Perlukah Kita Memiliki Fakultas Ilmu Budaya?

CULTURE. Magnifying glass over background with different association terms. Vector illustration.   Stock Photo - 9033811
www.123rf.com

Wacana pendirian Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Lampung yang dilontarkan oleh beberapa tokoh Lampung baru-baru ini menarik untuk diperbincangkan. Benarkah Lampung membutuhkan Fakultas Ilmu Budaya, atau begitu mendesakkah pendirian fakultas tersebut di provinsi ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang perlu dibahas oleh kita semua seluruh stakeholder pendidikan di provinsi ini.

Pendirian sebuah falkultas mau tidak mau harus dipandang dari sudut kebutuhan real masyarakat karena masyarakatlah yang akan menggunakan fakultas tersebut nantinya. Pendidikan bukanlah masalah idealisme semata, tapi juga masalah pragmatisme. Pandangan mayarakat tentang tujuan pendidikan adalah untuk memperbaiki tarap hidup; untuk meningkatkan kesejahteraan, atau, tegasnya, untuk mencari kerja. Itulah sebabnya fakultas-fakultas besar seperti FKIP, Fakultas Ekonomi, Fakultas Teknik, Fakultas Hukum selalu mendapat serbuan mahasiswa. Sedangkan Fakultas Ilmu Budaya jarang diminati.

Dibubarkannya Program Studi Bahasa Lampung di FKIP Universitas Lampung beberapa waktu lalu kiranya cukup mencerminkan betapa pendidikan di Perguruan Tinggi itu harus disesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja. Program Studi Bahasa Lampung di FKIP Unila terpaksa dibubarkan karena pemerintah tidak lagi bersedia menampung para lulusannya untuk dipekerjakan sebagai guru. Meski tenaga mereka tentu saja diperlukan untuk pelestarian bahasa Lampung, tapi kalau mereka tidak diberi jaminan pekerjaan dan penghasilan, tentu mereka lebih suka mencari pekerjaan lain. Dengan demikian hasil studi mereka tentang bahasa Lampung tidak bisa dimanfaatka secara optimal.    

Pihak Unila sendiri sudah mengeluarkan sinyalemen yang isinya menyatakan mereka bersedia mendirikan Fakultas Ilmu Budaya asalkan ada komitmen dari pemerintah. Dengan kata lain, Unila bersedia mendirikan FIB asalkan pemerintah nantinya bersedia menampung para lulusan fakultas tersebut, karena pihak Unila tentu tidak mau dicap sebagai Perguruan Tinggi pencetak pengangguran intelektual nantinya.Mengingat pengalaman dalam pembubaran Program Studi bahasa Lampung yang lalu, pemerintah yang dimaksud dalam hal ini tentu Pemerintah Provinsi Lampung.

Untuk menampung para lulusan FIB pemerintah harus mempunyai visi misi budaya yang kuat; pemerintah harus memandang budaya dan pariwisata sebagai sektor yang strategis untuk dikembangkan sebagai bagian dari pembangunan. Untuk itulah para lulusan FIB itu nantinya dikaryakan. Kalau tidak, maka tidak akan ada lowongan untuk lulusan FIB.

Pertanyaannya, sanggupkah pemerintah mempekerjakan semua lulusan Fakultas Ilmu Budaya itu nantinya? Kecil kemungkinan mengingat selama ini perhatian pemerintah terhadap sektor budaya dan pariwisata sangat kecil. Dan celakanya, para lulusan FIB, yang biasanya disiapkan sebagai tenaga ahli di bidang bahasa dan budaya seperti Antropologi Budaya, Arkeologi, Ilmu Sejarah, Pariwisata, Bahasa dan Sastra jarang diminati oleh pihak swasta. Sedangkan untuk berwiraswasta ilmu-ilmu tersebut juga tidak mendukung.

Taruhlah nanti Pemerintah Provinsi Lampung sedia menampung para lulusan FIB sesuai kebutuhan, misalkan kelak ada angin perubahan yang membuat pemerintah berpaling ke sektor budaya dan pariwisata, tetapi daya tampung itu tentu terbatas, tidak sebanyak jurusan-jurusan lain, sedangkan lulusan FIB itu nantinya akan berjumlah ratusan, mungkin ribuan karena selalu bertambah dari tahun ke tahun.

Dilain pihak, mereka yang idealistis, yang mengusulkan pendirian fakultas tersebut selalu berpandangan optimistis. Mereka mengatakan lulusan perguruan tinggi tidaklah perlu bekerja sebagai PNS, karyawan swasta, atau wiraswasta, tetapi mereka bisa bergerak di sektor industri dengan menjadi pengusaha. Khusus untuk lulusan FIB mereka bisa bergerak di sektor industri kreatif seperti menjadi sastrawan, seniman, budayawan.

Pengalaman kita selama ini, kalau mau bergerak di sektor industri kreatif bidang seni, seperti menjadi sastrawan, seniman, bahasawan, atau budayawan orang tidak harus kuliah di FIB. Nyatanya, banyak sastrawan, seniman, bahasawan dan budayawan kita yang bukan lulusan FIB. Para penyair dan novelis kenamaan yang kita kenal selama ini kebanyakan bukan lulusan FIB. Para editor naskah di surat kabar dan penerbit buku juga kebanyakan bukan lulusan FIB.

Cerpenis dan novelis kondang di negeri ini berasal dari berbagai latar belakang pendidikan. Salah satu cerpenis beken yang banyak menghasilkan karya bermutu yang saya kenal bahkan merupakan lulusan Fakultas Teknik.

Tulisan ini sekali-kali tidak dimaksudkan untuk menentang pendirian Fakultas Ilmu Budaya, tapi mari kita berpikir realistis bahwa untuk mengamalkan ilmu itu diperlukan penopang berupa penghasilan atau income, dan tidak semua orang bisa mendapatkan income dari karya kreatif mereka. Taruhlah seorang lulusan FIB bisa menulis novel yang sangat-sangat bermutu, tapi penerbit mana yang mau menerbitkannya, dan kalaupun ada yang mau, belum tentu ada yang mau membelinya.

Kita tentu tidak berharap para lulusan FIB itu nantinya akan menjadi orang-orang yang stress karena kesulitan mendapatkan pekerjaan, dan tidak laku dalam industri kreatif.



comment 1 comments:

Perusahaan O.D.A.P on March 10, 2014 at 7:56 PM said...

Blog anda sangat bagusss...

Hasilkan Blog Anda Menjadi Mesin Penghasil Uang Dengan Penghasilan 3 Juta - 15 Juta / Minggu, Daftar & Pelajari Segera Caranya Di http://newkerjaonline2014.blogspot.com/

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger