Membaca tulisan Titik Firawati, staf pengajar Hubungan
Internasional Universitas Gadjah Mada, di harian Lampung Post, tanggal 15 November 2011, yang berjudul Kekerasan Guru terhadap Siswa di Sekolah,
saya tidak tahan untuk tidak turut memberi tanggapan.
Dalam tulisannya tersebut, beliau dengan tegas dan tanpa
basa-basi men-judge bahwa hukuman
fisik yang diberikan guru terhadap siswa di sekolah adalah sebuah tindak
kekerasan yang, mungkin, di mata sang penulis ini, sama dengan tindak kekerasan
yang dilakukan oleh perampok atau pencuri. … Oleh karena itu, mitos jika kekerasan dibenarkan untuk menegakkan
wibawa guru di hadapan anak didik. Selama guru mencurahkan segenap tenaga dan
pikirannya untuk menginspirasi murid-muridnya, kewibawaan akan mengikutinya.
Guru yang menjadi inspirasi bagi aksi kekerasan adalah preman yang tempatnya
bukan di sekolah, tulis Titik dalam salah satu alinea tulisannya tersebut.
Benarkah sang penulis ini adalah dosen UGM? Kalau benar,
betapa sempitnya pandangan beliau tentang pendidikan.
Istilah ‘kekerasan’ yang digunakan sang penulis dalam
tulisannya tersebut menunjukkan pandangan yang sepihak, yang tidak memandang
pendidikan secara komprehensif. Istiah ‘kekerasan’ (violence) adalah istilah yang mengerikan, dreadful, istilah yang sama sekali tidak mengandung perspektif pendidikan.
Menyebut tindakan guru terhadap murid sebagai ‘kekerasan’ adalah sebuah penilaian yang berwawasan sempit dan tidak fair.
Kekerasan (violence)
dalam pikiran saya adalah tindakan seperti yang dilakukan oleh perampok untuk
menaklukkan korbannya, atau yang dilakukan seorang tentara untuk mengorek
keterangan dari tawanannya, atau seperti adegan yang digambarkan dalam
film-film laga. Atau seperti situasi perang, di mana segalanya berlangsung di
luar kendali, penuh pertikaian, darah dan airmata. Istilah ‘kekerasan’ adalah
penindasan dan intimidasi dari yang kuat terhadap yang lemah.
Apa yang dilakukan guru terhadap muridnya sungguh jauh dari
kesan seperti itu, dan tidak akan pernah menjadi seperti itu. Tindakan apa pun
yang dilakukan guru terhadap muridnya tentu berada dalam koridor pendidikan dan
hukum. Sungguh tidak ada niat di dalam hati guru untuk melakukan tindak
kekerasan terhadap murid-muridnya karena hal itu tidak akan memberi keuntungan
apa-apa bagi si guru. Guru tidak berada pada posisi menindas atau
mengintimidasi seperti perampok terhadap korbannya. Tindakan menindas dan
mengintimidasi adalah mimpi buruk bagi dunia pendidikan.
Benar, seperti yang ditulis Titik, bahwa kekerasan yang
dilakukan guru untuk menegakkan wibawa mereka di mata anak didik adalah mitos.
Faktanya, guru tidak pernah melakukan tindakan kekerasan hanya untuk menegakkan
wibawa mereka di depan murid. Naïf sekali kalau ada guru yang melakukan itu.
Guru bukanlah orang-orang keras, dan bukan orang yang mencari nafkah dengan
melakukan kekerasan.
Apa yang terjadi di sekolah sebenarnya hanyalah pemberlakuan
hukuman fisik (corporal punishment) semata.
Konsep hukuman (punishment) di sini
tentu berada dalam perspektif pendidikan (sebagaimana yang kita ketahui, dalam
pendidikan dikenal konsep punishment dan
rewards.)
