Pes
(Plague)
Wabah Black Death melanda
Eropa pada tahun 1348. Hanya lima
tahun kemudian, sepertiga dari penduduk benua itu—50 juta orang—tewas. Dan
meski pes tampaknya merupakan penyakit masa lampau—masa di mana seorang
penderita diobati dengan metode pengurasan darah (bloodletting) dan tuam bawang putih, bawang merah dan mentega—namun
kehadirannya masih ada hingga saat ini. Wabah pes bisa dengan cepat menyerang
beberapa ratus orang sebelum bisa dihentikan. Para
peneliti kini mencoba mereka-reka mengapa penyakit ini begitu berbahaya di Abad
Pertengahan, dan mengapa bisa bangkit kembali dan mengancam manusia jaman sekarang.
Untuk menjawab bagian pertama dari pertanyaan
ini, para ilmuwan dari McMaster University di
Hamilton , Ontario ,
baru-baru ini mengurai genome dari bakteria yang menimbulkan wabah Black Death tersebut. Mereka mengebor tisu gigi
lunak (soft tooth) dari empat orang
korban yang berhasil sembuh dari wabah Black Death yang menimpa London di
kompleks pemakaman yang bernama East Smithfield, dan mendapatkan fragmen DNA yang
cukup untuk memetakan full genome
dari penyakit pembunuh tersebut untuk sebuah penelitian dalam Nature.
Apa yang mereka temukan adalah sesuatu yang
sangat aneh. Wabah pes modern, meski tetap mengerikan, namun tidak separah yang
ada dalam Black Death, para peneliti memperkirakan pes modern memperlihatkan
perubahan yang signifikan dalam hal DNA jika dibandingkan dengan versi kunonya.
Namun demikian, pes jaman sekarang sangat berbeda dari nenek moyangnya beberapa
abad lalu. Faktor-faktor yang memungkinkan mengapa wabah pes abad pertengahan
begitu berbahaya adalah termasuk kondisi kesehatan lingkungan pada jaman itu,
dan mungkin penduduk jaman itu secara genetik mempunyai kecenderungan lebih
sensitif terhadap penyakit tersebut. Akan tetapi co-author dari penelitian tersebut Kirsten Bos mengatakan, hingga
sekarang ini, para ilmuwan tidak memiliki gambaran yang lengkap. “Kami tidak
bisa menjelaskan mengapa terjadi bencana kematian yang demikian besar seperti
itu.”
Pes utamanya ditularkan kepada manusia melalui
kutu yang terdapat pada hewan pengerat (rodent).
Wabah pes jaman modern telah terjadi di California ,
New Mexico , dan Colorado , yang disebarkan oleh tikus putih (white rodent). Hot spot lain bagi penyebaran wabah pes modern termasuk negara-negara Amerika Selatan
seperti Equador dan Peru ,
dan sebagian Eropa dan Asia .
Kebanyakan dari wabah pes ini berbentuk wabah pes bubonic plague—jenis yang menyebabkan kelenjar getah bening (lymph nodes) membengkak secara
mengerikan. Karena mudah diobati dengan antibiotik, pes jenis ini jarang
menyebabkan kematian. Tapi jenis pes yang lain—septecemic, yang menginfeksi darah, dan pnemonic, yang menyerang paru-paru—lebih berbahaya. Pes pnemonic (pnemonic plague) menyebar dari manusia ke manusia, dan menyerang
demikian cepat sehingga pasien bisa tewas sebelum obat antibiotk sempat
beraksi. Kalau tidak diobati cepat-cepat, kematian akibat pes pnemonic bisa mencapai 100 persen. “Jika
Anda mengalami wabah pes pnemonic,
maka ini berarti khabar buruk bagi semua masyarakat,” kata Juan Olano, M.D.,
seorang ahli penyakit menular di Universitas Texas .
Sejauh ini pihak penguasa bisa
mencegah timbulnya wabah pes ini. Namun beberapa penyakit lain tidak berhasil
diatasi.
Leptospirosis
Pada tahun 2000, 304 orang
laki-laki dan wanita yang dalam keadaan kesehatan yang prima mendarat di Malaysia untuk melakukan
petualangan yang kemudian akan menjadi sebuah petualangan yang akan mereka
kenang seumur hidup mereka. Mereka melakukan trekking memasuki hutan dan pegunungan, dan menelusuri
sungai-sungai sebagai bagian dari apa yang mereka sebut petualangan Tantangan
Alam (Echo Challenge), sebuah
perlombaan petualangan selama beberapa hari yang disebut-sebut sebagai
perlombaan ketahanan tubuh yang paling keras di dunia. Dan ketika mereka menaiki
pesawat untuk kembali ke negara masing-masing, 29 di antara mereka secara tidak
disadari membawa bakteria berbahaya yang dinamakan Leptospira, dan menjadi sakit secara misterius ketika mereka tiba
di rumah mereka masing-masing.
