http://sgstb.msn.com/i/E8/43FFB4D4F06475C4E6888DDFDEC066.jpg |
SARLITO WIRAWAN SARWONO dalam sebuah wawancara pagi di TV One, Sabtu, 2 Oktober 2010, mengatakan, media massa, khususnya televisi mempunyai andil dalam memicu terjadinya kekerasan massa, dan tindakan yang anarkistis, seperti tawuran antarkelompok, pengeroyokan, atau peristiwa perang antarsuku seperti yang baru-baru ini terjadi di Kalimantan.
Sarlito berbicara dalam konteks kekerasan yang sedang marak terjadi di Indonesia, yang terjadi secara beruntun, susul menyusul antara kejadian yang satu dengan kejadian lainnya, seperti kasus kekerasan antara masyarakat dengan polisi di Buol, Sulawesi Tengah, kasus kerusuhan antaretnis di Tarakan, Kalimantan Timur, kasus bentrokan antarmassa di depan gedung pengadilan yang menyidangkan kasus Blowfish di Jakarta Selatan, kasus pembakaran dan perusakan sarana ibadah kaum Achmadiyah di Bogor, dan lain-lain.
“Efek media massa , khususnya televisi, sangat luas. Orang-orang banyak terinspirasi dari apa yang mereka lihat di TV. Bukannya televisi tidak boleh memberitakan peristiwa-peristiwa kekerasan seperti itu, tetapi hendaknya dibatasi, jangan menayangkan gambar-gambar yang bersifat provoking,” kata Sarlito.
Dalam kesempatan yang sama, Jaya Suprana, yang pagi itu juga bertindak selaku narasumber, mendampingi Sarlito, ikut menekankan betapa media massa mempunyai efek yang sangat besar. “Dalam Perang Dunia II, sebenarnya, Jepang sudah berhasil membom Pesisir California di AS, sebelum mereka membom Pearl Harbor . Tapi, oleh media AS, peristiwa ini dibungkam. Tidak ada satu pun media AS yang memberitakan hal ini, sehingga Jepang menjadi bertanya-tanya, dan akhirnya menyimpulkan bahwa serangan mereka tersebut tidak berhasil,” kata Jaya Suprana.
Benar apa yang dikatakan Sarlito dan Jaya Suprana. Belakangan ini penayangan peristiwa kekerasan di televisi memang berlebihan. Peristiwa seperti tembak-menembak, kejar-mengejar dengan membawa senjata tajam, lempar-melempar, pukul- memukul, dan adu mulut dengan emosi yang tinggi banyak ditayangkan di TV kita, dengan tanpa sensor. Bahkan sering kali tidak bisa disensor karena peristiwa itu disiarkan secara langsung. Tidak jarang peristiwa kekerasan seperti itu disiarkan lengkap dengan korban yang begerlimpangan di jalan, bersimbah darah.
Apakah maksud dari penayangan berita seperti itu selain untuk mengumumkan kekerasan, dan secara tidak langsung menginspirasi masyarakat untuk bertindak serupa. Apalagi, sudah diketahui bahwa media televisi sangat efektif untuk mencari popularitas. Siapa saja yang pernah masuk TV akan menjadi terkenal dan populer. Begitu juga dengan kekerasan. Kekerasan yang dimasukkan di TV, menjadi santapan sehari-hari masyarakat, akan membuat masyarakat menjadi terbiasa dengan kekerasan, dan menganggap kekerasan adalah hal yang biasa, dan pada situasi ketika mereka harus berhadapan dengan konflik serupa, mereka terinspirasi untuk menyelesaikannya dengan cara yang sama.
Namun, apa pun yang terjadi dan ditayangkan di TV, diharapkan tidak akan tidak harmful jika ada pelajaran atau pendidikan yang bisa ditarik dari dalamnya, sebagai penyeimbang. Hal itu memungkinkan jika televisi tidak hanya menayangkan peristiwa itu sekedar berita semata, tetapi juga sisi pendidikannya, seperti penayangan atau pemberitahuan pada masyarakat akan resiko atau konsekuensi yang akan ditanggung masyarakat bila melakukan hal itu, yang ditayangkan seimbang dengan peristiwa itu sendiri.
Namun, alih-alih memberi pelajaran atau mengingatkan masyarakat, media televisi kita justru mengkampanyekan kekerasan.
Editorial salah satu media TV yang dibacakan secara ngeres oleh naratornya menunjukkan hal ini. Isi editorial yang memang sudah ngeres (ekstrem) dan sangat subjektif, yang dibacakan dengan nada suara dan intonasi yang juga ngeres dan provokatif, yang terdengar seperti mob oratory tersebut, adalah sangat tidak mendidik, ekstrem, dan seolah-olah mengajak pemirsa melakukan kekerasan dan bertindak ekstrem.***
0 comments:
Post a Comment