Gua Matu adalah sebuah gua yang terletak di desa Way Sindi, kecamatan Karya Penggawa, Krui, Lampung Barat. Salah satu mulut gua ini terletak di tepi pantai. Bagi masyarakat Krui, gua Matu dikenal lebih dari sekedar gua biasa. Dia adalah sebuah simbol dari sebuah tatanan masyarakat lain, selain manusia, yang tidak kasat mata. Berbagai cerita mistis sering dihubungkan dengan gua ini. Hampir semua masyarakat Krui mengenal gua ini, bukan karena mereka pernah mengunjunginya, tapi karena cerita-cerita mistis itu, juga karena ritual mistis yang sering dilakukan orang di gua ini. Di sisi lain, zona gua Matu merupakan salah satu DTW kabupaten Lampung Barat yang menarik untuk dikunjungi.
I.
Jarak dari Krui ke gua Matu lebih kurang 11 km. Tetapi jarak yang bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor hanya lebih kurang 10 km, selebihnya hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Pukul sembilan pagi kami berempat, saya, Sapta, Mus dan Dir, siap-siap berangkat. Perjalanan dengan sepedamotor dari hotel Sempana Lima menuju sebuah desa kecil yang bernama Campang, di mana kami bisa menitipkan kendaraan, kami tempuh lebih kurang 15 menit. Campang sebenarnya bukanlah sebuah desa seperti desa pada umumnya. Di situ hanya ada beberapa rumah kayu yang bercecer di pinggir jalan dengan jarak yang cukup berjauhan.
Di Campang, kami menitipkan dua unit sepedamotor yang kami gunakan pada sebuah warung kecil yang menjual makanan kecil dan air mineral. Tepat di samping warung ini ada akses berupa jalan setapak menuju gua Matu.
Jarak dari Campang menuju gua Matu lebih kurang 1 km. Karena desa Campang terletak di atas bukit, sedangkan gua Matu terletak di pinggir laut, maka kami harus berjalan kaki menuruni bukit kurang lebih setinggi 30 m, menuju pantai. Dari pinggir jalan raya, jalan setapak menuruni bukit ini tidak terlihat karena tertutup oleh tumbuh-tumbuhan.
Setelah menitipkan sepedamotor di warung, kami berangkat. Laki-laki yang duduk di depan warung mewanti-wanti agar kami membakar kemenyan terlebih dahulu sebelum memasuki gua Matu.
Perjalanan menuruni jalan setapak menuruni bukit ini cukup nikmat karena jalan ini tertutup oleh rindangnya pepohonan, sementara, kira-kira separuh dari ketinggian bukit ini dialiri oleh sebuah sungai kecil yang airnya jernih berlarian menuruni batang sungai dengan batu-batu besar, dengan suara gemercik yang menimbulkan sensasi kesejukan. Kalau penat menuruni bukit, kita bisa istirahat duduk di batu-batu yang tersebar di sana-sini, sambil menikmati sejuknya air bukit yang jernih memanjakan kaki. Perjalanan menuruni lereng bukit ini adalah sensasi tersendiri sebelum tiba di gua Matu.
Setibanya di ujung sungai, kami disambut oleh hamparan pasir kelabu yang luas di sepanjang pantai, terpisah sepanjang garis lurus dengan pasir berwarna kecoklatan yang mengkilap karena jilatan ombak. Pantai dengan hamparan pasir yang luas sepanjang kurang lebih 200 meter ini dipagari oleh bukit cadas di kiri kanannya, membentuk zona seperti huruf U. Di sebelah kiri, terdapat karang terjal dan tajam yang biasa digunakan penduduk setempat untuk memancing. Sedangkan di sebelah kanan, terdapat tembok batu berlapis setinggi kurang lebih 25 meter, sebagiannya tertutup oleh pepohonan. Di sanalah gua matu berada.
Pantai kecil berpasir kelabu ini sangat sedap dipandang mata. Tapi jangan coba-coba mandi di laut, ombaknya besar-besar dan mengerikan. Penduduk setempat hanya berani memancing dari pinggir, dari atas batu karang.
Karena kami tidak yakin di mana lubang pintu masuk gua Matu, kami bertanya pada penduduk setempat yang kami lihat dari kejauhan sedang memancing di atas batu cadas terjal dan tajam, disebelah kiri. Dari pengamatan kami dari kejauhan kira-kira 10 meter, kami tidak melihat ada lubang pintu masuk gua ini.
Untuk menemui pak Mirzan, kami harus memanjat tebing cadas terjal yang bagian bawahnya dihempas ombak-ombak besar. Sekilas, perjalanan itu seperti mustahil kami lakukan, tapi karena niat sudah bulat, dan tekad sangat kuat, kami beranikan diri untuk memanjat. Dir memutuskan untuk menunggu di bawah.
Dari Tanya jawab dengan pak Mirzan, kami belum juga mendapat gambaran yang jelas.