Leptospira
terdapat pada banyak spesies hewan mamalia. Bakteria ini memasuki sumber-sumber
air melalui urin hewan yang terinfeksi, dan bisa mengenai manusia apabila
mereka meminum air yang terkena infeksi tersebut, atau bisa pula masuk ke tubuh
melaui luka—sesuatu yang sering terjadi pada atlit yang petualang seperti di Malaysia tersebut.
Para atlit yang terkena infeksi tersebut dimasukkan
ke rumah sakit karena mengalami demam, nausea,
dan muntah-muntah sebelum dokter mengetahui apa yang terjadi pada mereka;
untungnya, tidak ada satu pun di antara mereka yang tewas. Namun wabahnya,
terus menyebar ke seluruh dunia—di AS, penyakit ini biasanya timbul pada orang
yang baru saja melakukan perjalanan.
Penyakit berpindah secepat perindahan orang
yang membawanya. Seiring dengan semakin mengglobalnya pergaulan kita, maka kita
memberi kesempatan bagi kuman penyakit untuk berkembang: Kuman-kuman tersebut
bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan kecepatan seperti
kecepatan pesawat jet. “Anda bisa melakukan perjalanan dari London
ke New York
dan membawa infeksi dalam tubuh Anda secara tidak Anda sadari,” kata David
Heymann, kepala Badan Perlindungan Kesehatan Inggris.
Tubuh manusia bukanlah
satu-satunya media perpindahan bacteria penyebab infeksi. “Nyamuk bisa
menyebarkan infeksi ke seluruh dunia,” kata Heymann, sedemikian hebatnya cara
nyamuk menyebar penyakit sehingga timbul istilah “Airport Malaria” (istilah
untuk nyamuk penyebar penyakit yang numpang dalam pesawat terbang). Ketika
nyamuk-nyamuk tersebut turun dari pesawat di bandara yang lain, mereka bisa
menginfeksi seseorang yang belum pernah pergi ke luar negeri sekalipun, kata
Heymann, dan leptospirosis dan
malaria bukanlah satu-satunya penyakit yang semakin berbahaya karena gaya hidup
manusia yang berpindah-pindah secara global.
Demam Berdarah (Dengue Fever)
Pada tahun 1960-an, petugas
kesehatan mengira mereka sudah bisa bernafas dengan lega. Melalui upaya-upaya
pengendalian nyamuk, mereka hampir berhasil membasmi demam berdarah (dengue fever), sebuah penyakit akibat
virus yang ditemukan di wilayah tropis. Secara tiba-tiba pada tahun 1970-an,
penyakit ini muncul kembali. Wabahnya mulai berkembang di sekitar Amerika Latin,
dan menjadi semakin buruk. Pada tahun 1998, timbul pandemi demam berdarah (dengue fever) dan pasangannya yang jauh
lebih berbahaya, yaitu demam berdarah dengue (dengue hemorrhagic fever). Lebih dari sejuta kasus dilaporkan pada
56 negara; sekarang, lebih dari 100 juta kasus terjadi setiap tahunnya.
Kebanyakan orang yang menderita demam
berdarah tidak mengalami gejala apa-apa. Virus-virus tersebut hanya menggunakan
mereka sebagai perantara (carrier).
Ketika pada akhirnya penyakit tersebut menyerang, mulanya adalah seperti sebuah
demam (fever) yang mendadak,
seringkali mencapai 104, 105 derajat F. dua hingga lima hari kemudian, timbul
bintik-bintik merah, disertai sakit kepala, fatigue,
muntah-muntah, dan nyeri sendi serta otot. Kebanyakan penderita penyakit ini
bisa sembuh, namun sejumlah kecil demam berdarah berkembang menjadi menjadi demam berdarah dengue.
Yang mula-mulanya adalah demam berdarah, labu berkembang menjadi fase shock, yang telah menewaskan separuh
dari penderitanya. Tidak ada obat bagi demam berdarah (dengue fever), dan tidak ada vaksin untuk mencegahnya.
Dengue pada awalnya merupakan penyakit di
wilayah-wilayah miskin, kata Heymann. Tapi di India, sebagai contoh, penyakit
ini menjadi penyakit kelas menengah ketika nyamuk berkembang biak di dalam sistem
pendingin ruangan yang terdapat di rumah-rumah penduduk, sehingga menimbulkan
wabah besar. “Di mana saja ada nyamuk yang bisa membawa penyakit, maka mereka
akan menyebarkannya,” kata Heymann. Dan era perjalanan lewat udara ini berarti
bahwa jangkauan penyakit-penyakit seperti dengue kian meluas. “Mengikuti proses
perkembangan dengue hingga menyebar ke seluruh dunia adalah sesuatu yang
menarik,” kata Heymann.
