Gambar dari University of Idaho ini menunjukkan para tawanan Jepang yang berada di kamp Kooskia selama Perang Dunia II. (AP Photo/University of Idaho) |
Jauh di pegunungan di Idaho utara,
bermil-mil jaraknya dari kota terdekat, terdapat setumpuk bukti-bukti dari
seporsi kecil sejarah Amerika yang jarang diketahui orang.
Tidak ada bangunan, tanda-tanda atau
petunjuk yang menunjukkan apa yang telah terjadi di tempat tersebut 70 tahun
yang lalu, namun para peneliti yang memilah-milah tanah di tempat itu telah menemukan pecahan porselen, botol-botol obat lama dan karya
seni yang hilang yang merupakan petunjuk lokasi kamp tawanan yang pertama di
mana pemerintah AS menggunakan orang-orang keturunan Jepang sebagai tenaga
kerja selama Perang Dunia II berlangsung.
Sekarang, sebuah tim peneliti dari
Universitas Idaho ingin memastikan bahwa kamp tawanan Kooskia tersebut tidak dilupakan dari sejarah.
“Kami ingin orang-orang tahu apa
yang terjadi, dan memastikan kita tidak mengulanginya kembali,” kata profesor
antropologi Stacey Camp, yang memimpin
penelitian tersebut.
Ini adalah sebuah misi penting, kata
Charlene Mano-Shen dari Wing Luke Museum
dari Asian Pacific American Experience
di Seattle.
Mano-Shen mengatakan kakeknya
dipaksa masuk kamp di dekat Misoula, Montana, selama Perang dunia II, dan
sebagian dari respon negara AS terhadap serangan teroris pada tanggal 11
September telah membangkitkan kembali memori dari para tawanan Jepang. Muslim,
katanya pada hari Kamis lalu, “telah dimasukkan dalam daftar FBI dan ditahan
dengan cara yang sama dengan mereka menahan kakek saya dahulu.”
Setelah serangan yang mengejutkan
atas Pearl Harbour menjerumuskan AS ke dalam perang dunia, sekitar 120.000
orang keturunan Jepang yang tinggal di Pantai Barat dikirim ke kamp-kamp tawanan.
Hampir dua pertiga di antaranya adalah warga negara AS, dan banyak di antaranya
adalah anak-anak. Dalam banyak kasus, mereka kehilangan segalanya yang telah
mereka dapat selama mereka bekerja di AS dan dikirim ke kamp-kamp penjara yang
berada di tempat-tempat terpencil yang beriklim ganas.
Penelitian seperti riset arkeologis
yang dilakukan di Kooskia (KOO'-ski) adalah vital untuk mengenang apa yang
telah terjadi, kata Janis Wong, direktur komunikasi pada Museum Nasional Jepang
Amerika di Los Angeles.
Orang harus mampu “untuk secara
fisik melihat dan mengunjungi lokasi-lokasi kamp tersebut,” kata Wong.
Situs-situs raksasa di mana ribuan
orang ditahan—seperti Manzanar di California, Heart Mountain di Wyoming dan
Minikoda di Idaho—sudah cukup terkenal. Namun Camp mengatakan bahkan penduduk
setempat pun hanya tahu serba sedikit tentang kamp Kooskia yang kecil tersebut,
yang beroperasi dari tahun 1943 hingga perang berakhir dan menampung lebih dari
250 orang sekitar 30 mil dari kota kecil yang bernama sama, dan sekitar 150 mil
dari Spokane, Washington.
Kamp tersebut merupakan tempat
pertama di mana pemerintah AS menggunakan para tahanan sebagai pekerja,
mempekerjakan mereka sebagai kuli dalam proyek pembangunan jalan raya U.S
Highway 12, yang melewati area pegunungan yang curam di wilayah tersebut.
Laki-laki dari kamp-kamp lainnya datang ke Kooskia secara suka rela karena mereka ingin menyibukkan diri dan mendapat sedikit uang dengan cara bekerja membangun jalan raya tersebut, kata Camp. Sebagai akibatnya, penduduk di sana semuanya laki-laki, dan kebanyakan terdiri dari imigran dari Jepang yang yang baru datang yang belum menjadi penduduk AS ketika itu.
Para pekerja ketika itu bisa menghasilkan $50 hingga $60 sebagai upah, kata Priscilla Wegars dari Moscow, Idaho, yang menulis buku tentang kamp Kooskia.
Kooskia adalah salah satu dari beberapa kamp yang dioperasikan oleh Dinas Naturalisasi dan Imigrasi AS ketika itu yang juga menerima orang keturunan Jepang yang berasal dari negara-negara Amerika Latin, kebanyak dari Peru, kata Camp. Namun kamp tersebut sangatlah kecil dan terlalu terpencil sehingga tidak pernah dikenal sebagaimana kamp-kamp yang besar yang masing-masing menampung sekitar 10.000 orang.
“Saya mengetahuinya, tapi saya tidak tahu banyak tentangnya,” kata Frank Kitamoto, presiden Komite Memorial Amerika Jepang Bainbridge Island, yang berbasis di Puget Sound, Washington, yang bekerja untuk memelihara kesadaran masyarakat akan adanya kamp tersebut.
Setelah perang usai kamp tersebut dibongkar dan dilupakan. Dengan menggunakan dana dari berbagai hibah, Camp pada tahun 2010 memulai pekerjaan arkeologis untuk pertama kalinya di situs tersebut. Sebagian artefak, seperti porselen pecah dan kancing-kancing baju, berserakan di atas tanah, katanya.
”Untuk menemukan benda-benda di permukaan tanah yang belum dijarah sangatlah langka,” katanya.
Camp memperkirakan pekerjaannya di situs tersebut baru bisa berakhir satu dekade lagi. Timnya ingin menciptakan sebuah gambaran yang akurat akan kehidupan para tahanan di dalam kamp tersebut. Dia juga ingin memasang tanda-tanda petunjuk untuk memberitahu lokasi kamp tawanan tersebut.
Artefak-artefak yang telah ditemukan sejauh ini termasuk pernak-pernik Jepang yang terbuat dari porselen, peralatan gigi dan alat main judi, katanya. Mereka juga telah menemukan karya-kayra seni yang diciptakan oleh para tahanan.
“Meski itu merupakan sebuah pengalaman yang mengerikan, namun orang-orang yang tinggal di dalam kamp-kamp tersebut melawan dengan cara yang menarik,” katanya. “Orang-orang yang tinggal di dalam kamp tersebut mereka-reka cara-cara kreatif untuk menghabiskan waktu ketika itu.”
“Mereka mencoba membuat tempat tersebut sebagai rumah mereka,” katanya.
(NICHOLAS K. GERANIOS July 27, 2013)
http://news.yahoo.com/researchers-uncover-little-known-internment-camp-170350272.html
0 comments:
Post a Comment