Akhirnya, pak Mirzan bersedia mengantar kami, meninggalkan kegiatan memancingnya.
Ternyata pintu masuk gua Matu memang tidak kelihatan dari tempat kami berdiri tadi, tertutup oleh pohon dan beberapa lapis batu-batu besar. “Kalian beruntung. Kalian datang pada waktu air laut sedang surut. Kalau laut sedang pasang, jalan menuju pintu gua tertutup oleh air laut. Kalau mau masuk, kalian harus memanjat di dinding bukit itu”, kata pak Mirzan menunjuk ke dinding batu vertikal yang kokoh, dirambati oleh akar-akar pohon. Membayangkan diri merambat di dinding batu yang radikal seperti itu, dengan resiko terjatuh di telan oleh air laut pasang, aku jadi ngeri. “Kalau air laut sedang pasang, biasanya tidak ada yang berani memasuki gua”, lanjut pak Mirzan.
Pintu masuk gua Matu ternyata berbeda dengan bayangan saya. Saya membayangkan sebuah lubang lebar menganga berbentuk bulat, leluasa dimasuki oleh manusia. Tapi yang kami temui adalah sebuah lubang nyaris berbentuk segitiga memanjang ke atas, dengan lebar pada bagian alasnya sekitar 60 cm. Lubang pintu masuk ini terkesan seperti celah yang timbul ketika dua potong batu raksasa di rekatkan.
“Sekarang sih enak keluar masuk gua ini”, kata pak Mirzan. “Dulu, pintu masuk ini dijaga oleh ular besar yang melingkar di dalam lubang itu”, pak Mirzan menunjuk sebuah lubang besar bertingkat di atas pintu masuk. Melihat dari bentuknya, lubang itu memang seperti dirancang untuk tempat ular bersarang. “Dulu, diperlukan nyali lebih besar lagi untuk masuk gua ini”, kata pak Mirzan.” Karena, kadang-kadang, badan ular itu tersentuh oleh kepala kita.”
Di depan pintu masuk kami menemui abu bekas pembakaran kemenyan, sepertinya sisa tadi malam. Di dekatnya, ada beberapa batang rokok seperti dijemur karena basah, di atas anyaman bambu kecil persegi empat. “Itu bekas orang tadi malam”, kata pak Mirzan. “Orang sering berkunjung ke sini ya, Pak?”, tanyaku. “Ya, cukup sering.” “Orang dari mana saja?”, tanyaku lagi. “Dari mana-mana. Ada yang dari Jawa. Ada juga orang sekitar sini.” “Apa saja tujuan mereka, Pak?’, kejarku. “Macam-macam pula”. Jawab pak Mirzan.
Memasuki gua Matu seperti memasuki alam lain. Begitu kaki melangkah ke dalam, rasanya seperti terputus dari dunia luar. Ruangan di dalam gua Matu ternyata lega dan lapang sehingga kami leluasa bergerak. Aroma mistis mulai terasa sejak langkah pertama, melewati lubang pintu masuk itu. Suasana seperti mencekam. Kami seperti terkepung dalam suasana mistis. Kami berempat berjalan dengan pikiran masing-masing. Tidak ada yang banyak bicara. Cuma pak Mirzan yang menjadi guide kami yang bicara, membeberkan sepenuh pengetahuannya tentang gua ini. Cerita-cerita mistis soal gua Matu yang kami dengar selama ini seperti mendapat penguatannya ketika kami berada di dalam gua ini. “Jangan sekali-kali berkata-kata atau berbuat kotor di dalam gua ini”, kata pak Mirzan. “Dan jangan pula berkata-kata yang sifatnya melecehkan atau tidak percaya”, katanya lagi. “Pernah ada orang sekitar sini yang berkata melecehkan, ’Masuk gua seperti ini nggak ada permisi-permisian’, katanya. Beberapa menit kemudian, dia pingsan. Terpaksa kami harus menggendongnya keluar”, cerita pak Mirzan. “Pernah pula ada yang membunuh seekor ular di dalam gua ini. Tak lama kemudian, dia jatuh sakit selama satu bulan.” Mendengar cerita pak Mirzan, kami jadi ciut. “Jangan pula kencing di dalam gua ini”, katanya menambahkan.
Kalau mau dihimpun semua, banyak sekali cerita-cerita pak Mirzan soal gua Matu. Pesan yang tersirat dari cerita-cerita itu, agar kita jangan sekali-sekali meremehkan soal mistifikasi gua Matu. “Orang paling berani sekali pun, yang berani makan daging manusia mentah-mentah, menjerit memasuki gua ini”, katanya.
Beberapa langkah dari pintu masuk, aroma kotoran kelelawar mulai menyergap. Selanjutnya, bau kotoran kelelawar ini setia menemani kami di setiap sudut bagian dalam gua. Bau kotoran kelelawar adalah ciri khas yang tak terpisahkan dari gua Matu ini.
Bagian dalam gua Matu terdiri dari dua bagian, bagian entrance dan lobi, sebutlah begitu. Bagian entrance adalah sebuah lorong selebar kurang lebih 3 meter, menghubungkan pintu masuk dengan lobi, dengan ketinggian atap sekitar 4 meter. Sedangkan lobi adalah sebuah ruangan bulat lebar seperti kubah mesjid dilihat dari dalam, dengan ketinggian atap sekitar 8 meter, dengan luas lebih kurang 200 meter persegi. Memasuki lobi, kami disambut oleh ribuan, jutaan menurut pak Mirzan, kelelawar yang bermanuver di sekitar langit-langit gua. Ribuan kelelawar yang terbang membabi buta itu kadang-kadang menabrak manusia yang lewat di dekatnya. Jumlah kelelawar di dalam lobi sebenarnya tidak terlalu banyak, tapi jika kita masuk lorong lebih ke dalam lagi, jumlahnya semakin banyak. Menurut pak Mirzan, saking banyaknya kelelawar berterbangan di lorong gua ini, timbul angin kencang seperti badai. “Kalau kita membawa obor, apinya meliuk-liuk seperti kena angin badai”, katanya.
“Ada sarang burung walet nggak di dalam gua ini?”, tanya Sapta. “Jangan pernah berpikir Anda akan mendapatkan sarang burung walet di dalam gua ini”, jawab pak Mirzan. “Gua Matu bukan tempat untuk mencari benda-benda seperti itu.” Menilik dari kepribadian pak Mirzan yang bersahaja, kami percaya dengan kejujurannya. Dia yang sehari-harinya keluar masuk gua ini, baik siang maupun malam hari, tidak pernah mendapatkan apa-apa dari dalamnya. Kalau di dalam gua ini ada harta karun, atau sarang burung walet, tentu dia sudah jadi orang kaya sejak dulu.
“Untunglah kita masuk ketika matahari belum lewat. Kalau matahari sudah lewat lubang itu, keadaan di sekitar sini gelap gulita”, pak Mirzan menunjuk lubang yang cukup besar di dinding gua, di belakang kami. Lubang yang dia sebut jendela itu memancarkan cahaya matahari ke dalam gua, sehingga suasana di dalam lobi tidak terlalu gelap. “Sore hari, kita harus membawa lampu senter untuk masuk sini”, katanya. Saya tengok jam di HP, pukul 10.52.
Dari lobi ini, perjalanan bisa dilanjutkan dengan menyusuri lorong-lorong kecil yang semakin jauh semakin semakin rendah atapnya, sampai titik di mana kita tidak bisa lagi berdiri. Membayangkan perjalanan menyusuri lorong gelap yang sempit dengan berjalan duduk, kami jadi ciut. Akhirnya, kami mundur setelah mencoba beberapa langkah. Lorong-lorong cabang dari lobi ini ter bagi ke dalam cabang-cabang lagi, sehingga menyerupai labirin. Salah-salah, kita bisa tersesat tidak menemukan jalan keluar.
“Orang sering menginap di sini ya, Pak?”, tanyaku pada pak Mirzan. “Iya, sering. Mereka tidur di sekitar sini”, katanya menunjuk ke dinding lobi.
Setelah berada di dalam gua kurang lebih satu jam, kami keluar. Untunglah di antara kami berempat tidak ada yang bertingkah macam-macam, sehingga kami bisa keluar dengan selamat. Kami bersyukur apa yang diceritakan pak Mirzan tadi tidak terjadi pada kami.
Keluar dari mulut gua, pak Mirzan menunjuk ke sebuah bukit karang kecil menyerupai sebuah pulau karena berada di mulut sungai, di muara, di pinggir pantai berpasir kelabu itu. “Konon, itulah mesjid mereka”, katanya. Kami berempat langsung nyambung siapa yang dimaksud dengan ‘mereka’ oleh pak Mirzan. Kami maklum. Tidak ada di antara kami yang bertanya lebih jauh. Cerita-cerita soal gua Matu yang pernah kami dengar sudah cukup merupakan referensi bagi kami untuk memahami apa yang dimaksud pak Mirzan, sebuah ‘dunia lain’ yang tidak kasat mata.
Kami harus kembali ke warung di desa Campang di mana kami menitipkan sepedamotor tadi, dengan berjalan mendaki bukit yang tadi kami turuni. Ternyata perjalanan mendaki lebih melelahkan daripada menurun. Dengan nafas tersengal-sengal, akhirnya kami tiba juga di warung tempat kami menitipkan sepedamotor. Ternyata bapak yang tadi duduk di depan warung masih ada di situ. Dari omong-omong dengannya, kami peroleh keterangan bahwa dia berasal dari Bengkunat. Sudah tiga malam dia menginap di gua Matu, dan dia akan menginap selama empat hari lagi. “Ada niat apa, Pak?”, tanya kami. “Ya, sekedar untuk meminta kelancaran usaha”, jawabnya.***
0 comments:
Post a Comment