TBC (Tuberculosis)
Tuberculosis telah ribuan tahun menjadi momok
bagi kemanusiaan. Para ahli mengira bahkan
orang Mesir kuno pun pernah menderita penyakit ini, jika dinilai dari
ketidaknormalan tulang belulang yang ditemukan pada mumi-mumi tertentu. TBC
adalah infeksi bakteri pada paru-paru yang ditularkan melalui batuk atau bersin
(sneeze) dari orang yang telah
terinfeksi. Pada satu ketika dalam sejarah, penyakit ini pernah disebut consumption karena menyebabkan tubuh si
penderita melemah (waste away). Penyakit
ini menyebar secara tak disadari di tempat-tempat di mana lingkungan tidak
terjaga sanitasinya, seperti di dalam rumah petak (tenement). Pada peralihan abad ke-20, TBC merupakan penyebab utama
kematian di AS. Dan ketika kondisi lingkungan membaik, penyakit TBC menyerah.
Tetapi tidak selamanya.
Ketika AIDS merebak dengan
dahsyatnya di Amerika Serikat pada tahun 1980-an, TBC tiba-tiba muncul kembali.
Ini terjadi karena AIDS menyerang sistem kekebalan tubuh, yang dengan demikian
menciptakan peluang bagi TBC. “AIDS merajalela selama tahun 80-an dan 90-an,”
kata Olano. “Para pasien sekarat di sana
sini, pengobatan mahal dan tidak mudah didapat, dan tuberculosis tumbuh dengan keadaan yang demikian.”
Karena efek membonceng (piggybacking effect ) ini, sekarang TB menjadi sebuah masalah besar
di Afrika sub-Sahara, di mana AIDS telah membunuh 1,3 juta orang pada tahun
2009 saja. Ahli CDC Dr. Philip LoBue mengatakan bahwa di beberapa bagian negara-negara
Afrika sub-Sahara, adalah hal yang biasa jika 50 hingga 60 persen penderita TBC
juga menderita AIDS.
Dan TBC kini muncul kembali,
virus penyakit ini juga telah mendapat resistensi antibiotika. Mengobati TBC
adalah sebuah upaya yang lama dan rumit, di mana para penderitanya diharuskan
mengkonsumsi sekurangnya empat jenis obat selama sekurangnya enam bulan. Tetapi
di negara-negara yang sumber-sumber kesehatannya buruk, pengobatan secara penuh
mungkin tidak tersedia. Dan jika si pasien hanya mengkonsumsi satu jenis obat
TBC saja, maka bakteria-bakteria yang telah mmenjadi kebal terhadap obat
tersebut akan bertahan dan berkembang biak. Sekarang para dokter berhadapan
dengan tuberculosis yang resisten
terhadap pelbagai antibiotik. Mengobati infeksi penyakit ini sampai sembuh bisa
memakan waktu hingga dua tahun, dan obat-obatan second-line yang harus dikonsumsi mempunyai efek samping yang tidak
menyenangkan.
“Kita tidak memiliki terlalu banyak obat-obat baru untuk mengobati tuberculosis,” kata Olano. “Penemuan besar yang terakhir ada pada akhir tahun 60-an.” Tuberculosis adalah salah satu penyakit yang menghadapi masalah seperti ini—sekarang terdapat serangkaian malaria yang juga resisten terhadap pelbagai obat, dan penyakit yang dulu mudah diobati seperti gonorrhea kini semakin sulit diobati. Tapi bagi banyak penyakit lainnya, keadaan seperti itu tidak berlaku.
Campak (Measles)
Sebagian penyakit muncul lagi karena mereka menjadi resisten terhadap obat-obatan yang kita gunakan untuk mengobatinya. Sebagian penyakit lain bisa dicegah dengan mudah, namun akhirnya muncul kembali karena adanya gelombang ketakutan akan gerakan antivaksinasi yang baru.
Campak begitu menularnya sehingga jika Anda berada di dalam ruangan yang sama dengan penderita penyakit ini, ada kemungkinan 90 hingga 95 persen Anda akan tertular. Penyakit ini pernah menjadi sangat umum terdapat sehingga hampir semua orang mengalaminya pada usia 20. campak bisa jadi serius juga, khususnya bagi anak-anak dan orang tua (elderly) karena penyakit ini bisa menyebabkan tubuh mudah terkena pneumonia.
