Kisah keluarga Craftons: 7 Tahun Mengarungi Samudera

SETELAH hidup lebih tujuh tahun di dalam kabinnya yang seukuran kamar hotel, keluarga Crafton tampaknya tidak buru-buru ingin meninggalkan kapal itu sekarang. Di pagi yang lembab, ketika cahaya matahari cerah, mereka berlima—yang hidup berdesakan, hingga bersentuhan lutut—duduk dengan ceria di kapal layar yang telah menjadi rumah mereka semenjak mereka pergi dari dermaga Severna Park ini, tahun 20003 lalu.

Kalena Crafton bergelantungan di tali dan kabel di kapal mereka, disaksikan ibunya. (Kathleen. Marvin Joseph-Washington Post/yahoo.com)
Kalena Crafton bergelantungan di tali dan kabel di kapal mereka, disaksikan ibunya.
(Kathleen. Marvin Joseph-Washington Post/yahoo.com)
Kalena, 18, yang mengalami masa pubertas dan adolesens di kamar ini, matanya tertuju padaslideshow tentang perjalanan mereka di sebuah laptop di atas meja galley di kapal itu. Perguruan tinggi menunggu dia di daratan. Ibunya, Kathleen, menunjuk pada sebuah ukiran Melanesia yang dia dapat dari sebuah pasar pada sebuah persinggahan keluarga itu di pulau-pulau yang sudah tak terhitung jumlahnya; karirnya sebagai seorang perawat akan dimulai lagi minggu depan. Jena, 22, dan Ben, 15, ikut bergabung untuk menceritakan kisah lain tentang petualangan terbesar keluarga itu (seperti bertualang di pegunungan selama tiga hari di Papua Nugini, atau menyaksikan sebuah festival desa yang belum pernah disaksikan orang sebelumnya.

Tom, ayah mereka adalah orang yang paling menikmati di antara mereka semua di dalam ruangan kici seluas 43 foot itu. Jika menuruti kemauan dia, kapal Nueva Vida ini masih ada nun di sana di tengah samudera dan Amerika 2010 harus menunggu.


“Saya pergi ke Wal-Mart pada minggu pertama kami kembali, dan saya harus kembali ke rumah dan tidur,” kata Tom, mengerlingkan mata abu-abu esnya dan bersandar pada sekat kayu jati. “Terlalu cepat perjalanan ini berakhir. Beberapa teman berlayar kami mengingatkan kami untuk kembali. Baby steps, baby steps.”


Kapal keluarga Crafton, Nueva Vida, berlabuh di Fatu Hiva, di kepulauan Marquesas di Polinesia Perancis. (Courtesy of Tom Crafton/yahoo.com)
Kapal keluarga Crafton, Nueva Vida, berlabuh di Fatu Hiva, di kepulauan 
Marquesas di Polinesia Perancis. (Courtesy of Tom Crafton/yahoo.com)


Setelah tujuh tahun di lautan, lima anggota keluarga Crafton kembali ke darat, tetapi secara perlahan-lahan. Mereka tidak mau terburu-buru melupakan kekaguman mereka tentang apa yang pernah mereka alami: sebuah sirkumnavigasi selama 83 bulan, 30.000 mil di bumi dan di tahun-tahun usia gejolak dari anak-anak mereka.

“Kami tampaknya semakin cocok satu sama lain, semakin lama kami berada di laut,” kata Tom yang akan berusia 50 bulan Mei nanti dengan takjub ketika kapal mereka merayab melalui daerah angin mati di wilayah Atlantik khatulistiwa. “Pada hari ketika kami pindah ke kapal itu, pada saat itu juga permusuhan antaranak-anak berhenti. Saya kira mereka tidak pernah mengeluh, tidak sekalipun.”

Istrinya terangguk-angguk pelan akibat gelombang yang diciptakan oleh sebuah kapal kecil yang memutar-mutar di Cattal Creek, di seberang Magothy River. Sang istri mengaku bahwa dia adalah kekuatan di balik keputusan untuk kembali ke rumah pada akhirnya, akan tetapi, dia, juga, akan kembali berlayar lagi—jika saja anak-anak masih muda.


Dari kiri, Jena, 22; Ben 15; Kalena; Tom; dan Kathy di kapal mereka. (Marvin Joseph-Washington Post /yahoo.com)
Dari kiri, Jena, 22; Ben 15; Kalena; Tom; dan Kathy di kapal mereka.
 (Marvin Joseph-Washington Post /yahoo.com)




“Saya tidak akan pernah menukarkan waktu yang kami punya untuk membesarkan anak-anak di luar sana, melihat dunia dengan mata kepala mereka sendiri, selalu bersama-sama 24/7,” katanya. “Tapi sekarang saatnya bagi mereka untuk kembali dan belajar lebih banyak tentang negara mereka sendiri. Mereka harus memulai kehidupan mereka sendiri.”


