jenazahnya. Kalau mau disertai gambar, cukup kiranya gambar pas foto orang itu semasa hidupnya, sebagai keterangan tambahan
Apalagi jika orang yang meninggal dunia tersebut sudah jelas identitasnya, hingga tidak lagi diperlukan gambar untuk memperjelas. Akan halnya mayat sang bocah di atas, identitasnya sudah jelas, namanya, dan orang tuanya sudah diketahui, apatah lagi gunanya memajang foto. Sedangkan untuk mayat yang ditemukan di laut itu, memang identitasnya tidak jelas, tapi berhubung karena tubuhnya sudah hancur, maka tidak perlulah lagi memajang fotonya karena siapun tidak akan lagi bisa mengenalinya. Kecuali kalau kita memang sengaja mau menakut-nakuti orang. Memuat foto seperti itu hanya akan menciptakan teror bagi siapa saja yang melihatnya.
Dan pemakaman adalah keniscayaan setelah kematian, dan siapapun tahu bagaimana prosesi pemakaman itu dilakukan, sehingga kita tidak perlu pula memuat foto orang sedang menggotong keranda menuju permakaman.
Memuat foto jenazah di surat khabar berarti mempertontonkan si jenazah tersebut pada orang banyak. Hal tersebut tidaklah etis. Itulah sebabnya jenazah selalu ditutupi sebelum dimakamkan, karena jenazah bukanlah barang tontonan. Di saat keluarga sang almarhum sedang berduka, tidak pantas kiranya kalau kita menjadikan jenazah sang almarhum sebagai tontonan. Apalagi jika kita mengambil keuntungan dari pemuatan foto tersebut.
Tentunya ada batas-batas dalam pemuatan foto berita di surat khabar, dan batas itu salah satunya adalah etika. Untuk memberitakan seorang korban pemerkosaan, kita tidak perlu memperlihatkan foto sang korban karena hal itu akan mempermalukan sang korban tersebut . Untuk memberitakan korban kecelakaan yang tewas, tidak perlu dipajang foto sang korban sedang terlentang berlumuran darah di pinggir jalan, tapi cukup dengan memajang pas fotonya ketika masih hidup.
Berita kematian tentu identik dengan suasana duka, sedangkan membaca berita di surat khabar tidak identik dengan suasana duka karena surat khabar bukanlah melulu wadah untuk berita duka. Adalah tidak etis bila kita menyandingkan sebuah berita gembira dengan sebuah berita duka tentang kematian seseorang secara mengenaskan disertai gambar yang memilukan, misalnya.
Lain halnya kalau itu adalah kematian seorang teroris. Tindakan surat khabar memuat gambar jenazah teroris yang mengenaskan di halaman muka memang disengaja untuk menciptakan kesan mengerikan, sebagai shock therapy betapa mengerikan perbuatan tersebut, untuk membuat orang jera, untuk memperingatkan orang supaya tidak berbuat serupa.
Tentu kita tidak boleh memperlakukan jenazah orang baik-baik sama dengan memperlakukan jenazah para teroris.***
0 comments:
Post a Comment