Vaksin campak mula diperkenalkan pada tahun
1963, dan jumlah penderita penyakit ini menurun dengan cepat hingga akhirnya
musnah dari AS dan negara-negara berkembang lain. Namun beberapa tahun
belakangan, sejumlah wabah kecil dengan jumlah penderita puluhan hingga ratusan
mulai tumbuh kembali. Kebanyakan dimulai dari seorang anak yang orang tuanya
menolak vaksinasi modern, MMR, yang juga melindungi dari penyakit gondok (mumps) dan rubella. Wabah yang berkembang ini menakutkan karena penyakit
kanak-kanak seperti campak dan pertussis,
atau batuk rejan (whooping cough),
bisa mennyerang bukan hanya anak-anak yang belum diberi vaksinasi tetapi juga
orang dewasa, khususnya orang dewasa yang lebih tua. Imunitas kita terhadap
terhadap penyakit yang kita pernah diberi vaksin, kata Olano, mulai melemah
ketika kita berusia sekitar 20. “Itulah sebabnya mengapa wabah penyakit ini
bisa menjadi penyakit publik yang menakutkan.
Sebagian orang merasa takut bahwa vaksin campak
dan penyakit kanak-kanak lainnya bisa menyebabkan autisme, sebuah ketakutan
yang berakar dari sebuah paper penelitian yang kini sudah ditarik yang
diterbitkan pada tahun 1968. “Analisis dalam paper tersebut menakutkan, datanya
dimanipulasi, dan hubungan vaksin dengan autisme itu cuma dibuat-buat,” kata
Olano. “Tapi sekarang tidak mungkin lagi kita bisa meyakinkan orang bahwa
hubungan itu tidak ada.” Pelbagai studi sejak saat itu telah membuktikan bahwa
tidak ada hubungan antara vaksin dengan autisme. Namun rasa takut itu tetap
ada, dan wabah campak kian meningkat.
Tipus (Typhoid)
Para ilmuwan yang bekerja di rumah sakit di pusat kota Kathmandu ,
Nepal ,
baru-baru ini melakukan sebuah pendekatan baru untuk mencoba mengatasi penyakit
yang kini marak kembali ini. Para peneliti
menggunakan Google Maps untuk melacak wabah tipus di wilayah itu. Mereka
menyambangi rumah setiap orang yang terkena penyakit ini dan memetakan lokasinya
denga menggunakan GPS. Kemudian mereka menganalisis genotip(genotype) dari bakteri tifoid dari
masing-masing pasien. Karena tipus, seperti halnya penyakit lainnya, berkembang
sembari menyebar, maka para peneliti bisa menggunakan kombinasi pemetaan DNA dan
pemetaan geografis untuk mengetahui dengan tepat bagaimana cara penyakit ini
menyebar di antara penduduk.
Apa yang mereka temukan ternyata benar-benar mengejutkan.
“Kepercayaan yang timbul adalah bahwa penyakit tersebut menular secara langsung
dari orang ke orang,” kata Stephen Baker, penulis kepala dari studi yang
diterbitkan di dalam Open Biology
tersebut. Baker ketika itu menduga bahwa orang yang tinggal di dalam satu rumah
atau yang mempunyai kontak langsung dengan satu sama lain akan menyandang penyakit
tipus dari jenis yang sama. Tapi nyatanya tidak demikian, “keadaannya lebih acak,”
katanya. Ini berarti bahwa penularan dari orang ke orang yang selama ini
diperkirakan oleh para ilmuwan sebagai cara utama penyakit ini menyebar
tidaklah begitu kritis (critical).
Tipus, yang berasal dari air yang tercemar oleh kotoran
manusia yang terinfeksi, menyebar ke seluruh Eropa hingga pergantian abad
ke-20. Ketika infrastruktur dan kesehatan publik membaik, dan kondisi
lingkungan menjadi lebih sehat, penyakit ini berhasil dientaskan di sebagian
besar Eropa dan AS. Namun pertumbuhan penduduk yang cepat di negara-negara
berkembang mengakibatkan penduduk yang padat tinggal di daerah yang kondisi
lingkungannya tidak higienis, sehingga kini tipus bisa menyerang 21,5 juta
orang per tahun. “Apa yang terjadi adalah meski penyakit ini muncul kembali di
wilayah-wilayah yang padat penduduk di Afrika Selatan, infrastrukturnya tidak
bisa mengatasinya,” kata Baker. “Keadannya seperti menyiramkan minyak pada
api.”
Karena para peneliti sekarang sudah tahu bahwa tipus menyebar
secara hampir eksklusif melalui kontak dengan air yang tercemar—dan bukan dari
orang ke orang—mereka sebaiknya memfokuskan resources
untuk membersihkan wilayah-wilayah yang terinfeksi daripada mencoba menyebarkan
vaksin. “Vaksin itu penting, namun hanya merupakan sebagian cara,” kata Baker.
“Arti dari semua ini adalah bahwa investasi uang dalam jumlah yang besar untuk
melakukan vaksinasi hanya akan bermanfaat jangka pendek, tidak akan mempunyai efek secara jangka
panjang.” (BY STEPHANIE WARREN)
0 comments:
Post a Comment