Hutang Kenyamanan


Setiap kali sedang menikmati “kemewahan”; menumpang kendaraan pribadi yang nyaman, berada di ruangan ber-AC, menginap di hotel yang sekelas bintang atau melati, atau menikmati makanan di restoran yang mahal, misalnya, bathin saya selalu terusik. Di dalam hati saya selalu bertanya-tanya, benarkah saya berhak atas semua kenyamanan seperti itu, benarkah kedudukan saya memang layak untuk menikmati pelayanan serupa itu, benarkah saya memang pantas mendapatkannya berdasarkan pekerjaan saya. Meski mobil pribadi yang saya tumpangi bukanlah mobil saya, ruangan ber-AC itu juga bukan milik saya, dan tidak setiap hari saya menikmati makanan di restoran mahal, atau menginap di hotel, tapi dalam hati saya selalu merasa ada sesuatu yang tidak beres, tidak semestinya, tidak layak, dan karena itu saya merasa bersalah, merasa mendapat tekanan bathin.

Ketika sedang menikmati layanan kemewahan seperti itu, saya teringat para pekerja keras nun di luar sana, bermandi peluh; para petani yang sedang bekerja memeras keringat, banting tulang demi untuk sesuap nasi, para buruh bangunan, kuli angkut, nelayan, tukang beca, tukang parkir, dll yang bekerja keras di lapangan terbuka yang ganas, yang sama sekali tidak ada suasana mewah seperti yang sedang saya nikmati itu. Lalu, apakah karena kedudukan saya, saya layak mendapatkan semua kenyamanan seperti itu. Apakah pekerjaan saya, portofolio saya, memang lebih bermanfaat bagi kemanusiaan dibandingkan dengan pekerjaan para pekerja kasar di lapangan itu. Apakah pekerjaan saya lebih mulia dari pekerjaan mereka.

Mereka, para pekerja keras yang membanting tulang itu sesungguhnya lebih pantas mendapatkan semua kenyaman itu sebagai imbalan dibandingkan dengan saya, yang bekerja ringan seadanya. Nature pekerjaan mereka lebih pantas mendapat upah yang lebih tinggi, apalagi mereka yang kadang-kadang mempertaruhkan nayawanya dalam bekerja. Apalah artinya pekerjaan saya yang hanya datang, duduk, menulis, membaca, dan kemudian pulang. Dan dipandang dari sudut kemanusiaan, pekerjaan saya itu kiranya tidak juga cukup penting dibandingkan dengan petani yang menghasilkan beras, atau nelayan yang menghasilkan ikan, atau buruh bangunan yang mendirikan rumah untuk saya huni, misalnya. Sungguh, saya merasa mendapatkan lebih dari yang semestinya.

Orang tua menasehati saya untuk selalu bersyukur, dan itu tentu saya lakukan. Tentu saja saya bersyukur. Tapi dalam hati saya seperti tersayat. Apakah saya bersyukur karena tidak harus bekerja kasar, bekerja keras membanting tulang seperti mereka, yang di lapangan atau di laut lepas itu. Ataukah saya harus bersyukur karena mendapatkan pekerjaan yang lebih berguna untuk kemanusiaan. Ah, rasanya terlalu jauh, absurd, untuk menyebut pekerjaan yang saya jalani ini lebih berguna untuk kemanusiaan. Sejauh ini saya merasa pekerjaan saya lebih berguna untuk diri saya sendiri dibandingkan dengan untuk orang banyak, apalagi untuk kemanusiaan, meski tidak bisa pula dipungkiri bahwa sedikit banyak pekerjaan saya itu berguna pula untuk orang lain, dus kemanusiaan.

Ataukah saya harus bersyukur karena kedudukan saya ini lebih bermartabat, dibandingkan dengan para pekerja kasar? Ah, apa pula martabat itu? Istilah ini  kedengarannya lebih absurd lagi. Naïf sekali kalau pekerjaan saya ini disebut lebih bermartabat hanya karena saya mengerjakannya di belakang meja, bersepatu, berpakaian rapi, kadang berjas kadang berdasi, dan tidak tersentuh sinar matahari pula.

Dan jika saya pikirkan lebih jauh, nyali saya semakin ciut. Martabat saya semakin terdegradasi. Saya merasa berdosa. Saya merasa tidak lebih berguna dibandingkan dengan mereka, para petani dan nelayan itu, meski kedudukan saya seolah-olah menempatkan diri saya pada tempat yang lebih tinggi.

Dan dosa dan rasa bersalah itu akan lebih besar lagi jika saya memanfaatkan kedudukan saya itu untuk memperkaya diri saya sendiri, mengambil yang bukan hak saya, yang tidak secara sah diberikan pada saya sebagai upah, dan tidak pula dengan cara menambah kapasitas kerja saya, sementara mereka, para petani dan nelayan, dan pekerja kasar lainnya tetap berkubang dalam kemiskinan meski mereka bekerja dua kali lebih keras. Mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk memperkaya diri dengan cara tidak sah seperti saya. Mereka tidak punya kesempatan untuk mengakali uang pemerintah. Mereka tidak punya kesempatan untuk me-mark up nilai proyek, mereka tidak pernah punya kesempatan untuk membuat proyek fiktif yang kemudian dananya mereka telan sendiri, padahal mereka, para petani dan nelayan itu, juga rakyat negeri ini, yang juga berhak untuk menikmati uang pemerintah, sama seperti saya.

Sama dengan mereka; petani, nelayan, buruh bangunan, saya juga pernah manjadi pekerja kasar. Saya pernah merasakan situasi yang mereka rasakan. Saya juga pernah merasakan hidup tidak nyaman. Dan jika saya menikmati kenyamaman itu kini, itu adalah hutang saya pada mereka.***

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger