Indonesia Miliki Lukisan Dinding Batu Tertua di Dunia

Potongan gambar babi rusa dan gambar cap tangan di gua Maros, Sulawesi (KInez Riza)

Kritikus modern mungkin akan menyambut gembira kemunculan para pelukis dinding batu yang pernah berdiam di Indonesia. Sekitar seratus gua di di pinggiran Moras, sebuah kota kecil di hutan tropis Sulawesi, pernah dipenuhi oleh lukisan cap tangan (hand stencils) dan lukisan dinding (mural) yang menggetarkan tentang gambar-gambar babi dalam bentuk abstrak dan kerbau-kerbau cebol. Sekarang hanya sebagian kecil dari lukisan itu yang tersisa, dan para pelukis misterius tersebut sudah lama pergi.

Sekarang ini, satu-satunya yang kita ketahui adalah kapan waktunya gua-gua tersebut dilukis—atau sekurangnya perkiraan tentang kapan waktunya—dan temuan tersebut mengisyaratkan bahwa praktik menggambari dinding gua dengan gambar-gambar kehidupan alam sudah biasa dilakukan 40.000 tahun yang lalu. Sebuah penelitian yang terbit dalam jurnal Nature mengisyaratkan bahwa lukisan-lukisan yang terdapat di gua-gua di Maros-Pangkep tersebut berkisar dari 17.400 hingga 39.900 tahun yang lalu, mendekati jaman yang sama dengan jaman karya lukis yang ditemukan di gua-gua di Eropa.

"Ini memberikan pandangan baru tentang asal-usul manusia modern, tentang kapan manusia  menjadi modern secara kognitif," kata Maxime Aubert, seorang arkeolog di Griffith University, Australia. "Temuan ini mengubah pandangan tentang kapan dan di mana spesies manusia menjadi sadar diri dan mulai berpikir secara abstrak, melukis dan mengukir patung-patung."

Naturalis Swiss Fritz dan Paul Sarasin kembali dari melaksanakan sebuah ekspedisi ilmiah ke Indonesia antara 1905-1906 dengan cerita-cerita tentang tempat tinggal di dalam dinding batu kuno, artefak dan lukisan gua, tapi dengan hanya sedikit spesifikasi. Arkeolog Belanda HR van Heereken pertama kali menggambarkan lukisan gua di sekitar Maros pada tahun 1950, dan meskipun peneliti Indonesia telah melakukan pekerjaan yang signifikan di gua-gua tersebut, hanya sedikit hasil penelitian mereka tentang gua-gua tersebut yang telah diterbitkan.

Penelitian oleh para ilmuwan lokal menemukan gambar-gambar hewan peliharaan dan pola-pola geometrik yang dilukis dengan arang dari abad yang lebih baru. Penelitian tersebut juga menyebutkan tentang potongan-potongan gambar yang kemungkinan berasal dari jaman yang lebih tua dengan cat warna merah beri—mungkin sebuah bentuk warna oker yang kaya zat besi—yang menghiasi pintu masuk gua, langit-langit dan ruang-ruang bagian dalam yang sulit dijangkau. Perkiraan sebelumnya menempatkan seni gua Maros pada usia tidak lebih dari 10.000 tahun. "Orang-orang tidak percaya lukisan gua akan bertahan lebih lama dari itu di gua-gua di lingkungan tropis," kata Aubert.

Menentukan kapan waktunya lukisan gua dibuat sangatlah sulit. Penanggalan menggunakan radiokarbon dapat merusak karya seni dan hanya dapat digunakan untuk menanggali pigmen yang mengandung karbonbiasanya arang (charcoal). Metode ini juga digunakan untuk mengetahui umur pohon yang digunakan untuk membuat arang tersebut, bukannya umur  arang itu sendiri. Bakteria, batu kapur, dan bahan organik lainnya bisa mempengaruhi akurasi penanggalan tersebut. "Kita sering kali menyaksikan penanggalan ala radiokarbon yang berbeda-beda atas lukisan yang sama," kata Alistair Pike, seorang arkeolog di University of Southampton yang tidak berafiliasi dengan penelitian lukisan di gua Maros tersebut.

Ketika sedang menggali peninggalan arkeologis di gua-gua, Adam Brumm, co-author dan arkeolog di University of Wollongong Australia, memperhatikan adanya "gua popcorn" pada beberapa karya seni. Lapisan kalsit bergelombang ini akhirnya akan menjadi stalaktit dan stalagmit ribuan tahun kemudian, tapi yang paling penting gua popcorn itu mengandung uranium—zat radioaktif yang dapat digunakan untuk memperkirakan usia lukisan.