Hukuman fisik diberikan guru sebagai pilihan terakhir untuk
menanamkan nilai-nilai pendidikan terhadap murid-muridnya. Guru berhak
menentukan metode yang mana yang mesti digunakan untuk mendidik murid-muridnya
karena mereka pasti memahami kondisi murid mereka masing-masing. (Kalau tidak
ada cara lain untuk membuat murid-murid berubah ke arah yang lebih baik, dan
kalau hukuman fisik dipandang sebagai satu-satunya cara yang paling ampuh untuk
menyadarkan murid, apa salahnya metode ini digunakan, dengan catatan untuk
tujuan pendidikan, bukan untuk menyakiti semata.) Hukuman fisik seperti ini
diberlakukan dalam pendidikan militer, dan terbukti hasilnya adalah para
prajurit yang tangguh.
Pada bagian lain, pernyataan Titik yang berbunyi, selama guru mencurahkan segenap tenaga dan
pikirannya untuk mengsinspirasi murid-muridnya, kewibawaan akan mengikutinya,
adalah benar, tapi masalahnya tentu tidak begitu sederhana. Pernyataan itu
hanya benar dalam situasi di mana tercipta sebuah hubungan yang kondusif, yang
harmonis dan selaras antara guru dengan murid. Pada situasi yang tidak
kondusif, seperti para siswa yang tidak memahami apa fungsi guru, dan apa
tujuan pendidikan, yang memandang sekolah hanyalah tempat untuk berkumpul dan
bersenang-senang, pernyataan itu perlu dipertanyakan kebenarannya.
Guru yang menginspirasi, seperti yang dicontohkan Titik dari
pengalaman Emil Salim, dalam tulisannya tersebut, tentu merupakan guru yang
baik. Tapi tidak semua murid seperti Emil Salim. Dan bukan berarti guru yang
tidak seperti gurunya Emil Salim yang orang Belanda itu adalah bukan guru yang
baik.
Guru yang baik itu punya konteks-nya masing-masing, dan
salah satu guru tidak bisa dijadikan tolak ukur untuk menilai guru lainnya.
Gurunya Emil Salim juga belum tentu akan baik jika dihadapkan dengan murid seperti
muridnya si guru Polan, misalnya. Soal memberi inspirasi, tentu semua guru
memberi inspirasi, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tidak ada
guru yang memberikan inspirasi seperti malaikat, yang tidak mempunyai
kelemahan, dan tidak pernah melakukan kesalahan.
Pernyataan Titik bahwa hukuman fisik (dalam tulisannya dia
menyebutnya ‘kekerasan’) bisa menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan
psikologi dan kognisi anak yang sifatnya menahun, juga perlu dibuktikan
kebenarannya, dan kalau itu terbukti benar, tentu tidak benar sepenuhnya,
melainkan hanya separuh benar. Buktinya adalah saya sendiri. Saya dibesarkan
dalam hukuman fisik, baik di sekolah maupun di rumah. Di sekolah, mulai dari SD
sampai SMA, kami terbiasa menerima hukuman fisik, mulai dari ditampar, dijitak,
hingga ditendang. Tapi ternyata kami sekarang OK-OK saja. Malah tidak sedikit
di antara teman-teman saya yang jadi orang. Mereka yang tidak jadi orang juga
hidup normal-normal saja, tidak menunjukkan tanda-tanda mengalami gangguan
kejiwaan.
Soal dampak dari hukuman fisik ini saya punya cerita
menarik. Teman saya, guru sebuah sekolah menengah, bercerita dia pernah
memberikan hukuman fisik pada seorang anak yang luar biasa nakal. Sedemikian
berkesannya hukuman tersebut sehingga baik dia maupun si anak tersebut
sama-sama tidak bisa melupakannya. Hingga beberapa tahun kemudian, si anak
tersebut datang kepadanya, dan bercerita, “Pak, saya benar-benar berterima
kasih atas hukuman fisik yang Bapak berikan pada saya dahulu. Seandainya Bapak
tidak menghukum saya dahulu, mungkin saya tidak akan pernah berubah. Mungkin
saya tidak akan menjadi orang seperti sekarang,” kata si anak tersebut yang
sudah berhasil menjadi tentara.***
0 comments:
Post a Comment