Hakim tunggal Romel Tampubolon memvonis bersalah AAL (15)
dalam sidang kasus pencurian sandal milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap di
Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (4 Januari 2012), demikian berita
di surat kabar Lampung post hari ini.
Sebelumnya, kasus pencurian sandal oleh AAL ini sempat
menghebohkan, bukan saja warga Palu di mana kasus ini terjadi, tetapi juga
seluruh penduduk negeri ini yang mendengar berita tentang kasus ini dari
pelbagai media. Kasus ini memang sempat mencuat dan menjadi makanan para
pemburu berita.
Kasus tersebut berawal pada November 2010, seperti yang
diceritakan Lampung Post, ketika AAL
bersama teman-temannya melewati jalan Zebra, Palu. Saat melintas di depan
tempat kos Briptu Rusdi, AAL mengambil sandal jepit milik si anggota Brimob
tersebut.
Pada bulan Mei 2011, Briptu Rusdi memanggil dan
menginterogasi AAL sehubungan dengan kasus tersebut—entah mengapa selang waktu
antara kejadian dan pemanggilan ini begitu lama. Dalam interegogasi tersebut
Briptu Rusdi sempat memukuli AAL yang ketika itu masih sudah duduk di bangku
SMK (kejadiannya ketika dia masih duduk di bangku SMP). Tidak puas hanya
menginterogasi dan memukuli, sang polisi ini pun menyeret AAL ke pengadilan.
Dari sinilah heboh itu dimulai.
Sidang pengadilan AAL ini mengundang reaksi keras dari
pelbagai lapisan masyarakat di segenap penjuru negeri ini. Berita mengenai
sidang ini muncul setiap hari, baik di TV maupun di surat kabar. Masyarakat lewat media jejaring
sosial juga ikut meramaikan kasus ini dengan komentar-komentar yang pedas dan
keras. Hampir tidak ada orang yang sadar media yang melewatkan kasus ini.
Pelbagai reaksi kontra bermunculan baik dalam bentuk caci
maki terhadap para penegak hukum, maupun dalam bentuk tindakan konkret. Yang mencaci
maki menyatakan penegak hukum negeri ini tidak adil dan tebang pilih, penegakan
hukum ibarat mata pisau yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, para penegak
hukum tidak tahu yang mana yang semestinya dihukum dan yang mana yang semestinya
dididik dan dibina, para penegak hukum hanya berani membidik kasus-kasus kecil
yang melibatkan orang kecil, sedangkan kasus-kasus besar yang melibatkan orang
besar dibiarkan tak tersentuh. Sedangkan yang bertindak konkret mengumpulkan
sandal pelbagai jenis dan merk untuk diberikan kepada Briptu Rusdi, sebagai
bentuk perihatinan dan sekaligus protes atas perilaku para penegak hukum negeri
ini. Dari gambar-gambar yang ditayangkan TV, ribuan pasang sandal terkumpul
dari pelbagai penjuru tanah air.
Aksi protes dari masyarakat tersebut tentulah bukan
ditujukan untuk mendukung AAL semata, tetapi dalam skop yang lebih luas, untuk memprotes
penegakan hukum di negeri ini secara keseluruhan. AAL hanyalah salah satu
contoh betapa penegakan hukum di negeri ini pandang bulu, tidak berjalan sebagaimana
mestinya, dan melukai hati masyarakat.
Reaksi masyarakat terhadap kasus AAL di atas tentu tidak
dimaksudkan untuk mengintervensi penegakan hukum, apalagi untuk
menghalang-halangi penegakan hukum, tetapi semata sebagai bentuk protes akan
penegakan hukum itu sendiri. Mereka yang melakukan protes tersebut tentu mereka
yang sedikit banyak mengerti hukum. Siapapun, sebagai warga negara yang baik,
tentu tidak bermaksud, dan tidak akan berani menghalang-halangi penegakan hukum,
apalagi masyarakat yang mengerti hukum.
Reaksi masyarakat tersebut adalah uneg-uneg yang telah
sekian lama terpendam yang kebetulan mendapatkan penyalurannya dengan adanya
kasus AAL ini. Sudah lama—semenjak kasus Prita—masyarakat ingin mengeluarkan
uneg-uneg mereka tersebut. Sudah lama masyarakat ingin menyatakan bahwa
penegakan hukum di negeri ini sungguh tidak adil. Dan ketika muncul kasus
seperti AAL ini, maka uneg-uneg tersebut mengalir tak terbendung bak air bah.
Adalah wajar jika masyarakat bereaksi demikian. Mereka tentu
paham betul bahwa hukum memang harus ditegakkan. Mereka tentu setuju bahwa pencurian
yang sekecil apapun, termasuk mencuri sandal, memang merupakan tindak kejahatan
yang harus diadili. Tetapi alangkah baiknya kalau semua pencuri, termasuk
koruptor kelas kakap yang menggondol uang negara ini hingga miliaran rupiah
juga diadili. Dan semestinya, para penegak hukum menerapkan skala prioritas
dalam hal ini, pencurian yang lebih besar mestinya yang lebih dulu diseret ke
pengadilan, baru kemudian pencuri yang kecil-kecil. Jangan hanya pencuri sandal
yang diseret ke pengadilan, sedangkan para koruptor kelas kakap tetap bebas berkeliaran
tak tersentuh hukum.***
0 comments:
Post a Comment