www.123rf.com |
Wacana pendirian
Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Lampung yang dilontarkan oleh beberapa
tokoh Lampung baru-baru ini menarik untuk diperbincangkan. Benarkah Lampung membutuhkan
Fakultas Ilmu Budaya, atau begitu mendesakkah pendirian fakultas tersebut di
provinsi ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang perlu dibahas oleh kita semua seluruh
stakeholder pendidikan di provinsi
ini.
Pendirian sebuah
falkultas mau tidak mau harus dipandang dari sudut kebutuhan real masyarakat karena masyarakatlah
yang akan menggunakan fakultas tersebut nantinya. Pendidikan bukanlah masalah
idealisme semata, tapi juga masalah pragmatisme. Pandangan mayarakat tentang
tujuan pendidikan adalah untuk memperbaiki tarap hidup; untuk meningkatkan
kesejahteraan, atau, tegasnya, untuk mencari kerja. Itulah sebabnya
fakultas-fakultas besar seperti FKIP, Fakultas Ekonomi, Fakultas Teknik,
Fakultas Hukum selalu mendapat serbuan mahasiswa. Sedangkan Fakultas Ilmu
Budaya jarang diminati.
Dibubarkannya Program
Studi Bahasa Lampung di FKIP Universitas Lampung beberapa waktu lalu kiranya
cukup mencerminkan betapa pendidikan di Perguruan Tinggi itu harus disesuaikan
dengan kebutuhan dunia kerja. Program Studi Bahasa Lampung di FKIP Unila
terpaksa dibubarkan karena pemerintah tidak lagi bersedia menampung para
lulusannya untuk dipekerjakan sebagai guru. Meski tenaga mereka tentu saja
diperlukan untuk pelestarian bahasa Lampung, tapi kalau mereka tidak diberi
jaminan pekerjaan dan penghasilan, tentu mereka lebih suka mencari pekerjaan
lain. Dengan demikian hasil studi mereka tentang bahasa Lampung tidak bisa
dimanfaatka secara optimal.
Pihak Unila sendiri
sudah mengeluarkan sinyalemen yang isinya menyatakan mereka bersedia mendirikan
Fakultas Ilmu Budaya asalkan ada komitmen dari pemerintah. Dengan kata lain,
Unila bersedia mendirikan FIB asalkan pemerintah nantinya bersedia menampung
para lulusan fakultas tersebut, karena pihak Unila tentu tidak mau dicap
sebagai Perguruan Tinggi pencetak pengangguran intelektual nantinya.Mengingat
pengalaman dalam pembubaran Program Studi bahasa Lampung yang lalu, pemerintah
yang dimaksud dalam hal ini tentu Pemerintah Provinsi Lampung.
Untuk menampung para
lulusan FIB pemerintah harus mempunyai visi misi budaya yang kuat; pemerintah
harus memandang budaya dan pariwisata sebagai sektor yang strategis untuk
dikembangkan sebagai bagian dari pembangunan. Untuk itulah para lulusan FIB itu
nantinya dikaryakan. Kalau tidak, maka tidak akan ada lowongan untuk lulusan
FIB.
Pertanyaannya,
sanggupkah pemerintah mempekerjakan semua lulusan Fakultas Ilmu Budaya itu
nantinya? Kecil kemungkinan mengingat selama ini perhatian pemerintah terhadap
sektor budaya dan pariwisata sangat kecil. Dan celakanya, para lulusan FIB,
yang biasanya disiapkan sebagai tenaga ahli di bidang bahasa dan budaya seperti
Antropologi Budaya, Arkeologi, Ilmu Sejarah, Pariwisata, Bahasa dan Sastra jarang
diminati oleh pihak swasta. Sedangkan untuk berwiraswasta ilmu-ilmu tersebut
juga tidak mendukung.
Taruhlah nanti Pemerintah
Provinsi Lampung sedia menampung para lulusan FIB sesuai kebutuhan, misalkan
kelak ada angin perubahan yang membuat pemerintah berpaling ke sektor budaya
dan pariwisata, tetapi daya tampung itu tentu terbatas, tidak sebanyak
jurusan-jurusan lain, sedangkan lulusan FIB itu nantinya akan berjumlah
ratusan, mungkin ribuan karena selalu bertambah dari tahun ke tahun.
Dilain pihak, mereka
yang idealistis, yang mengusulkan pendirian fakultas tersebut selalu
berpandangan optimistis. Mereka mengatakan lulusan perguruan tinggi tidaklah
perlu bekerja sebagai PNS, karyawan swasta, atau wiraswasta, tetapi mereka bisa
bergerak di sektor industri dengan menjadi pengusaha. Khusus untuk lulusan FIB
mereka bisa bergerak di sektor industri kreatif seperti menjadi sastrawan,
seniman, budayawan.
Pengalaman kita selama
ini, kalau mau bergerak di sektor industri kreatif bidang seni, seperti menjadi
sastrawan, seniman, bahasawan, atau budayawan orang tidak harus kuliah di FIB. Nyatanya,
banyak sastrawan, seniman, bahasawan dan budayawan kita yang bukan lulusan FIB.
Para penyair dan novelis kenamaan yang kita kenal selama ini kebanyakan bukan
lulusan FIB. Para editor naskah di surat kabar dan penerbit buku juga
kebanyakan bukan lulusan FIB.
Cerpenis dan novelis
kondang di negeri ini berasal dari berbagai latar belakang pendidikan. Salah
satu cerpenis beken yang banyak menghasilkan karya bermutu yang saya kenal
bahkan merupakan lulusan Fakultas Teknik.
Tulisan ini
sekali-kali tidak dimaksudkan untuk menentang pendirian Fakultas Ilmu Budaya,
tapi mari kita berpikir realistis bahwa untuk mengamalkan ilmu itu diperlukan
penopang berupa penghasilan atau income,
dan tidak semua orang bisa mendapatkan income
dari karya kreatif mereka. Taruhlah seorang lulusan FIB bisa menulis novel
yang sangat-sangat bermutu, tapi penerbit mana yang mau menerbitkannya, dan
kalaupun ada yang mau, belum tentu ada yang mau membelinya.
Kita tentu tidak
berharap para lulusan FIB itu nantinya akan menjadi orang-orang yang stress
karena kesulitan mendapatkan pekerjaan, dan tidak laku dalam industri kreatif.
1 comments:
Blog anda sangat bagusss...
Hasilkan Blog Anda Menjadi Mesin Penghasil Uang Dengan Penghasilan 3 Juta - 15 Juta / Minggu, Daftar & Pelajari Segera Caranya Di http://newkerjaonline2014.blogspot.com/
Post a Comment