“Dan lagi pula, kami sudah bokek,” katanya sambil tertawa.





Fokus pada keluarga



Keluarga Crafttons mengorbankan segalanya untuk melakukan pelayaran itu, tapi itulah maknanya. Setelah mencapai dua karir sukses di darat (Kathy sebagai perawat ruang ICU, Tom sebagai seorang psikolog keluarga), pasangan itu menemukan bahwa status rumah besar itu dengan banyak barang-barang membuat mereka merasa kekurangan, menyimpan frustrasi dan keinginan. Dengan keadaan Jena dan Ben yang mengalami keterlambatan perkembangan dan bicara yang signifikan, apa yang kedua orang tua itu benar-benar dambakan adalah hanya sedikit benda dan waktu yang waktu untuk bersama-sama.



“Kami saling pandang ketika itu dan berkata, ‘Apa yang kita lakukan?’” kata Tom

Diperlukan waktu enam bulan untuk melikuidasi harta benda mereka. Pada tahun 2001, mereka telah menjual dua rumah di Alaska dan saham mereka pada sebuah harta keluarga di Severna Park, di mana Tom dibesarkan. Dengan uang hasil penjualan itu, mereka membeli sebuah kapal lintas laut paling tangguh yang bisa mereka temukan, sebuah kapal Hans Christian buatan Taiwan dengan dua tiang kuning, dan mulai berlayar.


Jena, Kalena, Ben dan Kathleen dengan para penari di Papua Nugini. (Courtesy of Tom Crafton /yahoo.com)
Jena, Kalena, Ben dan Kathleen dengan para penari di Papua Nugini.
(Courtesy of Tom Crafton /yahoo.com)




Itu adalah sebuah penyesuian, tentu saja. Mereka banyak mengalami terbentur satu sama lain di tempat tidur yang kecil dan lima angin topan selama satu tahun setengah mereka melakukan persiapan di Florida. Tetapi hampir secara bersamaan, muncul sebuah koregrafi yang instinktif, yang memungkinkan lima orang itu menempati sebuah ruang yang tidak lebih luas dari sebuah minivan.

Ruang yang sempit itu tetap dijaga dari barang-barang tak berguna. Mereka bahkan membuang kulkas kecil, mereka tidak ingin menahan bau mesin kulkas tersebut hanya karena ingin menjaga bir tetap dingin. Di laut, mereka bertahan dengan makan ikan dan makanan kaleng. Di darat, mereka dengan suka cita menumpang bis oplet ke pasar, berbaur dengan kehidupan setempat. 

Mereka mengelilingi Amerika selama dua tahun, akhirnya menyeberangi terusan Panama pada tahun 2006. ini adalah pelayaran laut biru yang sebenarnya, berlayar sejauh bermil-mil selama berbulan-bulan di antara pulau-pulau di Kepulauan Pasifik. Vanuatu, di mana orang-orangnya memiliki sedikit barang dan mempunyai banyak senyum, adalah salah satu tempat favorit mereka. Mereka tinggal di sana selama tiga bulan.

“Mereka adalah orang yang paling bahagia di dunia,” kata Tom. “Hal itu menambah kuat kepercayaan kami bahwa meluangkan waktu bersama keluarga adalah lebih penting daripada perburuan membabi buta akan harta benda,” katanya.

Ada jeda, selama 18 bulan di sebuah pelabuhan di Selandia Baru. Mereka seharusnya sudah tinggal di sana secara permanen kalau tidak ada banyak kesulitan birokrasi dan biaya hidup. Untuk membeli sebuah rumah berarti harus menjual kapal, dan itu bukanlah pilihan. “Kapal itu adalah anggota keluarga kami sekarang,” kata Kathy.

Dan dengan demikian mereka berlayar ke arah barat. Bahkan sekarang, mereka mementingkan diri untuk berkumpul menyaksikan sunset bersama-sama, dan bangun pagi-pagi untuk melihat matahari terbit.

Di banyak tempat, mereka berbelanja makanan segar dari perahu-perahu yang mengelilingi mereka ketika mereka singgah di sebuah pelabuhan di sebuah pulau. Setumpuk pisang dan segunung ikan bisa dimiliki dengan menukarkan sebuah botol plastik kosong, yang sangat diperlukan untuk tempat penyimpanan di tempat-tempat di mana segala sesuatunya bersifat
biodegradable.

