“Saya bisa saja membunuhnya, atau merenggutmu dari dia. Tapi untuk apa. Dua-duanya tidak akan menyebabkan kamu menjadi milikku,” kata seorang tokoh dalam film ‘Notebook’—kalau tidak salah itu judulnya—demi mendapati sang kekasih, calon istrinya, berselingkuh dengan pria lain. Dalam posisinya, sang tokoh tersebut lebih kuat dan lebih berpengaruh daripada sang lelaki pesaingnya. Namun, pada akhirnya, dia melepas sang kekasih, calon istrinya tersebut, ke tangan orang lain, dengan damai.
Sungguh mengesankan apa yang dikatakan sang tokoh dalam film itu. Saking terkesannya saya masih terngiang-ngiang sampai sekarang. Sungguh bijaksana orang yang bisa berkata demikian. Perkataan demikian tentulah hasil dari pikiran yang panjang dan luas, yang merupakan produk dari sebuah budaya dan pendidikan modern. Hanya orang yang berpendidikan modern dan berpikiran luas yang bisa berkata seperti itu.
Perkataan sang tokoh dalam film tersebut pulalah yang selalu terngiang dalam ingatan saya setiap kali saya mendengar berita kriminal, seperti penganiayaan dan pembunuhan, yang disulut oleh api cemburu, atau berita-berita soal keributan akibat cemburu lainnya; Seorang suami membunuh pria pasangan selingkuh istrinya; Seorang istri membunuh suaminya karena cemburu; Atau seorang pemuda menyerang pemuda lainnya karena kekasihnya direbut oleh si pemuda tersebut.
Seperti berita yang baru saya dengar beberapa hari lalu, seorang suami membunuh pasangan selingkuh istrinya di tempat tidur, ketika tertangkap basah sedang berduaan dengan istrinya. Tentu saya bisa memahami perasaan sang suami demi mendapati istrinya sedang berduaan di tempat tidur dengan lelaki lain. Namun tentunya akan sangat mengesankan dan elegan jika sang suami tersebut bisa menahan diri, menyelesaikan masalah itu dengan kepala dingin dan pikiran bijaksana. Dan hal itu justru akan menempatkan dirinya pada posisi yang tinggi dan terhormat.
Tidakkah sang suami pernah menonton film tersebut di atas. Tidakkah sang suami pernah mendengar perkataan sang tokoh dalam film di atas. Atau mendengar perkataan yang sudah klise namun populer di kalangan bangsa Indonesia bahwa cinta tidak berarti harus memiliki. Bukankah perbuatan sang suami tersebut membunuh pasangan selingkuh istrinya tidak akan membawa istrinya kembali kepadanya secara hakiki. Bahkan hanya sebuah kesia-siaan.
Dan konyolnya lagi, mengapa hanya si lelaki itu yang dipersalahkan—yang dibunuh—sedangkan perbuatan selingkuh tersebut tentu tidak akan terjadi kalau hanya sang lelaki itu yang menginginkan—lain halnya dengan pemerkosaan, misalnya.
Semua itu tentu berangkat dari konsep cinta dan kasih sayang dan harga diri yang seringkali ditafsirkan berbeda-beda antara orang yang satu dengan orang yang lainnya. Sebagian besar orang menganggap cinta, apalagi cinta yang diikat dalam pernikahan, adalah komitmen untuk saling memiliki sehidup semati. Sehingga kalau ada salah satu pihak yang melanggar kesepakatan itu, fatal akibatnya. Konsep cinta untuk saling memiliki satu sama lain secara konkret (secara lahir) tentu adalah sebuah konsep yang salah. Faktanya, kita tidak bisa memiliki sesuatu benda pun secara hakiki kecuali sesuatu yang melekat di tubuh kita. Sedangkan benda lainnya, apalagi kalau benda hidup, yang kita sebut milik kita, adalah makhluk lain yang kebetulan pernah singgah pada kita.
Perpisahan dengan benda-benda yang kita sebut milik kita tersebut adalah sebuah keniscayaan, sesuatu yang pasti terjadi, cepat atau lambat. Dan perpisahan itu terjadi dalam berbagai bentuknya; kehilangan, kematian, atau direnggut orang lain, misalnya.
Banyak orang yang tidak bisa menerima keadaan perpisahan seperti itu, dia berpikir bahwa orang tersebut ditakdirkan sebagai miliknya, dan miliknya yang hakiki, untuk selamanya. Tapi bisakah dia membuktikan bahwa benda atau orang tersebut ditakdirkan (oleh Tuhan) sebagai miliknya yang hakiki, tentu tidak. Benda apa pun, apalagi makhluk hidup, diciptakan oleh Tuhan atau dengan adanya intervensi dari Tuhan, dan Tuhan meniupkan takdir dalam setiap benda atau makhluk hidup ciptaan-Nya tersebut. Dan kalau benda-benda atau makhluk hidup tersebut singgah di tangan kita, tentu itu adalah bagian dari takdir Tuhan tersebut, namun kita tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubahnya, ketika suatu saat benda tersebut terenggut dari tangan kita.
Banyak pula orang yang berpikir cemburu adalah masalah harga diri. Membiarkan istri berselingkuh dengan lelaki lain, membiarkan miliknya disentuh oleh orang lain, adalah sebuah perbuatan yang memalukan, yang menjatuhkan harga diri. Tentu tidak salah berpikir demikian. Tentu tidak salah pula kita bertindak mengatasi masalah tersebut. Tetapi menyingkirkan orang lain dengan cara membunuhnya supaya dia tidak bisa mendekati istri kita lagi adalah sesuatu yang absurd, konyol dan tidak bijaksana.
Perselingkuhan dalam keluarga adalah sesuatu yang memalukan. Namun yang berhak disebut memalukan adalah si pelaku perselingkuhan itu; yang harga dirinya jatuh adalah si pelaku, bukan suami atau istri si pelaku itu. Kalau seorang istri berselingkuh dengan lelaki lain, kemudian ketahuan, yang malu adalah si istri yang berselingkuh itu tentu saja; yang jatuh adalah harga dirinya, bukan suaminya. Dalam hal ini, mengapa sang suami harus membunuh.
Benar, sang suami tersebut ikut menanggung malu, juga anak-anaknya, dan keluarga besar mereka semua, tetapi membunuh pasangan selingkuh istrinya tidaklah bisa mengobati rasa malu itu, malah akan menambahnya.
Salut atas sikap yang ditunjukkan oleh suami Cut Tari. Dia telah menunjukkan sikap yang sepatutnya sebagai seorang suami dalam menghadapi situasi seperti itu. Suami Cut Tari telah menunjukkan kedewasaannya menghadapi perkara serupa itu, meski di tengah-tengah cibiran dan kernyitan dahi banyak orang. Sikap suami Cut Tari yang tetap mempertahankan rumah tangganya adalah cerminan dari sebuah pemahaman yang mendalam tentang cinta dan konsep saling memiliki antarsuami-istri.***
0 comments:
Post a Comment