Aubert dan rekan-rekannya mengumpulkan 19 sampel yang diambil dari tepi 14 karya seni di tujuh lokasi gua. Gambar-gambar itu bermacam-macam mulai dari cap tangan (hand stencil) sederhana hingga gambar-gambar hewan yang lebih kompleks. Di laboratorium, mereka memperkirakan usia lukisan tersebut berdasarkan isotop uranium dalam sampel. Dalam beberapa kasus, lapisan kalsit ditemukan di atas atau di bawah karya seni itu. "Jika lapisan kalsit itu berada di atas lukisan,  maka lukisan itu berusia minimum, dan jika kalsit itu berada di bagian bawah lukisan itu, maka itu adalah usia maksimal," jelas Aubert.

Sebagian besar karya seni tersebut berusia sekitar 25.000 tahun, menempatkan karya seni tersebut sebagai yang tertua di antara karya seni tertua di Asia Tenggara. Tetapi beberapa di antaranya ternyata secara signifikan lebih tua dari yang diperkirakan. "Ini sedikit mengejutkan," kata Aubert sambil tertawa kecil. Salah satu hand stencil bertarih sekuangnya 39.900 tahun yang lalu, menjadikannya sebagai lukisan hand stencil tertua di dunia. Beberapa lukisan hewan tersebut juga memecahkan rekor: Sebuah kukisan babirusa betina, atau "pig-deer", setidaknya berusia 35.400 tahun.

Tarih ini diperkirakan tidak berjarak begitu jauh dengan beberapa lukisan dinding gua dan pahatan tertua yang ditemukan di Eropa. Dengan menggunakan penanggalan uranium, tim Pike sebelumnya menempatkan lukisan hand stencil dan lukisan geometris yang ditemukan di gua El Castillo, Spanyol sebagai yang tertua yang pernah tercatat: maksimal berusia 40.800 tahun. Gambar-gambar naturalistik tentang hewan yang lebih kompleks yang ditemukan di gua Lascaux yang terkenal di Perancis berusia sekitar 20.000 tahun, sedangkan yang ditemukan di Chauvet, Prancis, diperkirakan berusia sekitar 32.000 tahun—meski sebagian orang membantah penanggalan tersebut. Patung-patung hewan yang ditemukan di gua-gua di Jerman juga diperkirakan bertarih yang sama pula.

Para ilmuwan secara tradisional menduga manusia mulai menciptakan seni setelah mereka berpindah ke Eropa dari Afrika, dan bahwa bentuk-bentuk seni karya manusia kemudian menyebar ke pelbagai pelosok dunia dari sana. "Ini pandangan yang cukup Euro-sentris tentang dunia," kata Aubert. "Tapi sekarang kita bisa bergerak jauh dari itu." Studi ini memberikan bukti kuat bahwa para seniman di Asia telah mulai melukis pada waktu yang sama dengan rekan-rekan mereka di Eropa. Tidak hanya itu, mereka menggambar hewan-hewan yang bisa kita kenali sekarang yang mungkin mereka buru ketika itu.

"Hal ini menimbulkan beberapa kemungkinan yang menarik," kata Pike. Seni dinding gua (art rock) mungkin telah muncul secara terpisah di tempat berbeda. Mengingat bahwa lukisan hand stencil sederhana ditemukan di seluruh dunia, menurut Pike, hal ini tidaklah terlalu mengejutkan. Lalu ada kemungkinan bahwa setelah meninggalkan Afrika, sekitar 70.000 tahun yang lalu, manusia modern telah mengembangkan pengetahuan seni, yang mereka bawa bersama mereka ketika mereka berpindah dan menetap di Eropa dan Asia. Jika itu benar, mungkin ada karya seni dinding gua yang lebih kuno yang masih belum ditemukan di antara Eropa dan Indonesia. Aubert mengira demikianlah adanya: "Hanya saja kami belum menemukan karya-karya seni itu atau memberi penanggalan pada karya-karya seni itu. Saya pikir ini hanya masalah waktu. " (By )


http://www.smithsonianmag.com/science-nature/rockart-ages-indonesian-cave-paintings-are-40000-years-old-180952970/?no-ist

comment 0 comments:

Post a Comment

 
© Hasim's Space | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger