Di sisi lain, cerpen
yang mengandalkan kekuatan seni bercerita adalah cerpen yang mengutamakan kepintaran
penulisnya dalam bercerita. Cerpen-cerpen seperti ini memukau pembaca dengan keasyikan
mengikuti liku-liku cerita, yang sering kali tidak liner, berliku, mundur maju,
melompat-lompat, dan menimbulkan teka-teki. Cerpen yang mengandalkan kekuatan
cerita mempunyai daya tarik yang kuat pada cara bercerita itu sendiri daripada
pada cerita yang ingin disampaikan. Cerpen seperti ini menggunakan kata-kata
yang sederhana, lugas, dan apa danya. Cerpen-cerpen yang ditulis para sastrawan
umumnya adalah cerpen yang mengandalkan kekuatan seni bercerita seperti ini.
Kekuatan seni bercerita pulalah yang membuat novel-novel detektif dan film-film
thriller ala Hollywood menjadi menarik.
Menurut majalah Tempo,
yang ditulis dalam sampul belakang buku ini, kumpulan cerpen A.S. Laksana ini
“mengembalikan kekuatan seni bercerita,” (mungkin menurut majalah ini kekuatan
seni bercerita itu telah lama hilang dari khasanah sastra Indonesia). Dan itu memang
terasa ketika saya membaca cerita-cerita yang ada dalam buku ini. Dari 20
cerpen yang ada dalam buku ini semuanya diceritakan dengan gaya yang menarik. Di
samping itu, kekuatan seni bercerita dalam cerpen-cerpen dalam buku ini terlihat
pada teka-teki yang ditimbulkannya di hati pembaca, yang membuat pembaca
bertanya-tanya hingga tak bisa tidur setelah selesai membacanya.
Tidak ada satupun
cerpen dalam buku ini yang asyik masyuk dengan eksplorasi kebahasaan; yang
mabuk kepayang dengan gaya penulisan yang puitis. Semua kalimat-kalimat yang
terangkai sambung menyambung hingga membentuk satu kesatuan yang utuh yang
disebut cerpen dalam buku ini mempunyai kekuatannya sendiri-sendiri.
Masing-masing kalimat adalah sebuah cerita, bukan untaian puisi.
Dan kekuatan penceritaan
dalam kumpulan cerpen ini juga didukung oleh pilihan kata-kata yang sederhana dan
sehari-hari namun tegas. Dalam hal ini, A.S. Laksana lebih suka menggunakan
kata ‘mati’ daripada ‘meninggal dunia,’ kata ‘berak’ daripada ‘buang air besar,’
‘kuburan’ daripada ‘makam,’ misalnya.
Namun teka-teki yang
terkandung dalam cerpen-cerpen dalam buku ini tidak ada yang mudah dicerna.
Masing-masing cerita meninggalkan tanda tanya di hati pembacanya. Misalnya,
apakah isi surat Alit dalam cerpen ‘Ibu Tiri Bergigi Emas,’ yang dijadikan
pembuka dan penutup cerpen ini. Tidak mudah menebak apa isi surat tersebut, dan
dalam bagian penutup cerpen ini hanya disebutkan,….”Sampai bertahun-tahun nanti, isi surat itu akan tetap menjadi rahasia
yang dipegang hanya oleh Alit dan ayahnya. Tak ada yang tahu selain mereka
berdua.” Sayang, pembaca kebanyakan juga mungkin tidak tahu apa isi surat
itu, padahal justru surat itu adalah daya tarik dari cerpen ini karena dalam
surat itu tersimpan rahasia mengapa Alit sampai pergi meninggalkan rumah dari
ayah dan ibu tirinya.
Juga, siapakah lelaki
yang mati dalam cerpen ‘Seorang Lelaki Tertelungkup di Kuburan’ itu? Cerpen ini
mengisahkan para korban tsunami Aceh tahun 2004. Dan sudut pandang cerita ini
adalah dari laki-laki yang mati tertelungkup di kuburan itu sendiri, yang
justru membuat pemahaman menjadi bertambah rumit. Bayangkan, si laki-laki yang
mati itu sendiri yang menceritakan kematiannya untuk pembaca! Juga mengapa Fira
dan atasannya di tempat kerja bisa bertukar tubuh, yang perempuan jadi lelaki,
yang lelaki jadi perempuan, dalam cerpen ‘Dongeng Cinta yang Dungu,’ sehingga
membuat orang terkecoh mengira atasannya sedang memeluk Fira, padahal Fira
sedang memeluk dirinya sendiri.
Walhasil, semua cerpen
dalam buku ini asyik dibaca namun masing-masing meninggalkan teka-teki yang
sulit dijawab, yang menghendaki para pembaca memecahkannya sendiri. Diperlukan kecerdasan
dan imajinasi yang luar biasa untuk memahami cerita-cerita dalam buku ini. Dan maafkan
saya jika tidak cukup cerdas.***
0 comments:
Post a Comment