Mungkin guru memang ditakdirkan untuk tidak sejahtera,
selamanya. Dibandingkan dengan anggota DPR/DPRD, pegawai BUMN, pegawai pajak,
hakim, jaksa, polisi, dll gaji guru selalu kalah dalam hal kesejahteraan.
Meskipun ada peningkatan penghasilan seperti yang diberikan pemerintah
belakangan ini, melalui proses sertifikasi, namun hal itu tidak dengan serta
merta menaikkan kesejahteraan guru.
Faktanya, kenaikan harga kebutuhan pokok malah lebih tinggi.
Sebagai contoh, jika tahun 2011 harga beras Rp.6,500 per kilo, kini, tahun 2012,
harganya mencapai Rp.8,500. Itu belum memperhitungkan harga BBM yang rencananya
akan naik pula pada tahun 2012 ini. Dan belum memperhitungkan kenaikan
harga-harga kebutuhan lainnya. Alhasil, jika dikalkulasikan, kenaikan harga
bahan-bahan kebutuhan lebih tinggi dari kenaikan gaji guru PNS. Kenaikan harga
beras tersebut mencapai 30%, bandingkan dengan kenaikan gaji guru PNS yang
hanya 10%. Berarti guru PNS harus berjuang keras menutupi kekurangan yang 20%
itu.
Sudah pun demikian, kenaikan gaji guru, atau peningkatan
kesejahteraan yang diberikan melalui tunjangan, selalu diiringi dengan pelbagai
tuntutan. Kinerja guru selalu diawasi, di-scrutiny,
dikritik, sedemikian rupa hingga guru merasa cemas dan terintimidasi. Kalau
kenaikan tunjangan pegawai lain, yang jumlahnya jauh lebih besar itu, disebut
renumerasi, yang melulu berarti peningkatan kesejahteraan, kenaikan tunjangan
guru kiranya hanya pantas disebut sebagai biaya peningkatan mutu guru, dus pendidikan, bukan peningkatan
kesejahteraan guru atau renumerasi.
Sejak pertama kali sertifikasi guru diadakan, guru sudah
diwanti-wanti agar meningkatkan kualitas kinerjanya, dengan harapan agar mutu
pendidikan juga meningkat. Dengan kata lain, kualitas pendidikan kita dipandang
tergantung sepenuhnya pada guru. Sedangkan murid, sarana prasarana, dan
penunjang lain tidak dianggap sebagai sebuah faktor. Untuk itu guru bahkan sempat diancam;
jika kualitas guru tidak meningkat setelah tunjangan fungsional diberikan, maka
tunjangan tersebut akan ditarik kembali.
Perkara meningkatkan mutu diri adalah sebuah keniscayaan,
sebuah kepastian. Siapapun manusianya, kalau dia masih hidup tentu akan berusaha
meningkatkan mutu dirinya, apalagi guru. Tidak ada manusia yang secara sadar
tidak ingin memajukan dirinya. Tekanan agar guru meningkatkan kualitas dirinya dengan
ancaman akan menghentikan tunjangan fungsional adalah tindakan yang bias, dan sekaligus merupakan pelecehan bagi harga
diri guru. Tindakan tersebut seolah tidak murni untuk meningkatkan mutu pendidikan, melainkan didasarkan pada rasa iri akan kesejahteraan guru, dan seolah tidak rela melihat guru sejahtera. Tindakan tersebut seolah-olah bermuatan kritik bahwa tunjangan
fungsional bagi guru bersertifikat itu terlalu besar, dan guru tidak pantas
menerimanya. Alih-alih meningkatkan kualitas guru, ancaman tersebut hanya akan
menimbulkan kecemasan, perasaan tidak tenang di hati guru dalam menjalankan
tugasnya.
Boleh saja memacu guru agar meningkatkan kualitas dirinya
karena itu memang sesuai dengan tuntutan jaman yang kian maju, tapi mengancam
akan menghentikan tunjangan adalah perbuatan yang sungguh tidak bijaksana. Apalagi
pegawai lain yang terkena renumerasi tidak diancam serupa itu.
Terbetik berita, pada tahun 2012 ini ancaman tersebut is going to be materialized, akan
benar-benar dilaksanakan. Mulai tahun 2012 ini pemerintah berencana mengadakan
penilaian kinerja guru bersertifikat. Untuk itu guru-guru bersertifikat akan di-test, dan bagi yang tidak mendapatkan
nilai yang memenuhi syarat minimal, mereka tidak akan diperkenankan mengajar 24
jam pelajaran. Dan seperti yang sudah ditetapkan, jika guru mengajar kurang
dari 24 jam, mereka tidak akan mendapat tunjangan fungsional yang sebesar satu
kali gaji tersebut..
Jelas ini akan menimbulkan kekhawatiran di pihak guru.
Bayang-bayang tidak lulus pasti menghantui pikiran semua guru yang akan
mengikuti test tersebut, apalagi nilai untuk lulus ditetapkan cukup tinggi,
sehingga, apabila diterapkan secara murni dan konsekuen, mungkin akan lebih banyak
guru yang tidak lulus dibandingkan dengan yang lulus.
Dan kalau ini yang terjadi, sempurnalah teror itu. Dan bukan
tidak mungkin guru akan menjadi tak acuh dan apatis. Bukan tidak mungkin guru
malah tidak akan peduli lagi dengan tunjangan fungsional itu. Bukannya tidak
mungkin guru akan pasrah dan menganggap tunjangan fungsional itu hanya ilusi. Guru
akan sampai pada titik jenuh di mana mereka tidak peduli lagi dengan kesejahteraan.
Guru akan kembali ke mindset awal, stigma
bahwa guru sebagai pegawai marjinal yang jauh dari perhatian soal kesejahteraan.
Dan berdasarkan pengalaman, guru akan menerima apapun yang terjadi dengan lapang dada.
Dan jika ini yang terjadi, guru tidak akan lagi berorientasi
pada mutu dalam pekerjaan mereka karena mereka sudah kadung dicap tidak bermutu.
Wallahu’alam….
0 comments:
Post a Comment