Tetapi bukan hanya mangga dan papaya. Makanan Pasifik mereka juga termasuk buah pinang, kava (halusinogen untuk seremoni), usus ikan dan, kadang-kadang pada waktu tertentu, anjing dan kelelawar. Pada musim semi yang lalu, selama 43 hari terakhir pelayaran mereka dari Pulau Ascension menuju Charleston, S.C., mereka hampir secara keseluruhan hanya makan ikan tuna kaleng.

“Ascension adalah tempat paling buruk untuk mencari perbekalan,” kata Tom. “Tempat itu seperti gurun pasir dengan gunung-gunung berapi.”

 Mereka menghabiskan waktu berjam-jam di toko grosir yang pertama itu di Charleston. “Oh my God, Pop Tarts!” seru Kalena yang pergi dengan Kali


Masih bersama

Mereka sudah selesai. Meskipun Tom masih merindukan hari-hari itu ketika musim badai hanya satu-satunya yang mereka temui, meskipun dia didera oleh kelelahan emosional menghadapi kemungkinan petaka dari bulan ke bulan, berhubungan dengan sanak kerabat dan teman-teman dengan e-mail yang gencar mereka kirim melalui radio berfrekuensi tinggi.

Setelah tujuh tahun tanpa menggunakan kartu kredit, mereka langsung berutang pada hari ketika mereka tiba di Amerika Serikat, membayar biaya pelabuhan pada saat mereka tiba. Beberapa minggu setelah tiba di rumah orang tua Tom di Severna Park, mereka masih menceritakan satu sama lain tentang babak-babak yang mengesankan dalam sejarah keluarga mereka itu.

Laut yang paling tidak disukai: lautan India yang mengalami turbulensi (mereka menyebutnya “mesin cuci”). Pengalaman terburuk di darat: ketika jeep yang mereka kemudikan terperosok di jembatan di sebuah gunung New Guinea yang terjal. Orang paling kasar yang ditemui: beberapa hari setelah tiba di Maryland, ketika seorang pemilik kapal yang senewen mengingatkan Jena dan Ben untuk menyingkirkan perahu dayung mereka.

“Saya tidak ingat ada kata-kata kasar di tempat lain sepanjang perjalanan kami,” kata Tom. “Kami harus belajar kembali keadaan di sini.”

Dan mungkin mengajar juga. Tom pikir pengalaman yang mengapungkan keluarganya secara begitu mendalam bisa menjadi model untuk siapa saja yang mencari model pelayaran dengan fokus keluarga untuk mengarungi dunia. Dia sedang menulis sebuah buku dan mengharap akan ada yang mengundangnya berbiacara dalam forum publik.



Untuk sekarang ini, mereka berencana untuk tinggal di rumah kepompong mereka yang mengapung itu. Tom akan memberikan  home-school untuk Ben; Kathy akan memulai pekerjaan sebagai seorang perawat di Baltimore pada bulan Agustus. Jena telah bergabung dalam sebuah paduan suara gereja di pinggir jalan. Kali, yang telah berevolusi dari seorang penumpang berusia 11 tahun menjadi seorang pelayar utama, petualang multilingual dan seorang penulis esai yang akan diterbitkan (Crusising World,
Agustus 2010), sedang menanjak menuju tempat peluncuran. Dia mendaftar ke sebuah perguruan tinggi, bekerja paruh waktu, dan mulai bertemu teman-temannya dan menjauh dari kehidupan di dua tiang kapal itu.

“Menyenangkan bisa membuat beberapa rencana jangka panjang, ya, daripada berganti-ganti negara setiap bulannya,” katanya. Dengan wajah yang berbintik samar dengan senyum yang ramah, dia adalah jelmaan dari sebuah lukisan Norman Rockwell, kecuali untuk pacar berantai yang merambat di mata kakinya. “Menyenangkan bisa mendapat tempat tinggal,” katanya.

After spending most every night of the past seven years sharing a V-shaped mattress in the bow compartment with her sister, last week Kali spent her first night ashore in her grandparents’ air-conditioned guest room. It was very still, very roomy and very lonely.

Setelah hampir setiap malam selama tujuh tahun berbagi bersama-sama dalam kasur berbentuk V di dalam kompartemen beratap rendah dengan saudaranya, minggu lalu Kali menginap di daratan untuk yang pertama kalinya di kamar tamu ber AC milik kakeknya. Kamar itu terasa sangat tenang, sangat luas dan sangat sepi.

“Saya merindukan kapal itu,” katanya. “Saya merindukan bersama-sama mereka.”

(
Steve Hendrix , Washington Post Staff Writer, Sunday, August 1, 20100 (yahoo.com)


comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger