Saya sudah cukup sering mendengar tentang penyakit epilepsi
atau ayan dari cerita-cerita orang. Konon penderita penyakit ini mengalami
kejang-kejang dan tak sadar diri bila penyakitnya sedang kambuh. Mulutnya
berbusa, mata mendelik, dan keempat anggota geraknya meregang. Dan tubuhnya
berguling-guling di lantai. Melihat seorang penderita ayan sedang kambuh adalah
seseuatu yang surreal dan menakutkan
bagi yang tidak biasa.
Tapi itu tidak pernah saya saksikan sendiri hingga
saya mengenal Alex.
Alex entah dari mana asalnya. Dia datang ke kota
kami ketika dia masih kecil. Dari cerita desas-desus yang kudengar, ibunya
berasal dari kota kami. Saya hanya mengenal ibunya karena dia teman sekolah
saya sewaktu di SD.
Tapi bapaknya entah siapa dan dari mana asalnya. Tak
ada yang kenal siapa bapaknya.
Menurut cerita, bapaknya adalah orang Jakarta. Tapi
Jakarta mana tidak ada yang tahu. Juga apa pekerjaan bapaknya tidak ada yang
tahu.
Yang saya ingat Maria, ibunya, adalah seorang anak
gadis yang cukup cantik pada waktu kami di SD. Tapi di sekolah, di dalam kelas,
dia mengalami kesulitan menangkap pelajaran. Dia sering kali menjadi olok-olok
para guru dan teman-teman sekelas. Berkelahi dengan teman-temannya, laki-laki
mapupun perempuan adalah kebiasaannya jika di sekolah.
Setamat SD, seingatku Maria langsung ke Jakarta. Dia
tak pernah kelihatan lagi batang hidungnya di kota kami. Di antara teman-teman
SD-ku yang kemudian juga menjadi teman-temanku di SMP pula, tak ada Maria di
antaranya.
Kabarnya dia melanjutkan sekolah di Jakarta.
Lama tak terdengar beritanya, kemudian kudengar
pekerjaannya di Jakarta juga tak menentu. Ada yang bilang di sana dia tak punya
pekerjaan yang membanggakan. Kabarnya pula dia di sana bersedia merebahkan
dirinya kepada siapa saja laki-laki yang bersedia membayarnya.
Lalu lama tak kudengar cerita tentang Maria hingga aku
bertemu dengan anak itu. Seorang anak kecil yang tampak tak terurus, dengan
wajah yang penuh noda seperti penyakit kanker kulit yang tumbuh liar hampir
merata di bagian tengah-tengah wajahnya.
Aku tak pernah melihatnya bersekolah. Pekerjaannya
sehari-hari cuma main-main. Keluyuran ke mana dia suka. Kalau malam dia tidur
di sembarang tempat. Di setiap emper toko yang lowong.
Orang-orang mengatakan dia anak Maria yang dibuangnya
dari Jakarta. Tapi bagaimana cerita di balik semua itu tidaklah jelas. Mengapa
dia dibuang. Mengapa kelahirannya seperti tidak dikehendaki.
Saudara-saudaranya Maria yang tinggal di kota kami
tidak ada yang mau peduli. Mungkin mereka tidak mau mengakui keberadaanya
sebagai anak Maria. Mungkin mereka malu dengan keadaan fisiknya. Atau mereka sudah tidak tahan dengan tingkah lakunya yang keras
kepala dan sulit diatur.
Meningkat remaja, Alex masih tetap berada di kota
kami. Mungkin tak ada niatnya kembali ke Jakarta. Mungkin tak ada yang mau
menerimanya di Jakarta. Tidak keluarganya sendiri. Tidak pula ada orang lain
yang bersedia mempekerjakannya.
Soal pekerjaan ini memang situasinya sulit bagi Alex. Di samping penyakitnya itu, perangainya juga tidak mendukung untuk
jenis pekerjaan apapun. Alex orangnya keras kepala, ngeyel, tidak bisa diatur, dan tidak punya selera humor dan mudah
tersinggung. Jangan coba-coba bercanda dengannya karena dia akan menganggapnya
serius, dan bisa membuat dia marah besar.
Tak ada orang yang bersedia menjadi temannya. Tidak
juga menjadi majikannya. Tapi soal makan banyak yang bersedia membantunya.
Katanya ada seorang mantri kesehatan yang sudah tua
yang suka membawakan dia makanan setiap hari. Mantra yang baik hati itu
membawakan dia nasi dan lauk-pauk dalam rantang, atau nasi bungkus setiap kali
dia berangkat ke tempat kerjanya.
Ada pula pemilik rumah makan yang sedia memberi dia
makanan jika dia bersedia membantu apa saja pekerjaan yang ada di rumah makan
itu. Tapi dia tidak pernah mempunyai pekerjaan tetap karena memang tidak ada
yang bersedia menerimanya. Paling-paling orang hanya mau mempekerjakannya
sebagai suruhan.
Saya sendiri cukup sering memberinya uang untuk
membeli makanan barang lima ribu atau sepuluh ribu. Biasanya dia datang padaku
minta tambah uang untuk membeli nasi goreng atau pecel.
Idolanya adalah polisi dan tentara. Setiap kali
melihat polisi atau tentara dia menaruh hormat pada mereka. Dan kalau bercerita
soal polisi atau tentara dia sangat menggebu-gebu dan bangga. Mungkin dia
bercita-cita menjadi polisi atau tentara.
Pernah kudengar cerita pemilik warung makan itu betapa
dia gelagapan dan ketakutan ketika pada suatu hari dia menyuruh Alex turun ke
dalam sumur untuk membersihkan sumur itu. Setelah beberapa lama di dasar sumur Alex merasa lemas dan kelelahan dan minta segera dikeluarkan. Pemilik warung
tanggap, ketakutan, dan berusaha mengeluarkan dia dari dalam sumur dengan
sekuat tenaga. Untunglah dia berhasil diselamatkan. Bayangkan kalau penyakit
ayannya kumat ketika dia sedang berada di dasar sumur.
Kata orang penderita penyakit ayan tidak boleh
dibiarkan berada di sungai atau di dekat api sendirian. Bukan sungai atau api
itu jadi masalah benar tapi kesendirian itu bisa membahayakan nyawa mereka.
Bayangkan kalau penyakit itu kumat ketika dia sedang mandi di sungai sendirian.
Tidak ada orang yang bisa menolongnya.
Baru seminggu setelah Alex muncul di rumahku, meminta
tambahan uang untuk beli nasi, ketika pagi itu kudengar berita tubuhnya
ditemukan mengapung di sungai dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
Aku tidak lagi bertanya mengapa. Hanya do’a yang aku
panjatkan semoga dia diterima di sisi-Nya.
0 comments:
Post a Comment